Jenggot, celana cingkrang, jilbab, cadar, dan ciri-ciri khas muslim
lainnya dianggap dan diopinikan sebagai ciri khas teroris. Sayangnya, opini
pembenci Islam ini ‘dimakan mentah-mentah’ oleh sebagian kaum muslimin.
Di sisi yang lain, sebagian umat Islam yang begitu tinggi
ghirah Islamnya, dan begitu kuat keinginan mengikuti sunnah-nya,
namun kurang memahami persoalan khilafiyah, akhirnya menjadikan jenggot sebagai
standar ahlus sunnah atau ahlul bid’ah-nya seseorang. Yang memelihara jenggot,
berarti ia ahlus sunnah, sedangkan yang mencukur jenggot, berarti ia ahlul
bid’ah. Mereka juga tutup mata dan tutup telinga terhadap fakta bahwa ulama
berbeda pendapat tentang kewajiban memelihara jenggot ini. Orang-orang seperti
ini mudah mengklaim mutlak kebenaran ada pada dirinya atau komunitasnya, dan
yang menyelisihi berarti salah mutlak.
Lalu bagaimana hukum memelihara jenggot dalam fiqih?
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/224]
dikatakan bahwa seluruh ulama sepakat memelihara jenggot merupakan perkara yang
diperintahkan oleh Syari’ah. Hal ini berdasarkan hadits-hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, di antaranya:
1. Hadits dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
خَالِفُوا المُشْرِكِينَ وَفِّرُوا اللِّحَى
وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ
Artinya: “Selisihilah orang-orang musyrik. Peliharalah
(jangan cukur) jenggot dan cukurlah kumis kalian.” (HR. Al-Bukhari no. 5892)
2. Hadits dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى
خَالِفُوا الْمَجُوسَ
Artinya: “Cukurlah kumis dan biarkanlah (jangan dicukur)
jenggot kalian. Selisihilah orang-orang Majusi.” (HR. Muslim no. 260)
3. Hadits dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ
وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ …
Artinya: “Sepuluh perkara yang termasuk fitrah, yaitu
mencukur kumis, memelihara jenggot, …” (HR. Muslim no. 261)
Ibnu Hajar menyatakan bahwa orang-orang Majusi ada yang
memotong pendek jenggot mereka dan ada juga yang mencukurnya habis (Fathul
Bari [10/349]).
Walaupun memelihara jenggot merupakan perkara yang
disyariatkan dalam Islam, namun tidak otomatis hukumnya wajib atau ulama
sepakat atas kewajibannya. Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah
al-Kuwaitiyyah ada beberapa pembahasan terkait memelihara jenggot ini,
dan yang terpenting di antaranya adalah tentang (1) memanjangkan dan melebatkan
jenggot dengan treatment tertentu, (2) memotong jenggot yang
panjangnya melebihi genggaman tangan, dan (3) mencukur habis jenggot.
Memanjangkan dan Melebatkan Jenggot dengan Treatment Tertentu
Ibn Daqiq al-‘Ied berkata:
لَا أَعْلَمُ أَحَدًا فَهِمَ مِنَ الْأَمْرِ فِي
قَوْلِهِ أَعْفُوا اللِّحَى تَجْوِيزَ مُعَالَجَتِهَا بِمَا يُغْزِرُهَا كَمَا
يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ
Artinya: “Saya tidak mengetahui ada orang yang memahami
perintah Nabi dalam sabda beliau, ‘peliharalah jenggot’ dengan kebolehan
memberikan treatment tertentu agar jenggot tersebut tumbuh
lebat, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang.” (Fathul Bari [10/351]; al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/224])
Jadi, bagi yang memang dari sononya tidak
punya jenggot, tidak usah sedih, dan tidak usah juga membeli penumbuh jenggot
berharga mahal untuk merealisasikan perintah Nabi ini. Perintah memelihara
jenggot ini hanya untuk yang dikaruniai jenggot oleh Allah ta’ala.
Memotong Jenggot yang Melebihi Genggaman Tangan
Dalam hal ini, ulama berbeda pendapat. Berikut sedikit
gambarannya:
1. Tidak boleh memotong jenggot, walaupun panjangnya
melebihi genggaman tangan. Yang berpendapat seperti ini misalnya adalah Imam
an-Nawawi. Beliau menyatakan bahwa kebolehan memotong jenggot yang melebihi
genggaman tersebut bertentangan dengan zhahir hadits yang memerintahkan
membiarkannya (tidak mencukurnya). (Fathul Bari[10/350]; al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/224])
2. Boleh memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan.
Ini adalah pendapat Hanabilah dan Hanafiyyah. Mereka melandasi pendapatnya ini
dengan atsar dari Ibn ‘Umar:
إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى
لِحْيَتِهِ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ
“(Ibnu ‘Umar) ketika berhaji atau ber-‘umrah beliau
menggenggam jenggotnya, dan yang melebihi genggaman tersebut beliau potong.”
(HR. Al-Bukhari no. 5892)
Terkait riwayat dari al-Bukhari di atas, Mushthafa al-Bugha
memberikan ta’liq-nya, bahwa yang dimaksud dengan fadhala adalah
‘melebihi dari genggaman’ dan akhadzahu artinya qashshahu (memotongnya).
Secara terperinci, kalangan Hanabilah menyatakan bahwa tidak
makruh hukumnya memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan, dan ini yang
dinyatakan oleh Imam Ahmad (Syarh Muntaha al-Iradat [1/44]; Nailul
Ma-arib [1/57];al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Sedangkan Hanafiyyah menyatakan bahwa memotong jenggot yang melebihi
genggaman tangan hukumnya sunnah, sebagaimana disebutkan oleh Muhammad dari Abu
Hanifah (al-Fatawa al-Hindiyyah [5/358]; al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Ada juga pendapat dari kalangan Hanafiyyah yang menyatakan
wajib memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan, dan berdosa
membiarkannya (tidak memotongnya) (Hasyiyah Ibn ‘Abidin [2/417]; al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Adapun memotongnya lebih pendek dari genggaman tangan, maka
Ibn ‘Abidin berkata, ‘tidak ada seorangpun yang membolehkannya’ (Hasyiyah
Ibn ‘Abidin [2/418]; al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225])
3. Jenggot tidak dipotong kecuali jika jenggot tersebut
semrawut (tidak rapi) karena begitu panjang dan lebatnya. Pendapat ini dinukil
oleh ath-Thabari dari al-Hasan dan ‘Atha. Dan pendapat inilah yang dipilih oleh
Ibn Hajar, dan menurut beliau karena alasan inilah Ibn ‘Umar memotong
jenggotnya. ‘Iyadh berkata bahwa memotong jenggot yang terlalu panjang dan
lebat itu baik, bahkan dimakruhkan membiarkan jenggot yang terlalu panjang dan
lebat sebagaimana dimakruhkan memendekkannya (Fathul Bari [10/350]; al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225]).
Salah satu dalil yang digunakan oleh yang berpendapat
seperti ini adalah hadits:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ عَرْضِهَا وَطُولِهَا
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dulu memotong jenggotnya karena sangat lebat dan panjangnya.” (HR. At-Tirmidzi
no. 2762, dan beliau berkata, ‘ini hadits gharib’)
Tentang hadits ini, Ibn Hajar dalam Fathul
Bari [10/350] memuat pernyataan al-Bukhari tentang ‘Umar ibn Harun
(periwayat hadits ini), ‘saya tidak mengetahui hadits munkar darinya, kecuali
hadits ini’. Ibn Hajar juga menyatakan bahwa sekelompok ulama mendhaifkan ‘Umar
ibn Harun secara mutlak.
Mencukur Habis Jenggot
Dalam al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/225-226]
dinyatakan bahwa mayoritas fuqaha, yaitu kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah,
Hanabilah dan satu pendapat dari kalangan Syafi’iyyah mengharamkan mencukur
habis jenggot. Di al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu [1/462],
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menyatakan bahwa kalangan Malikiyyah dan Hanabilah
mengharamkan mencukur habis jenggot, sedangkan kalangan Hanafiyyah menyatakan
hukumnya makruh tahrim.
Kelompok yang mengharamkan ini beralasan bahwa mencukur
habis jenggot bertentangan dengan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk memeliharanya. Dan Ibn ‘Abidin dalam kitab Hasyiyah-nya
(sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya) menyatakan bahwa tidak ada seorangpun
yang membolehkan memotong jenggot lebih pendek dari genggaman tangan (al-akhdzu
minal lihyah duunal qabdhah), sedangkan mencukur habis jenggot (halqul
lihyah) lebih dari itu (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/226]).
Maksudnya, memotong jenggot lebih pendek dari genggaman tangan saja tidak
boleh, apalagi mencukur habis jenggot tersebut.
Dalam Hasyiyah ad-Dusuqi [1/90] dinyatakan,
‘Haram bagi seorang laki-laki mencukur habis jenggot dan kumisnya, dan orang yang
melakukan itu diberi sanksi ta’dib’.
Berbeda dengan jumhur fuqaha, pendapat yang ashah dari
kalangan Syafi’iyyah menyatakan bahwa mencukur habis jenggot hukumnya makruh (al-Mausu’ah
al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah [35/226]). Syaikh Wahbah az-Zuhaili, ulama
besar kontemporer bermadzhab Syafi’i, di kitab beliau al-Fiqh al-Islami
wa Adillatuhu [1/462], juga menyatakan hal yang sama, bahwa mencukur
habis jenggot menurut madzhab Syafi’i hukumnya makruh tanzih.
Az-Zuhaili juga menukil pernyataan an-Nawawi tentang sepuluh
kebiasaan yang dimakruhkan terkait dengan jenggot, dan salah satunya adalah
mencukur habisnya. Dikecualikan dari hal ini, jika jenggot tersebut tumbuh pada
seorang perempuan, maka mustahab mencukurnya habis (Syarh
Shahih Muslim [3/149-150]; al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu[1/462]).
Inilah fakta perbedaan pendapat ulama tentang hukum
memelihara jenggot. Sekali lagi ini fakta, dan tidak bisa didustakan, kecuali
ada yang bisa menunjukkan bahwa penisbahan pendapat-pendapat di atas kepada
empunya pendapat keliru. Dan ini bukan persoalan tarjih, pendapat
mana yang lebih kuat. Mengakui ada pendapat yang berbeda itu satu hal, dan
memilih pendapat yang dianggap paling kuat itu hal lain lagi.
Namun, walaupun terdapat perbedaan pendapat, bagaimanapun ia
tetap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan disyariatkan bagi kita umat
Islam, seluruh ulama sepakat tentang hal ini. Jadi, haram bagi seorang muslim
menghina dan mengejek orang yang mengamalkan sunnah ini. Ini adalah sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan umat Islam seharusnya semangat menjalankan
sunnah ini, apalagi di masa sekarang, di saat umat Islam banyak yang kehilangan
ghirah keislaman dan kebanggaannya terhadap Islam.
Sumber: Abu Furoan Al-Banjary
Wallahu a’lam bish shawwab.
DK
No comments:
Post a Comment