“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Thursday, February 1, 2018

Pengertian Bid'ah Dan Cara Menilainya


Assalamu'alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuhu,
Apabila kita mendengar kata bid'ah, sudah tentu ada banyak orang yang merasa risih dan tidak suka dengan kata-kata itu. Sebenarnya apa sih pengertian dari bid'ah tersebut yang Rasulullah ﷺ ajarkan kepada kita?

PENGERTIAN BID'AH

Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah  berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore". Lalu beliau ﷺ bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini". [Beliau ﷺ berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau ﷺ bersabda:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad . Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)

Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ

“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)

Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan:

يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا

“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi ﷺ bersabda:

أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)

Dari apa yang disampaikan Rasulullah ﷺ tersebut diatas, pengertian bid'ah tersebut dapat kita ambil kesimpulan bahwa bid'ah tersebut adalah setiap hal/perkara baru yang diada-adakan yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan Khulafa’ur Rasyidin dalam hal urusan ibadah atau agama. Sementara sesuatu hal/perkara baru yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ dan Khulafa’ur Rasyidin untuk selain urusan ibadah atau agama (untuk urusan dunia) itu tidak dikategorikan sebagai bid'ah.

Rasulullah ﷺ bersabda:

إِذَا كَانَ شَىْءٌ مِنْ أَمْرِ دُنْيَاكُمْ فَأَنْتُمْ أَعْلَمُ بِهِ فَإِذَا كَانَ مِنْ أَمْر دِينِكُمْ فَإِلَىَّ

“Apabila itu adalah perkara dunia kalian, kalian tentu lebih mengetahuinya. Namun, apabila itu adalah perkara agama kalian, kembalikanlah padaku.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengomentari bahwa sanad hadits ini hasan)

Segala sesuatu urusan dunia yang belum ada dan tidak pernah di lakukan oleh Rasulullah ﷺ maupun Khulafa’ur Rasyidin biasa dikenal dengan istilah Mashalih Mursalah (menolak kerusakan/kemadharatan itu lebih diutamakan daripada mendatangkan kemashlahatan).



ANGGAPAN SALAH BID'AH

Terkadang ada orang yang beranggapan bahwa bid’ah itu ada dua yaitu bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah (dholalah). Mereka berhujjah dengan pendapat sebagian salaf seperti perkataan Umar bin Khatthab radhiyallahu ‘anhu berikut:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ

"Sebaik-baik bid’ah adalah ini" 
[H.R. Malik dalam Al Muwaththa’ bab Ma Jaa-a fi Qiyaami Ramadhan].

Atau perkataan Imam Syafi’i –rahimahullah– yang menyebutkan:

الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّة فَهُوَ مَحْمُود وَمَا خَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوم

"Bid’ah itu ada dua: terpuji dan tercela. Bid’ah yang sesuai dengan sunnah berarti terpuji, sedangkan yang menyelisihinya berarti tercela"
[Lihat: Fathul Baari Syarh Shahihil Bukhari, penjelasan hadits no 7277].

Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam berbagai khutbah beliau senantiasa mengatakan:

مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلَا هَادِيَ لَهُ, إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلُّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ… (رواه النسائي يرقم 1560, وابن ماجه في مقدمة السنن برقم 45)

“Barangsiapa diberi hidayah oleh Allah, maka tak seorang pun bisa menyesatkannya; dan barangsiapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tak seorang pun yang bisa memberinya hidayah. Sebenar-benar perkataan adalah Kitabullah, dan sebaik-baik petunjuk ialah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara ialah perkara yang diada-adakan (dalam agama), dan setiap perkara yang diada-adakan (dalam agama) ialah bid’ah, sedang setiap bid’ah itu sesat dan setiap yang sesat itu di Neraka…” (H.R. An Nasa’i dan Ibnu Majah dari Jabir bin Abdillah, dan dishahihkan oleh Al Albani, lihat Irwa’ul Ghalil 3/73)

Jadi atas dasar perkataan Imam Syafi's diatas lah maka oang-orang salah mentafsirkan mengenai pembagian bid'ah, yang menurutnya bid'ah terpuji itu adalah bid'ah hasanah. Padahal bid'ah terpuji yang di maksudkan disitu adalah bid'ah yang secara bahasa, bukan secara istilah syar'i (agama/din). Bid'ah secara bahasa disitu seperti adanya handphone, kacamata, alat transportasi (mobil, pesawat terbang, kereta dll.) Menurud Al hafidz Ibnu Rozak tidak ada bid'ah yang secara terpuji maksudnya adalah yang secara istilah syar'i (agama/din).

Menurut Imam Syafi'i yang menyatakan bahwa tahlilan itu adalah bid'ah tercela, akan tetapi kebanyakan orang sekarang yang mengaku pengikut mahzab Imam Syafi'i malah sebaliknya mengerjakan tahlilan. Dari sini kita bisa lihat bahwa orang yang menganggap bid'ah itu ada yang hasanah, karena mereka tidak bisa memahami praktek daripada Imam Syafi'i. Berapa banyak praktek yang dianggap Imam Syafi'i adalah bid'ah, akan tetapi kebanyakan orang yang mengaku pengikutnya itu adalah bid'ah hasanah, padahal Imam Syafi'i menyatakan bahwa itu bid'ah dholalah (tercela).

Imam Nawawi juga termasuk yang menyatakan ada bid'ah hasanah, akan tetapi didalam prakteknya ketika beliau ditanya tentang kebenaran sholat roghoib dan sholat nisfu sya'ban. Beliau berkata kedua sholat tersebut tidak ditemukan didalam hadits yang shahih dan tidak pula menjadi amalan shalafus shalih, dan keduanya adalah bid'ah yang dholalah/tercela. Sementara kebanyakan orang yang mengaku pengikutnya mengangap bahwa sholat nisfu sya'ban tersebut adalah bid'ah hasanah.


CARA MENILAI BID'AH

Apakah sesuatu yang tidak dilakukan Rasulullah ﷺ itu mutlak bid'ah secara syari'at? Jawabannya ada 3 point.

Point Pertama:
Rasulullah ﷺ tidak melakukan karena Ada Faktor Penghalang.
Contoh:
Rasulullah mengerjakan sholat tarawih di Bulan Ramadhan, dan beliau tidak melakukannya setiap malam. Kenapa sebabnya? Didalam HR Abu Dawud dijelaskan karena takut menjadi kewajiban bagi umatnya hal inilah yang menjadi faktor penghalang.

Sebaliknya dizaman Umar bin Khatab, beliau melakukannya setiap malam. Dan Umar mengatakan ini adalah sebaik-baiknya bid'ah. Sholat Tarawih tidak bid'ah, akan tetapi Umar melakukannya sholat tarawih setiap malam dengan satu imam secara berjamaah di masjid. Kenapa Umar lakukan itu? Karena Umar tau alasan Rasulullah ﷺ tidak melakukan karena takut menjadi kewajiban bagi umatnya, sementara Rasulullah ﷺ sudah wafat dan tidak mungkin lagi di wajibkan. Dan juga karena ini maslahat yang besar, maka umar menganggap ini adalah sesuatu yang baik dan para sahabatpun mendukungnya. Mereka menganggap ini tidak termasuk bid'ah, kenapa? Karena pada saat Rasulullah ﷺ ada penghalangnya dan sementara ini maslahatnya besar maka ini adalah boleh dilakukan dan bukan bid'ah.

Point Kedua:
Rasulullah ﷺ tidak melakukan karena Tidak Ada Faktor Pendorong
Contoh:
Di zaman Rasulullah ﷺ tidak ada ilmu hadits, tidak ada ilmu ushul fiqih, tidak ada ilmu bahasa Arab, kenapa? Karna pada saat itu belum dibutuhkan. Ilmu hadits itu berbicara tentang sanad, dimana saat itu tidak ada sanad. Ilmu ushul fiqih berbicara tentang bentuk-bentuk bahasa, dimana para sahabat saat itu sudah fasih dan mahirnya berbahasa Arab. Jaadish ilmu ushul fiqih saat itu belum dibutuhkan.

Setelah Rasulullah ﷺ wafat, banyak orang yang masuk Islam tapi tidak paham bahasa Arab, dan mereka sering terjadi kesalahan dalam membaca Al Qur'an dan hadits. Maka hal ini sangat bahaya apabila tidak ada kosa kata bahasa Arab. Maka hal ini kemaslahatannya sangat besar maka di perbolehkan dan bukan bid'ah.

Point Ketiga:
Rasulullah ﷺ tidak melakukan meskipun Tidak Adanya Penghalang dan Adanya Faktor Pendorong.
Point ketiga ini adalah kebalikan dari point satu dan dua, maka point ketiga inilah yang disebut pembahasan bid'ah secara syari'at (agama/din)

Contoh:
Rasulullah ﷺ shoilat Idul Fitri dan Idul Adha tanpa ada adzan dan iqomah. Padahal dibutuhkan adzan dan iqomah tersebut untuk memanggil orang sholat. Dan tidak ada penghalangnya, karena Rasulullah ﷺ mampu menyuruh bilal untuk adzan atau iqomah. Akan tetapi Beliau tidak lakukan, yang artinya memang hal tersebut tidak di syari'atkan. Maka siapa yang melakukan Sholat Idul Fitri atau Idul Adha dengan adzan dan iqomah, mereka telah melakukan bid'ah dholalah/tercela.

Kesimpulan:
Dari ketiga point diatas, kita bisa simpulkan dimana:
1. Perkara tidak dapat dikatakan bid'ah dholalah/tercela apabila Rasulullah ﷺ tidak melakukannya karena adanya penghalang dan tidak adanya faktor pendorong.
2. Perkara dapat dikatakan bid'ah dholalah/tercela apabila Rasulullah ﷺ tidak melakukannya meskipun tidak adanya penghalang maupun adanya faktor pendorong.

Pada Intinya Apabila pertanyaan point 1 dan 2 dijawab "Ya" maka itu bukan bid'ah, akan tetapi sebaliknya apabila point 3 dijawab "Ya" berarti itu adalah bid'ah dholalah/tercela.

Maka perkara itu dikatakan bid'ah apabila jawabannya:
Point 1: Tidak
Point 2: Tidak
Point 3: Ya

Maka perkara itu dikatakan bukan bid'ah apabila jawabannya:
Point 1: Ya
Point 2: Ya
Point 3: Tidak



BERIKUT BEBERAPA CONTOH CARA MENILAI BID'AH

CONTOH 1. APAKAH BEDUG BID'AH?

Dari penjelasan pengertian bid'ah diatas mari kita coba menilai apakah bedug tersebut bid'ah?

Pertanyaan Pertama
Apakah pada saat itu Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya karena ada penghalang?
Tidak, Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya bukan karena adanya penghalang. Apabila kita lihat dari bahan pembuat bedug tersebut, sudah tentu bahannya terdiri dari kayu dan kulit hewan serta tali pengikat. Kita juga pasti tahu bahwa pada zaman Rasulullah ﷺ semua bahan tersebut pasti sudah ada. Jadi sebenarnya Rasulullah ﷺ tidak melakukannya bukan karena ada penghalang, melainkan untuk membuat bedug sangatlah mudah mengingat semua bahannya saat itu ada dan bisa dibuat oleh para sahabat.

Pertanyaan Kedua
Apakah pada saat itu Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya karena tidak adanya faktor pendorong?
Tidak, Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya bukan karena tidak adanya faktor pendorong. Sudah tentu ada banyak faktor pendorongnya, karena asal muasal Rasulullah ﷺ mengumandangkan adzan itu yaitu sebagai pemberi informasi tanda waktu sholat, setelah melalui beberapa pertimbangan para sahabat. Dimana saat itupun sahabat mengajukan alat bunyi lain seperti lonceng atau terompet. Pada dasarnya lonceng sama halnya dengan bedug yang di pukul akan tetapi Rasulullah ﷺ tidak mau menyamakannya dengan orang Yahudi atau Nasrani.

Berikut hadits shahih tentang asal muasal adzan:
Azan disyari’atkan di Madinah pada tahun pertama Hijriyah. Inilah pendapat yang lebih kuat. Di antara dalil yang mendukung pendapat ini adalah hadits Ibnu ‘Umar, di mana beliau berkata,

كَانَ الْمُسْلِمُونَ حِينَ قَدِمُوا الْمَدِينَةَ يَجْتَمِعُونَ فَيَتَحَيَّنُونَ الصَّلاَةَ ، لَيْسَ يُنَادَى لَهَا ، فَتَكَلَّمُوا يَوْمًا فِى ذَلِكَ ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ اتَّخِذُوا نَاقُوسًا مِثْلَ نَاقُوسِ النَّصَارَى . وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ بُوقًا مِثْلَ قَرْنِ الْيَهُودِ . فَقَالَ عُمَرُ أَوَلاَ تَبْعَثُونَ رَجُلاً يُنَادِى بِالصَّلاَةِ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « يَا بِلاَلُ قُمْ فَنَادِ بِالصَّلاَةِ »

“Kaum muslimin dahulu ketika datang di Madinah, mereka berkumpul lalu memperkira-kira waktu sholat, tanpa ada yang menyerunya, lalu mereka berbincang-bincang pada satu hari tentang hal itu. Sebagian mereka berkata, gunakan saja lonceng seperti lonceng yang digunakan oleh Nashrani. Sebagian mereka menyatakan, gunakan saja terompet seperti terompet yang digunakan kaum Yahudi. Lalu ‘Umar berkata, “Bukankah lebih baik dengan mengumandangkan suara untuk memanggil orang shalat.” Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Wahai Bilal bangunlah dan kumandangkanlah azan untuk shalat.”  (HR. Bukhari no. 604 dan Muslim no. 377).

Dari hadits diatas sudah terjawab kenapa bedug tidak digunakan oleh Rasulullah ﷺ meskipun ada pendorongnya, yaitu karena bedug sama halnya dengan lonceng yang dipukul dan itu akan menyamai dengan kaum Nashrani.

Kebanyakan orang berasumsi bahwa bedug tersebut hanya digunakan oleh orang Indonesia di zaman dahulu sebagai tanda masuknya sholat wajib karena kontur geografi Indonesia tertutup oleh pepohonan, bukit serta pegunungan. 

Akan tetapi apabila kita memahami secara ilmiah dimana suara manusia dan bunyi bedug itu pada hakikatnya adalah suatu bentuk gelombang longitudinal yang bisa didengar manusia yang merambat secara perapatan dan perenggangan, dan terbentuk oleh partikel zat perantara (medium) serta ditimbulkan oleh sumber bunyi yang mengalami getaran. Jadi bunyi atau suara adalah kompresi mekanikal atau gelombang longitudinal yang merambat melalui zat perantara (medium) berupa zat cair, padat, gas. Dalam arti apabila suara manusia terhalang oleh pepohonan, bukit atau pegunungan maka sudah jelas bunyi bedug pun akan terhalang. Begitupun apabila didalam sebuah gua suara manusia akan memantul, maka bunyi bedug pun akan terdengar memantul. Jadi tidak beralasan apabila kita menggunakan bedug sebagai tanda masuknya sholat karena dengan suara manusiapun kita bisa melakukannya.


Perlu kita ingat bahwa Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى berfirman:

وَإِذَا نَادَيْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ اتَّخَذُوهَا هُزُوًا وَلَعِبًا ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لا يَعْقِلُونَ ٥٨

"dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) sembahyang, mereka menjadikannya buah ejekan dan permainan. yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal."
(QS. Al Maidah: 58).

Pertanyaan Ketiga,Apakah Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukan meskipun tidak adanya  penghalang maupun adanya faktor pendorong?
Ya, Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukan meskipun tidak adanya penghalang maupun adanya faktor pendorong. Meskipun sangat mudah membuat bedug saat itu karena hal ini bukan penghalang dan adanya faktor pendorong karna saat itu sangat diperlukan pemberi tanda waktu sholat, akan tetapi Beliau melarangnya menggunakannya karena menyamai orang Nashrani.

Kesimpulan:
Dari pertanyaan pertama hingga terakhir semuanya bertentangan dengan point penilaian bid'ah. Oleh sebab itu kesimpulannya bedug tersebut adalah bid'ah karena bedug tersebut merupakan alat bunyi yang dipukul sama halnya dengan lonceng dimana Rasulullah ﷺ sudah melarangnya karena menyamai dengan orang Nasrani.


CONTOH 2. APAKAH MIKROFON BID'AH?

Sama halnya dalam menilai bedug diatas, kita juga bisa menilai apakah mikrofon bid'ah atau tidak?

Pertanyaan Pertama, 
Apakah pada saat itu Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya karena ada penghalangnya?
Ya, Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya karena ada penghalangnya yaitu karena saat itu tidak ada teknologi pengeras suara sejenis mikrofon, load speaker atau amplifier.

Pertanyaan Kedua
Apakah pada saat itu Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya karena tidak adanya faktor pendorong?
Ya, Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya karena tidak ada faktor pendorongnya. Karena saat itu dengan suara Bilal semua orang sudah bisa mendengar lantunan adzan sebagai tanda waktu sholat keseluruh pelosok kampung. Jadi saat itu sudah mencukupi dan tidak perlu menggunakan alat pengeras suara.

Pertanyaan Ketiga,
Apakah Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukan meskipun tidak adanya  penghalang maupun adanya faktor pendorong?
Tidak, Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukan pemakaian mikrofon bukan karena tidak adanya penghalang maupun adanya faktor pendorong. Melainkan sebaliknya Beliau tidak melakukannya karena adanya penghalang dan tidak adanya faktor pendorong untuk menggunakan mikrofon tersebut.

Kesimpulan:
Dari pertanyaan pertama hingga ke tiga menyatakan mikrofon itu bukan bid'ah. Dimana Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya karena adanya penghalang berupa belum adanya teknologi pengeras suara dan tidak adanya faktor pendorongnya saat itu karna memang belum dibutuhkan.

Hal serupa dengan mikrofon yang bukan bid'ah yaitu: kacamata, handphone, mobil, motor, pesawat terbang, maupun kereta api, semua itu dikategorikan sebagai Mashalih Mursalah.


CONTOH 3. APAKAH TASBIH BID'AH?

Kembali kita menggunakan metode yang sama seperti diatas.

Pertanyaan Pertama
Apakah pada saat itu Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya karena ada penghalangnya?
Tidak, karena pada zaman Rasulullah ﷺ bahan untuk membuat tasbih ada dan sangat mudah didapat, dari hadits riwayat At Thismidzi mengatakan bahwa ada seorang sahabat yang berzikir menggunakan biji kurma, akan tetapi hadits tersebut dhoif/lemah.

Dari Shafiyah bintu Huyay istri Rasulullah ﷺ, beliau berkata:

:دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللَّهِ  وَ بَيْنَ يَدَيَّ أَرْبَعَةُ آَلاَفِ نُوَاةٍ أُسَبِّحُ بِهِنَّ، فَقَالَ: يَا بِنْتَ حُيَيْ، مَا هَذَا؟ قُلْتُ
أُسَبِّحُ بِهِنَّ، قَالَ: قَدْ  سَبَّحْتُ مُنْذُ قُمْتُ عَلَى رَأْسِكَ أَكْثَرَ مِنْ هَذَا، قُلْتُ: عَلِّمْنِي يَا رَسُوْلَ اللَّهِ. قَالَ: قُوْلِي: سُبْحَانَ اللَّهِ  عَدَدَ مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ

“Rasulullah ﷺ masuk ke (rumah) saya sedangkan di hadapanku ada 4.000 biji kurma yang kugunakan untuk bertasbih. Lalu beliau Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam bertanya: ‘Wahai Bintu Huyay, apa ini?’ Aku menjawab: "(Biji kurma) ini kupakai untuk bertasbih." Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: "Sungguh aku telah bertasbih lebih banyak sejak aku beranjak dari sisi kepalamu daripada (tasbihmu) ini." Aku berkata: "Ajari aku (yang lebih banyak dari ini) ya Rasulullah!" Beliau bersabda: "Ucapkan
سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ اللَّهُ مِنْ شَيْءٍ

(Aku bertasbih sebanyak apa yang Alloh ciptakan dari segala sesuatu apa pun).’”

Takhrij hadits:
Hadits di atas dikeluarkan oleh at-Tirmidzi: 4/274, Abu Bakar asy-Syafi’i dalam al-Fawa‘id: 37/255/1, al-Hakim: 1/547, dari jalan Hasyim bin Sa’id dari Kinanah maula Shafiyah dari Shafiyah.

Keterangan:
Hadits ini Dho'if/Lemah, didho’ifkan oleh at-Tirmidzi, beliau mengatakan: “Hadits ini ghorib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalannya Hasyim bin Sa’id al-Kufi dan sanad beliau tidak dikenal.
Ibnu Ma’in berkata tentang Hasyim al-Kufi: “Dia tidak ada apa-apanya.”
Ibnu Adiy berkata: “Apa yang diriwayatkan tidak dapat dikuatkan dengan yang lain.”


Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dia adalah dho’if (lemah).”

Hadits yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash:

أَنَّهُ دَخَلَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى امْرَأَةٍ وَبَيْنَ يَدَيْهَا نَوًى أَوْ قَالَ حَصًى تُسَبِّحُ بِهِ فَقَالَ أَلَا أُخْبِرُكِ بِمَا هُوَ أَيْسَرُ عَلَيْكِ مِنْ هَذَا أَوْ أَفْضَلُ سُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الْأَرْضِ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا بَيْنَ ذَلِكَ وَسُبْحَانَ اللَّهِ عَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ وَاللَّهُ أَكْبَرُ مِثْلَ ذَلِكَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ مِثْلَ ذَلِكَ قَالَ أَبُو عِيسَى وَهَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ مِنْ حَدِيثِ سَعْدٍ.

Dia (Sa’ad bin Abi Waqqash) bersama Rasulullah menemui seorang wanita dan di tangan wanita tersebut ada bijian atau kerikil yang digunakan untuk menghitung tasbih (dzikir). Rasulullah bersabda,”Maukah kuberitahu engkau dengan yang lebih mudah dan lebih afdhal bagimu dari pada ini? (Ucapkanlah): Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di langit, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya di bumi, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya diantara keduanya, Maha Suci Allah sejumlah ciptaanNya sejumlah yang Dia menciptanya, dan ucapan: اللَّهُ أَكْبَرُ seperti itu, َالْحَمْدُ لِلَّهِ seperti itu, dan لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ seperti itu.”

HR Abu Dawud, 4/ 366; At Tirmidzi, no. 3568 dan berkata,”Hadits hasan gharib.” Nasai’i dalam Amal Al Yaum wa Lailah; Ath Thabrani dalam Ad Du’a, 3/ 1584; Al Baihaqi dalam Asy Syu’ab, 1/347 Al Baghawi, dalam Syarhu As Sunnah, 1279 dan lainnya. Semua sanadnya bersumber pada Sa’id bin Abi Hilal. Ibnu Hajar menganggapnya “shaduuq”  yang tingkatannya berada dibawah tsiqah (kebenarannya 50-50).

Cara bertasbih yang dianjurkan oleh Rasulullah ﷺ yaitu menggunakan jari-jemari tangan sebelah kanan seperti hadits dibawah ini:
Rasulullah ﷺ bersabda:
يَا نِسَاءَ الْمُؤْمِنِيْنَ عَلَيْكُنَّ باِلتَّهْلِيْلِ وَالتَّسْبِيْحِ وَالتَّقْدِيْسِ
وَلاَ تَغْفُلْنَ فَتَنْسِيَنَّ الرَّحْمَةَ وَاعْقُدْنَ بِاْلأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُوْلاَتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ (أخرجه أحمد رقم 27134 والطبرانى رقم 180 وأبو داود رقم 1501 والترمذى رقم 3583)

“Wahai wanita Mukminat, lakukanlah tahlil, tasbih dan taqdis. Janganlah kalian lupa, maka kalian lupa pada rahmat. Hitunglah dengan jar-jari. Sebab jari akan ditanya dan diminta jawaban” (HR Ahmad 27134, Thabrani 180, Abu Dawud 1501 dan Turmudzi 3583)

Dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو  قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ  يَعْقِدُ التَّسْبِيْحَ بِيَمِيْنِهِ

“Aku pernah melihat Rasulullah Shollallohu ‘Alaihi wa Sallam menghitung dzikir dengan tangan kanannya.” (HR. Abu Dawud: 1330 dan dishohihkan oleh al-Albani)

Pertanyaan Kedua,
Apakah pada saat itu Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya karena tidak adanya faktor pendorong?
Tidak, sudah pasti ada faktor pendorongnya, karena zikir itu dianjurkan Rasulullah ﷺ sejumlah 33x, para sahabat sudah tentu yang belum paham berzikir menggunakan jemari akan lebih memilih menggunakan tasbih. Jadi karena hitungan tersebutlah yang menjadi pendorong sahabat menggunakan tasbih.

Akan tetapi perlu kita ketahui bahwa Allah Subhanallahi Wata'ala menciptakan ruas jemari tangan kita sejumlah 33 dari kelingking sisi kanan hingga jempol sisi kiri, hal itu sudah cukup satu kali putaran. Oleh sebab itu bisa dikatakan sudah tidak diperlukan lagi menggunakan tasbih, karena setiap ruas jemari kita akan diminta pertanggung jawaban di akhirat kelak.

Rasulullah ﷺ bersabda:
وَاعْقُدَنَّ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْؤُوْلَاتٌ وَمُسْتَنْطَقَاتٌ.

“Hitunglah (dzikir) itu dengan ruas-ruas jari karena sesungguhnya (ruas-ruas jari) itu akan ditanya dan akan dijadikan dapat berbicara (pada hari Kiamat).” (HR. Abu Dawud: 1345, dishohihkan oleh al-Hakim dan adz-Dzahabi, dihasankan oleh an-Nawawi dan al-Hafizh, al-Albani dalam Silsilah Dho’ifah: 1/186)

Pertanyaan Ketiga,
Apakah Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukan meskipun tidak adanya  penghalang maupun adanya faktor pendorong?
Ya, Rasulullah ﷺ tidak melakukannya meskipin tidak ada penghalang dan adanya faktor pendorong, karena Beliau selalu menggunakan ujung jari-jemari dalam berzikir.

Dari Yusairah seorang wanita Muhajirah, dia berkata:

قَالَ لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْكُنَّ بِالتَّسْبِيحِ وَالتَّهْلِيلِ وَالتَّقْدِيسِ وَاعْقِدْنَ بِالْأَنَامِلِ فَإِنَّهُنَّ مَسْئُولَاتٌ مُسْتَنْطَقَاتٌ وَلَا تَغْفُلْنَ فَتَنْسَيْنَ الرَّحْمَة

“Rasulullah ﷺ berkata kepada kami: “Hendaknya kalian bertasbih (ucapkan subhanallah), bertahlil (ucapkan laa ilaha illallah), dan bertaqdis (mensucikan Allah), dan himpunkanlah (hitunglah) dengan ujung jari jemari kalian karena itu semua akan ditanya dan diajak  bicara, janganlah kalian lalai yang membuat kalian lupa dengan rahmat Allah.” (HR. At Tirmidzi no. 3583 dan Abu Daud no. 1501 dari hadits Hani bin ‘Utsman dan dishahihkan Adz Dzahabi. Sanad hadits ini dikatakan hasan oleh Al Hafizh Abu Thohir)

Kesimpulan:
Dari pertanyaan pertama hingga ketiga sudah jelas biji tasbih tersebut menyimpang dari ajaran Rasulullah ﷺ. Dan sudah jelas hal tersebut adalah  bid'ah meskipun sebagai alat bantu. Ditambah lagi anjuran langsung dari Rasulullah ﷺ dimana dalam berzikir kita dianjurkan menggunakan ruas jemari tangan kanan, karena setiap ruas jemari kita akan dipertanggung jawabkan di akhirat kelak.



CONTOH 4. APAKAH PERAYAAN MAULID NABI BID'AH?

Secara bahasa Maulid yang diartikan sebagai waktu kelahiran, sementara maulud adalah nabi yang dilahirkan. Memang kita harus meyakini bahwa Maulid atau kelahiran Rasulullah itu ada dan juga meyakini Maulud atau nabi yang dilahirkan itu ada. Akan tetapi secara dalil, tidak ada ayat Al Qur'an maupun hadits Nabi, riwayat sahabat, serta ucapan 4 imam mazhab yang menunjukkan dianjurkannya merayakan maulid Nabi.

Untuk menjawab apakah Maulid itu Bid'ah atau tidak bisa kita menilainya dengan ketiga pertanyaan berikut:

Pertanyaan Pertama,
Apakah pada saat itu Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya karena ada penghalangnya?
Tidak,  Rasulullah ﷺ tidak melakukannya bukan karena ada penghalangnya, akan tetapi hal tersebut bisa dilakukan kapan saja setiap tahunnya. Hal ini menyatakan bahwa tidak ada penghalang untuk melakukannya. Sejak Rasulullah ﷺ lahir, diangkat menjadi Rasul hingga wafat dan sampai di zaman Khulafa’ur Rasyidin-pun belum pernah melakukan perayaan maulid tersebut.

Tidaklah kita temukan satu dalil pun yang menunjukkan disyari’atkannya maulid Nabi setelah sempurnanya Islam. Tidak ada hadits Nabi, riwayat sahabat, serta ucapan 4 imam mazhab yang menunjukkan dianjurkannya merayakan maulid Nabi.

Dari Ibnu Taimiyyah mengatakan “Sesungguhnya para salaf tidak merayakannya (maulid Nabi-pen) padahal ada faktor pendorong untuk merayakannya dan juga tidak ada halangan untuk merayakannya. Seandainya perbuatan itu isinya murni kebaikan, atau mayoritas isinya adalah kebaikan, niscaya para salaf radhiyallahu ‘anhum lebih berhak untuk merayakannya. Karena mereka adalah orang yang lebih besar kecintaannya dan pengagungannya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dibandingkan kita. Mereka -para salaf- lebih semangat untuk berbuat kebaikan” (lihat Iqtidho Shirothil Mustaqim, 2/612-616, dinukil dari Al Bida’ Al Hauliyah, hal. 198)

Pertanyaan Kedua,
Apakah pada saat itu Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya karena tidak adanya faktor pendorong?
Tidak, Rasulullah ﷺ tidak melakukannya bukan karena tidak adanya faktor pendorong. Akan tetapi sangat banyak sekali faktor pendorongnya, salah satunya yaitu kecintaan para sahabat kepada Rasulullah ﷺ yang teramat besar. Ditambah faktor pendorong dari kebiasaan umat sebelum Islam seperti dari Nasrani yang memperingati kelahiran Yesus Kristus, dari Budha memperingati kelahiran Sidharta dan lainnya.

Pertanyaan Ketiga,
Apakah Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukan meskipun tidak adanya  penghalang maupun adanya faktor pendorong?
Ya, Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya meskipun tidak adanya penghalang maupun adanya faktor pendorong. Beliau bisa kapan saja melakukan perayaan itu setiap tahunnya, bahkan setelah Rasulullah ﷺ wafat pun para sahabat bisa kapan saja merayakannya, hal tersebut bukanlah suatu penghalang. Begitupun besarnya rasa cinta para sahabat kepada Beliau hal tersebut menjadi faktor pendorong utama untuk melakukan perayaan maulid tersebut. Akan tetapi Rasulullah ﷺ atau Khulafa’ur Rasyidin tidak melakukannya karena tidak ingin mencontoh ajaran Nasrani atau agama sebelum Islam.

Kesimpulan:
Karena acara peringatan tersebut belum pernah di contohkan oleh Rasulullah ﷺ maupun Khulafa’ur Rasyidin yang pada saat itu sebenarnya sudah ada faktor pendorong dan tidak ada halangan untuk melakukannya. Terlebih lagi hal tersebut untuk urusan agama, maka dalam hal ini perayaan maulid nabi tersebut adalah bid'ah. Kalau memang ada acara tausiyah kenapa hanya di khususkan dan dilakukan setiap tahun sekali dan kenapa tidak setiap minggu atau bulan? Sudah jelas acara peringatan tersebut dikhususkan untuk merayakan bukan untuk tausiyah, hal tersebut tidak ada tuntunannya sama sekali.

Semoga bermanfaat,
DK

Sumber:

No comments:

Post a Comment