Hai sobat blogger, kali ini saya ingin berbagi cerita tentang seorang sahabat Rasulullah shalallahu alaihi wassalam yang sangat zuhud, bijaksana dan taat beribadah. Kita bisa ambil pelajaran dari apa yang beliau lakukan selama masa hidupnya. Tidak panjang lebar, bisa kita ikuti ceritanya dibawah ini.
Riwayat Diri
Nama asli beliau adalah Uwaimir bin Amir bin Mâlik bin Zaid bin Qais bin Umayyah bin Amir bin Adi bin Ka`b bin Khazraj bin al-Harits bin Khazraj. Ada yang berpendapat, namanya adalah Amir bin Mâlik, sedangkan Uwaimir adalah julukannya. Akan tetapi beliau lebih dikenal dengan nama kunyah Abu Darda, karena anak pertamanya bernama Darda (anak perempuan).
Abu Darda adalah seorang sahabat Anshar dari kabilah Khazraj, sebelum memeluk Islam, beliau adalah orang Yahudi. Beliau lahir di Madinah Arab saudi 44 tahun sebelum hijriyah (tahun 580 masehi) dan wafat di Damaskus Suriah tahun 32 Hijriyah pada masa kekhalifahan Utsmân Radhiyallahu anhu.
Ibunya bernama Mahabbah binti Wâqid bin Amir bin Ithnâbah. Sementara istrinya bernama Hujaimah bintu Huyay Al-Washabiyah. Dia adalah wanita kedua yang dinikahi oleh Abu Darda setelah istri pertamanya, Khairah binti Hadrad, meninggal dunia. Untuk membedakannya dengan Khairah, Hujaimah dipanggil dengan nama Ummu Darda Ash-Shugra (yang lebih kecil). Dia adalah sosok wanita yang sangat paham agama dari kalangan tabi'in. Bahkan, Hujaimah disebut sebagai salah satu murid kesayangan Ummul Mu'minin 'Aisyah ra. dalam belajar hadits.
Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempersaudarakannya dengan Salman al-Fârisi Radhiyallahu anhu sehingga Salman pernah menginap dirumah Abu Darda.
Kisah Masuk Islam
Abdullah bin Rawahah adalah teman akrab Abu Darda. Namun Abdullah masuk Islam sedangkan Abu Darda tetap dengan keyakinannya. Namun persahabatan keduanya tidak terputus. Hari itu akhirnya Abu Darda menghabiskan waktu di tokonya, sibuk berjual-beli dan memimpin para pekerjanya. Mejelang sore ia segera pulang ke rumah. Tentu dengan segudang penat yang tertinggal di kepala.
Tapi alangkah terkejutnya ketika ia mendapati istrinya duduk dekat pintu kamar patung sambil menangis. Rasa takut terpancar di wajahnya.
“Ada apa?” Abu Darda bertanya.
“Temanmu Abdullah bin Rawahah tadi datang kemari,” jawab istrinya di sela isak tangis, “dia menghancurkan patung sembahan kita.”
Abu Darda menengok ke kamar patung. Ia kaget, dilihatnya patung itu sudah hancur berkeping-keping. Dia langung hendak mencari Abdullah bin Rawahah sahabatnya itu mestilah bertanggung jawab terhadap ini. Kemudian ia pungut dan kumpulkan remukan berhala itu lalu berkata, “Bodoh sekali kalian ini! Mengapa tidak kalian lawan! Mengapa tidak kalian bela diri kalian sendiri!” Ummu Darda menimpali, “Kalau mereka mereka bisa memberi manfaat dan menolak bahaya kepada orang lain, tentu mereka mampu melakukannya untuk diri mereka sendiri.” Abu Darda berpikir “Seandainya patung itu benar tuhan, tentu dia sanggup membela dirinya sendiri…”
Lalu ditinggalkannya patung itu, ia pun tetap mencari Abdullah. Abu Darda berkata kepada istrinya, “Tolong siapkan air di wadah mandi untukku. Siapkan juga pakaian dan perlengkapannya.” Setelah itu ia pergi menuju Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Melihat kedatangan Abu Darda, Abdullah bin Rawahah berkata, “Rasulullah, itu Abu Darda. Menurutku ia datang untuk menuntut balas kepada kami.” Nabi menanggapi, “Kedatangannya untuk memeluk Islam. Sesungguhnya Rabku menjanjikan kepadaku bahwa Abu Darda akan memeluk Islam.”
Sejak detik pertama Abu Darda iman kepada Allah dan RasulNya, dia iman dengan sebenar-benarnya iman. Dia sangat menyesal terlambat masuk Islam. Sementara itu kawan-kawannya yang telah lebih dahulu masuk Islam telah memperoleh pengertian yang dalam tantang agama Allah ini. Mereka hafal Alquran, senantiasa beribadat, dan taqwa yang selalu mereka tanamkan dalam diri mereka di sisi Allah.
“Aku harus mengejar ketertinggalanku,” ucap Abu Darda suatu kali. Tekadnya ia buktikan. Ia bersusah-payah siang dan malam dan ia berpaling kepada urusan ibadah dan untuk sementara memutuskan hubungannya dengan dunia. Abu Darda mencurahkan perhatian kepada ilmu seperti orang kehausan; mempelajari dan menghafal Alquran dengan tekun. Ia berusaha menggali pengertian Alquran siang dan malam. Tatkala perdagangannya dirasakannya mengganggu dan merintanginya untuk beribadat dan menghadiri majelis-majelis ilmu, maka segera ditinggalkannya tanpa ragu-ragu ataupun menyesal.
Abu Darda cukup beruntung. Ia bisa langsung menggali dan belajar ilmu langsung dari Rasulullah. Dalam tempo yang singkat, ia bahkan sudah bisa mengejar teman-temannya. Banyak rekannya yang terkagum-kgum karena Abu Darda telah hafal Alquran sama seperti mereka yang telah lama memeluk Islam. Waktu berikutnya, ia menjelma menjadi ahli hadist, ahli fikih, ahli hikmah, filosof, dan ia juga ahli berdiplomasi.
Nasehat Salman pada Abu Darda
Salman telah dipersaudarakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan Abu Darda’. Suatu nasehat berharga yang disampaikan Salman pada Abu Darda’ dan wejangan ini diiyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah supaya Abu Darda’ tidak hanya sibuk ibadah, sampai lupa istirahat dan melupakan keluarganya.
Dari Abu Juhaifah Wahb bin ‘Abdullah berkata,
آخَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بَيْنَ سَلْمَانَ ، وَأَبِى الدَّرْدَاءِ ، فَزَارَ سَلْمَانُ أَبَا الدَّرْدَاءِ ، فَرَأَى أُمَّ الدَّرْدَاءِ مُتَبَذِّلَةً . فَقَالَ لَهَا مَا شَأْنُكِ قَالَتْ أَخُوكَ أَبُو الدَّرْدَاءِ لَيْسَ لَهُ حَاجَةٌ فِى الدُّنْيَا . فَجَاءَ أَبُو الدَّرْدَاءِ ، فَصَنَعَ لَهُ طَعَامًا . فَقَالَ كُلْ . قَالَ فَإِنِّى صَائِمٌ . قَالَ مَا أَنَا بِآكِلٍ حَتَّى تَأْكُلَ . قَالَ فَأَكَلَ . فَلَمَّا كَانَ اللَّيْلُ ذَهَبَ أَبُو الدَّرْدَاءِ يَقُومُ . قَالَ نَمْ . فَنَامَ ، ثُمَّ ذَهَبَ يَقُومُ . فَقَالَ نَمْ . فَلَمَّا كَانَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ قَالَ سَلْمَانُ قُمِ الآنَ . فَصَلَّيَا ، فَقَالَ لَهُ سَلْمَانُ إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، وَلأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا ، فَأَعْطِ كُلَّ ذِى حَقٍّ حَقَّهُ . فَأَتَى النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ ، فَقَالَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – « صَدَقَ سَلْمَانُ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mempersaudarakan antara Salman dan Abu Darda’. Tatkala Salman bertandang (ziarah) ke rumah Abu Darda’, ia melihat Ummu Darda’ (istri Abu Darda’) dalam keadaan mengenakan pakaian yang serba kusut. Salman pun bertanya padanya, “Mengapa keadaan kamu seperti itu?” Wanita itu menjawab, “Saudaramu Abu Darda’ sudah tidak mempunyai hajat lagi pada keduniaan.”
Kemudian Abu Darda’ datang dan ia membuatkan makanan untuk Salman. Setelah selesai Abu Darda’ berkata kepada Salman, “Makanlah, karena saya sedang berpuasa.” Salman menjawab, “Saya tidak akan makan sebelum engkau pun makan.” Maka Abu Darda’ pun makan. Pada malam harinya, Abu Darda’ bangun untuk mengerjakan shalat malam. Salman pun berkata padanya, “Tidurlah.” Abu Darda’ pun tidur kembali.
Ketika Abu Darda’ bangun hendak mengerjakan shalat malam, Salman lagi berkata padanya, “Tidurlah!” Hingga pada akhir malam, Salman berkata, “Bangunlah.” Lalu mereka shalat bersama-sama. Setelah itu, Salman berkata kepadanya, “Sesungguhnya bagi Rabbmu ada hak, bagi dirimu ada hak, dan bagi keluargamu juga ada hak. Maka penuhilah masing-masing hak tersebut.“
Kemudian Abu Darda’ mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu menceritakan apa yang baru saja terjadi. Beliau lantas bersabda, “Salman itu benar.” (HR. Bukhari no. 1968).
Mempunyai Pohon Kurma di Surga
Al Imam Nawawi menceritakan sebuah hadits shahih Muslim, Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam mengantarkan jenazahnya Abu Darda salah seorang sahabat dari kalangan Anshor, meninggal dunia lalu dimakamkan, dan Rasulullah mengatakan berapa banyak kurma-kurma yang bergelantungan milik Abu Darda di surga Allah jala jalalu. Ada apa sebenarnya dengan Abu Darda yang memiliki kebun kurma di surganya Allah tersebut?
Al Imam Nawawi menceritakan, bahwa pernah terjadi perseteruan antara sahabat kaum Anshor ribut tentang sebatang pohon kurma. Dikisahkan ada seorang anak yang mau membuat pagar di kebunnya, tapi sejalur dengan pagar itu ada satu pohon kurma milik tetangganya. Maka anak tersebut meminta kepada tetangganya, agar pohon kurma tersebut di ikhlaskan supaya dimasukkan kedalam pagar yang akan dia buat. Tapi tetangganya tersebut tidak setuju. Akhirnya anak itu tadi melaporkan kepada Rasulullah, dan dipanggillah tetangga yang memiliki sebatang pohon kurma tersebut.
Kata Rasulullah, kasihkan satu pohon kurma tersebut kepada anak itu, dan kau akan mendapatkan satu pohon kurma di surga. Kata sahabat itu tetap tidak mau, karna sayang dengan pohon kurma tersebut.
Ternyata cerita itu sampailah ditelinga Abu Darda, diapun mendatangi Rasulullah dan bertanya, wahai Rasulullah kalau satu pohon kurma tadi itu saya beli, apakah tawaranmu tetap berlaku untukku, agar aku punya satu pohon kurma di surga. Ya jawab Rasulullah.
Seketika itu juga berangkat Abu Darda menjumpai sahabat Anshor yang mempunyai satu pohon kurma itu. Sesampainya Abu Darda berkata: Kau tau ga’ Abu Darda yang memiliki kebun kurma kurang lebih 400 sampai 600 pohon kurma, tau kata sahabat Anshor itu. Mau ga’ satu pohon kurma kamu itu, aku ganti dengan 600 pohon kebun kurmaku. Ya maulah kata dia. Yaudah kata Abu Darda, aku beli sekarang ini juga. Akhirnya satu pohon kurma itu, dimiliki Abu Darda di surganya Allah jala jallalu. MasyaAllah.
Diceritakan oleh para ahli sirroh, ketika Abu Darda masuk ke kebunnya, dikebunnya itu ada istri dan anak-anaknya. Dipanggillah mereka sama Abu Darda, wahai Umma Darda, keluar kalian, kita sudah jual kebun ini dengan satu pohon kurma di surga Allah subhanallahu wata’ala. Apa kata istrinya: Abu Darda sungguh beruntung engkau.
Memiliki Sifat Zuhud
Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, Umar mengangkat Abu Darda menjadi pejabat tinggi di Syam. Tetapi, Abu Darda menolak pengangkatan tersebut. Khalifah Umar marah kepadanya. Lalu kata Abu Darda, “Bilamana Anda menghendaki saya pergi ke Syam, saya mau pergi untuk mengajarkan Alquran dan sunah Rasulullah kepada mereka serta menegakkan salat bersama-sama dengan mereka.” Khalifah Umar menyukai rencana Abu Darda tersebut. Lalu, Abu Darda berangkat ke Damsyiq. Sampai di sana didapatinya masyarakat telah mabuk kemewahan dan tenggelam dalam kenikmatan dunia. Hal itu sangat menyedihkannya. Maka, dipanggilnya orang banyak ke masjid, lalu dia berpidato di hadapan mereka.
Katanya, “Wahai penduduk Damsyiq! Kalian adalah saudaraku seagama, tetangga senegeri, dan pembela dalam melawan musuh bersama. Wahai penduduk Damsyiq! Saya heran, apakah yang menyebabkan kalian tidak menyenangi saya? Padahal, saya tidak mengharapkan balas jasa dari kalian. Nasihatku berguna untuk kalian, sedangkan belanjaku bukan dari kalian. Saya tidak suka melihat ulama-ulama pergi meninggalkan kalian, sementara orang-orang bodoh tetap saja bodoh. Saya hanya mengharapkan kalian supaya melaksanakan segala perintah Allah Taala, dan menghentikan segala larangan-Nya. Saya tidak suka melihat kalian mengumpulkan harta kekayaan banyak-banyak, tetapi tidak kalian pergunakan untuk kebaikan. Kalian membangun gedung-gedung yang mewah, tetapi tidak kalian tempati atau kalian mencita-citakan sesuatu yang tak mungkin tercapai oleh kalian. Bangsa-bangsa sebelum kamu pernah mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dan bercita-cita setinggi-tingginya. Tetapi hanya sebentar, harta yang mereka tumpuk habis kikis, cita-cita mereka hancur berantakan, dan bangunan-bangunan mewah yang mereka bangun rubuh menjadi kuburan. Hai penduduk Damsyiq! Inilah bangsa ‘Ad (kaum Nabi Hud As.)yang telah memenuhi negeri (antara Aden dan Oman) dengan harta kekayaan dan anak-anak. Siapakah di antara kalian yang berani membeli dariku peninggalan kaum ‘Ad itu dengan harga dua dirham?”
Mendengar pidato Abu Darda tersebut orang banyak menangis, sehingga isak tangis mereka terdengar dari luar masjid. Sejak hari itu Abu Darda senantiasa mengunjungi majelis-majelis masyarakat Damsyiq dan pergi ke pasar-pasar. Jika ada yang bertanya kepadanya, dijawabnya. Jika dia bertemu dengan orang bodoh, diajarinya; dan jika dia melihat orang terlalai, diingatkannya. Direbutnya setiap kesempatan yang baik sesuai dengan situasi dan kondisi serta kemampuan yang ada padanya.
Sifat Zuhud Lainnya
Abu Darda tidak meninggalkan perdagangan sama sekali. Dia hanya sekadar meninggalkan dunia dengan segala perhiasan dan kemegahannya. Baginya sudah cukup sesuap nasi sekadar untuk menguatkan badan, dan sehelai pakaian kasar untuk menutupi tubuh.
Pada suatu malam yang sangat dingin, suatu jamaah bermalam di rumahnya. Abu Darda menyuguhi mereka makanan hangat, tetapi tidak memberinya selimut. Ketika hendak tidur, mereka mempertanyakan selimut. Seorang di antaranya berkata, “Biarlah saya tanyakan kepada Abu Darda." Kata yang lain, “Tidak perlu!” Tetapi, orang yang seorang itu menolak saran orang yang tidak setuju. Dia terus pergi ke kamar Abu Darda. Sampai di muka pintu dilihatnya Abu Darda berbaring, dan istrinya duduk di sampingnya. Mereka berdua hanya memakai pakaian tipis yang tidak mungkin melindungi mereka dari kedinginan. Orang itu bertanya kepada Abu Darda, “Saya melihat Anda sama dengan kami, tengah malam sedingin ini tanpa selimut. Ke mana saja kekayaan dan harta benda Anda?”
Jawab Abu Darda, “Kami mempunyai rumah di kampung sana. Harta benda kami langsung kami kirimkan ke sana setiap kami peroleh. Seandainya masih ada yang tinggal di sini (berupa selimut), tentu sudah kami berikan kepada tuan-tuan. Di samping itu, jalan ke rumah kami yang baru itu sulit dan mendaki. Karena itu, membawa barang seringan mungkin lebih baik daripada membawa barang yang berat-berat. Kami memang sengaja meringankan beban kami supaya mudah dibawa". Kemudian Abu Darda bertanya kepada orang itu, “Pahamkah Anda?” Jawab orang itu, “Ya, saya mengerti.”
Kisah Akhir Hayat
Syumaith bin Ajlân rahimahullah berkata, “Tatkala Abu Darda` Radhiyallahu anhu hendak meninggal dunia, beliau merasa gelisah. Ummu darda` Radhiyallahu anha berkata kepadanya, ‘(Wahai Abu Darda`), bukankah engkau pernah memberitahuku bahwa engkau mencintai kematian?’ Abu Darda` Radhiyallahu anhu menjawab, ‘Demi Allah, benar’, akan tetapi tatkala aku yakin akan meninggal dunia, aku menjadi benci kepada kematian, kemudian Abu Darda` Radhiyallahu anhu menangis dan mengatakan, ‘Sekarang adalah detik-detik akhir hidupku di dunia ini. Bimbinglah aku mengucapkan lâ ilâha illallâh.’
Akhirnya Abu Darda` Radhiyallahu anhu senantiasa mengucapkan kalimat itu hingga meninggal dunia.” Beliau wafat dua tahun sebelum pembunuhan Utsmân bin Affân Radhiyallahu anhu yaitu tahun 32H di kota Dimasyq atau Damsyik atau Syam yang sekarang disebut kota Damaskus daerah negara Suriah. [Usudul Ghâbah 4/18-19, no. 4136]
Semoga kisah Abu Darda diatas bisa menginspirasi kita untuk mencontoh perbuatan baik Beliau di dalam kehidupan kita sekarang.
Wassalam,
DK
Sumber:
No comments:
Post a Comment