Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuhu,
Hai sobat blogger, apakah diantara kalian tahu kapan ibadah haji itu mulai diwajibkan oleh Rasulullah? Dalam hal ini ada perdebatan diantara ulama, ada yang bilang tahun 4 Hijriyah, ada yang 6 Hijriyah, dan ada pula yang menyatakan tahun 9 Hijriyah. Lantas tahun berapa yang sebenarnya diperintahkan wajibnya melaksanakan ibadah hadi oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam? Ikuti penjelasannya dibawah ini.
Pada awalnya ibadah haji tersebut disyariatkan sejak zaman Nabi Ibrahim alaihisalam yang dikisahkan dalam Al Qur'an dibawah ini :
وَاَذِّنْ فِى النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوْكَ رِجَالًا وَّعَلٰى كُلِّ ضَامِرٍ يَّأْتِيْنَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيْقٍ ۙ
“Wahai Ibrahim, serulah manusia untuk (mengerjakan) haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh.” (Al Qur'an surat Al Hajj ayat 27)
Akan tetapi setelah Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail wafat, kegiatan ibadah haji tersebut sudah berubah drastis bahkan bercampur dengan kesyirikan, oleh sebab itulah Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam mensyariatkan kembali ajaran mengenai ibadah haji dan umrah yang sesuai diajarkan Allah kepada Nabi Ibrahim dahulu kepada umat Islam sebagai pembeda dengan haji yang sudah bercampur dengan kesyirikan.
Sepanjang hidupnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan umrah sebanyak 4 kali, seperti yang diceritakan oleh sahabat Abu Al Walid dibawah ini:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ قَالَ سَأَلْتُ أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَقَالَ اعْتَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَيْثُ رَدُّوهُ وَمِنْ الْقَابِلِ عُمْرَةَ الْحُدَيْبِيَةِ وَعُمْرَةً فِي ذِي الْقَعْدَةِ وَعُمْرَةً مَعَ حَجَّتِهِ حَدَّثَنَا هُدْبَةُ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ وَقَالَ اعْتَمَرَ أَرْبَعَ عُمَرٍ فِي ذِي الْقَعْدَةِ إِلَّا الَّتِي اعْتَمَرَ مَعَ حَجَّتِهِ عُمْرَتَهُ مِنْ الْحُدَيْبِيَةِ وَمِنْ الْعَامِ الْمُقْبِلِ وَمِنْ الْجِعْرَانَةِ حَيْثُ قَسَمَ غَنَائِمَ حُنَيْنٍ وَعُمْرَةً مَعَ حَجَّتِهِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid Hisyam bin 'Abdul Malik telah menceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah berkata; Aku bertanya kepada Anas radliallahu 'anhu tentang sesuatu, lalu dia berkata: "Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan 'umrah sebanyak empat kali. Yaitu 'umrah ketika mereka (Kaum Musyrikin) menghalangi Beliau, 'umrah pada tahun berikutnya yaitu 'umrah Al Hudaibiyah, 'umrah pada bulan Dzul Qa'dah dan 'umrah saat Beliau menunaikan haji". Telah menceritakan kepada kami Hudbah telah menceritakan kepada kami Hammam dan dia berkata: "Beliau shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan 'umrah sebanyak empat kali yang kesemuanya pada bulan Dzul Qa'dah kecuali 'umrah yang Beliau laksanakan bersama hajinya. Yaitu 'umrah Beliau dari Al Hudaibiyah, 'umrah pada tahun berikutnya, 'umrah Al Ji'ranah saat Beliau membagibagikan ghanimah (harta rampasan perang) Hunain dan 'umrah dalam 'ibadah haji Beliau". (HR. Imam Bukhari No. 1655)
Untuk Ibadah haji Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam melakukannya hanya sekali yang merupakan haji pertama dan haji wada (perpisahan) yang dijelaskan didalam hadits Imam Muslim dibawah ini:
حدثنا محمد بن المثنى حدثني عبد الصمد حدثناهمام حدثنا قتادة قال سألت أنساكم رسول الله صلى الله عليه وسلم قال حجة واحدة واعتمر أربع عمر ثم ذكر بمثل حدیث هذاب
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepadaku Abdush Shamad Telah menceritakan kepada kami Hammam telah menceritakan kepada kami Qatadah ia berkata; Saya bertanya kepada Anas, "Berapa kali Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengerjakan ibadah haji?" Anas menjawab, "Beliau mengerjakan haji hanya sekali, dan umrah sebanyak empat kali." Kemudian ia pun menyebutkan hadits sebagaimana hadits Haddab. (HR Imam Muslim No. 2197)
Berikut penjelasan sejarah ibadah haji dan umrah yang dilakukan Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam dari sejak hijrah.
Tahun 4 Hijriyah
Diawali dengan turunnya firman Allah dalam surat Al Imran ayat 97 yang berbunyi:
فِيْهِ اٰيٰتٌۢ بَيِّنٰتٌ مَّقَامُ اِبْرٰهِيْمَ ەۚ وَمَنْ دَخَلَهٗ كَانَ اٰمِنًا ۗ وَلِلّٰهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ اِلَيْهِ سَبِيْلًا ۗ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعٰلَمِيْنَ
"Di sana terdapat tanda-tanda yang jelas, (di antaranya) maqam Ibrahim. Barangsiapa memasukinya (Baitullah) amanlah dia. Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana. Barangsiapa mengingkari (kewajiban) haji, maka ketahuilah bahwa Allah Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) dari seluruh alam." (Qur'an Surat Al Imran Ayat 97)
Surat Ali Imran ayat 97 turun pada tahun 4 Hijriyah atau 625 Masehi. Sebagaimana kita tahu bahwa awal Surat Ali Imran ayat 97 turun bersamaan dengan datangnya kunjungan delegasi nasrani dari kaum Najran.
Para ahli tafsir mengatakan, arti dari surat Al Imran yang menyatakan "Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana." hal tersebut berarti tidak berbicara terkait awal kewajiban ibadah haji dan umrah. Hal tersebut hanya menjelaskan bahwa kewajiban manusia melaksanakan haji ke Baitullah (Makkah) bagi orang yang mampu.
Tahun 6 Hijriyah
Pada tahun 6 Hijriyah, Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam berangkat untuk melaksanakan umrah pertama ke Makkah, akan tetapi Beliau dihalangi oleh kaum musrikin Quraisy Makkah karena saat itu Makkah masih dikuasai oleh kaum Quraisy.
Dikarenakan Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam dan para sahabat sudah berniat umrah dan mereka terhalangi untuk melaksanakannya sehingga Allah menurunkan firmanNya di dalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 196 yang menyuruh untuk menyempurnakan umrahnya. Kemudian Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam menyembelih unta. Beliau dan para sahabat mencukur rambut. Mereka bertahalul dan kembali ke Madinah pada tahun itu juga. Berikut surat Al Baqarah ayat 196 yang berbunyi:
وَاَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلّٰهِ ۗ فَاِنْ اُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ وَلَا تَحْلِقُوْا رُءُوْسَكُمْ حَتّٰى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهٗ ۗ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا اَوْ بِهٖٓ اَذًى مِّنْ رَّأْسِهٖ فَفِدْيَةٌ مِّنْ صِيَامٍ اَوْ صَدَقَةٍ اَوْ نُسُكٍ ۚ فَاِذَآ اَمِنْتُمْ ۗ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ اِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِۚ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلٰثَةِ اَيَّامٍ فِى الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ اِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗذٰلِكَ لِمَنْ لَّمْ يَكُنْ اَهْلُهٗ حَاضِرِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ وَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ ࣖ
"Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah. Tetapi jika kamu terkepung (oleh musuh), maka (sembelihlah) hadyu yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum hadyu sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antara kamu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu dia bercukur), maka dia wajib berfidyah, yaitu berpuasa, bersedekah atau berkurban. Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari). Demikian itu, bagi orang yang keluarganya tidak ada (tinggal) di sekitar Masjidilharam. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras hukuman-Nya." (Qur'an Surat Al Baqarah Ayat 196)
Karena ibadah umrah yang selalu dihalangi oleh kamum Quraisy tersebut, akhirnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam mencoba melakukan diplomasi untuk bisa melakukan ibadah umrah di tahun berikutnya, sehingga keluarlah penjanjian hudaibiyah yaitu perjanjian perdamaian antara umat Islam Madinah dengan kaum musyrik Quraisy Makkah.
Ahli tafsir menyatakan bahwa Surat Al-Baqarah ayat 196 inipun tidak berbicara terkait awal kewajiban ibadah haji dan umrah. Surat Al-Baqarah ayat 196 hanya berisi perintah untuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah dikarenakan saat itu umrah Rasulullah dihalangi oleh kaum musrik Quraisy.
Dengan adanya perjanjian Hudaibiyah ini maka bergabunglah suku Khuza’ah di kubu Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dan suku Bakr bergabung di kubu orang kafir Quraisy, yang mana sebelumnya di zaman jahiliyah kedua suku ini selalu bermusuhan, sehingga perjanjian Hudaibiyah ini membuat masing-masing suku melakukan gencatan senjata.
Tahun 7 Hijriyah
Setelah adanya perjanjian Hudaibiyah akhirnya Rasulullah dan para sahabat lainnya diperbolehkan untuk beribadah di Makkah dengan aman dan tenang karena adanya gencatan senjata diantara kedua suku, sehingga akhirnya Rasulullah bisa mengqhadha umrahnya pada tahun 7 Hijriyah tersebut yang sebagai umrah kedua atau disebut juga dengan umrah qadha.
Dalam umrah ini, Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam melakukan tawaf dan sa'i antara Shafa dan Marwah dalam keadaan menunggangi unta dan dengan tongkatnya, beliau menyentuh Hajar Aswad.
Menurut keyakinan sebagian ahli tafsir ayat 194 surah Al-Baqarah turun mengenai Umrah al-Qadha. Begitu juga dikatakan bahwa penurunan ayat 27 dari surah Al-Fath dan pernikahan Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam dengan Maimunah terjadi dalam perjalanan ini.
ٱلشَّهْرُ ٱلْحَرَامُ بِٱلشَّهْرِ ٱلْحَرَامِ وَٱلْحُرُمَٰتُ قِصَاصٌ ۚ فَمَنِ ٱعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَٱعْتَدُوا۟ عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا ٱعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلْمُتَّقِينَ
"Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishaash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa". (QS Al Baqarah Ayat 194)
لَّقَدْ صَدَقَ ٱللَّهُ رَسُولَهُ ٱلرُّءْيَا بِٱلْحَقِّ ۖ لَتَدْخُلُنَّ ٱلْمَسْجِدَ ٱلْحَرَامَ إِن شَآءَ ٱللَّهُ ءَامِنِينَ مُحَلِّقِينَ رُءُوسَكُمْ وَمُقَصِّرِينَ لَا تَخَافُونَ ۖ فَعَلِمَ مَا لَمْ تَعْلَمُوا۟ فَجَعَلَ مِن دُونِ ذَٰلِكَ فَتْحًا قَرِيبًا
"Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat". (QS Al Fath Ayat 27)
Orang lain dan kaum muslimin yang ikut bergabung bersama Rasulullah untuk menunaikan ibadah umrah mencapai dua ribu orang. Ketika itu kaum muslimin membawa 60 ekor unta untuk dijadikan kurban. Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam menunjuk Abu Dzar Ghifari untuk menjadi penggantinya di Madinah. [Baladzuri, Ansāb al-Asyrāf, jld.1, hlm.353.]
Menurut perdamaian Hudaibiyah, kaum muslimin hanya diizinkan masuk ke Mekah dengan senjata seorang musafir. Namun dengan demikian, Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam menempatkan 200 muslim di luar Mekah lengkap dengan pasukan berkuda dan senjata perang sehingga jika orang-orang Mekah bermaksud memerangi mereka, kaum muslimin dapat membela diri. [Maqrizi, Imtā' al-Asmā', jld.1, hlm.331]
Tahun 8 Hijriyah
Beberapa bulan berjalannya perjanjian Hudaibiyah antara kedua belah pihak, namun secara licik, Bani Bakr menggunakan kesempatan ini melakukan balas dendam kepada suku Khuza’ah.
Bani Bakr melakukan serangan mendadak di malam hari pada Bani Khuza’ah ketika mereka sedang di mata air mereka. Secara diam-diam, orang kafir Quraisy mengirimkan bantuan personil dan senjata pada Bani Bakr.
Akhirnya, datanglah beberapa orang diantara suku Khuza’ah menghadap Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di Madinah. Mereka mengabarkan tentang pengkhianatan yang dilakukan oleh orang kafir Quraisy dan Bani Bakr.
Karena merasa bahwa dirinya telah melanggar perjanjian, orang kafir Quraisy pun mengutus Abu Sufyan ke Madinah untuk memperbarui isi perjanjian. Setiba di Madinah Abu Sufyan menghadap Rasulullah dan keempat sahabatnya, akan tetapi permintaannya ditolak sehingga Abu Sufyan kembali ke Makkah dengan tangan kosong.
Dengan adanya pengkhianatan ini, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memerintahkan para shahabat untuk menyiapkan senjata dan perlengkapan perang. Beliau mengajak semua shahabat untuk menyerang Makkah. Beliau barsabda, “Ya Allah, buatlah Quraisy tidak melihat dan tidak mendengar kabar hingga aku tiba di sana secara tiba-tiba.”
Dalam kisah ini ada pelajaran penting yang bisa dipetik, bahwa kaum muslimin dibolehkan untuk membatalkan perjanjian damai dengan orang kafir. Namun pembatalan perjanjian damai ini harus dilakukan seimbang. Artinya tidak boleh sepihak, tetapi masing-masing pihak tahu sama tahu. Allah berfirman,
وَإِمَّا تَخَافَنَّ مِنْ قَوْمٍ خِيَانَةً فَانْبِذْ إِلَيْهِمْ عَلَى سَوَاءٍ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْخَائِنِينَ
“Jika kamu khawatir akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan sama-sama tahu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berkhianat.” (Qs. Al Anfal: 58)
Dengan 10,000 tentara yang siap perang Rasulullah keluar dari Madinah menuju Makkah untuk melakukan pembebasan kota Makkah yang dikenal dengan Fathu Makkah. Setiba di Makkah tidak ada satupun kaum Quraisy yang keluar karena ketakutan.
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki kota Makkah dengan tetap menundukkan kepala sambil membaca firman Allah:
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا
“Sesungguhnya kami memberikan kepadamu kemenangan yang nyata.” (Qs. Al Fath: 1)
Beliau mengumumkan kepada penduduk Makkah, “Siapa yang masuk masjid maka dia aman, siapa yang masuk rumah Abu Sufyan maka dia aman, siapa yang masuk rumahnya dan menutup pintunya maka dia aman.”
Beliau terus berjalan hingga sampai di Masjidil Haram. Beliau thawaf dengan menunggang onta sambil membawa busur yang beliau gunakan untuk menggulingkan berhala-berhala di sekeliling Ka’bah yang beliau lewati. Saat itu, beliau membaca firman Allah:
جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا
“Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap”. Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap.” (Qs. Al-Isra’: 81)
جَاءَ الْحَقُّ وَمَا يُبْدِئُ الْبَاطِلُ وَمَا يُعِيدُ
“Kebenaran telah datang dan yang batil itu tidak akan memulai dan tidak (pula) akan mengulangi.” (Qs. Saba’: 49)
Kemudian, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam memasuki Ka’bah. Beliau melihat ada gambar Ibrahim bersama Ismail yang sedang berbagi anak panah ramalan. Beliau bersabda, “Semoga Allah membinasakan mereka. Demi Allah, sekali-pun Ibrahim tidak pernah mengundi dengan anak panah ini.”
Kemudian, beliau perintahkan untuk menghapus semua gambar yang ada di dalam Ka’bah. Kemudian, beliau shalat. Seusai shalat beliau mengitari dinding bagian dalam Ka’bah dan bertakbir di bagian pojok-pojok Ka’bah. Sementara orang-orang Quraisy berkerumun di dalam masjid, menunggu keputusan beliau shallallahu ‘alahi wa sallam.
Dengan memegangi pinggiran pintu Ka’bah, beliau bersabda:
“لا إِله إِلاَّ الله وحدَّه لا شريكَ له، لَهُ المُلْكُ وله الحمدُ وهو على كَلِّ شَيْءٍ قديرٌ، صَدَقَ وَعْدَه ونَصرَ عَبْدَه وهَزمَ الأحزابَ وحْدَه
“Wahai orang Quraisy, sesungguhnya Allah telah menghilangkan kesombongan jahiliyah dan pengagungan terhadap nenek moyang. Manusia dari Adam dan Adam dari tanah.”
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Wahai orang Quraisy, apa yang kalian bayangankan tentang apa yang akan aku lakukan terhadap kalian?”
Merekapun menjawab, “Yang baik-baik, sebagai saudara yang mulia, anak dari saudara yang mulia.”
Beliau bersabda,
“Aku sampaikan kepada kalian sebagaimana perkataan Yusuf kepada saudaranya: ‘Pada hari ini tidak ada cercaan atas kalian. Allah mengampuni kalian. Dia Maha penyayang.’ Pergilah kalian! Sesungguhnya kalian telah bebas!”
Pada hari kedua, Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam berkhutbah di hadapan manusia. Setelah membaca tahmid beliau bersabda,
“Sesungguhnya Allah telah mengharamkan Makkah. Maka tidak halal bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menumpahkan darah dan mematahkan batang pohon di sana. Jika ada orang yang beralasan dengan perang yang dilakukan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, maka jawablah: “Sesungguhnya Allah mengizinkan RasulNya shallallahu ‘alahi wa sallam dan tidak mengizinkan kalian. Allah hanya mengizinkan untukku beberapa saat di siang hari. Hari ini Keharaman Makkah telah kembali sebagaimana keharamannya sebelumnya. Maka hendaknya orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir.”
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam diizinkan Allah untuk berperang di Makkah hanya pada hari penaklukan kota Makkah dari sejak terbit matahari hingga ashar. Beliau tinggal di Makkah selama sembilan hari dengan selalu mengqashar shalat dan tidak berpuasa Ramadhan di sisa hari bulan Ramadhan.
Sejak saat itulah, Makkah menjadi negeri Islam, sehingga tidak ada lagi hijrah dari Makkah menuju Madinah.
Sejak keberangkatan dari Madinah ke Makkah dalam rangka pembebasan kota Makkah, Rasulullah sudah mengetahui bahwa pasukannya akan disambut oleh pasukan dari kaum lain yang memusuhinya yaitu kaum Badui dari suku Hawazin dan Tsaqif. Namun penaklukan kota Makkah berjalan cepat dan damai. Sehingga dua minggu setelah penaklukkan Makkah, Rasulullah bergerak menuju Hawazin dengan kekuatan 12.000 orang, terdiri dari 10.000 Muslim yang turut serta dalam penaklukan Mekkah, ditambah 2.000 orang Quraisy Mekkah yang baru masuk Islam.
Pertempuran seimbang pun terjadi di salah satu jalan dari Makkah ke Thaif melawan 12,000 pasukan suku Hawazin dan Tsaqif. Dan alhasil pertempuran dimenangkan oleh pasukan Rasulullah dengan korban di pihak suku Hawazin dan Tsaqif sebanyak 70 orang tewas dan 6.000 ditawan.
Sepulang dari perang Hunain Rasulullah masuk ke kota Makkah melalui Ji'ranah, beliau sempatkan untuk melakukan umrah ketiga beserta para sahabat hal ini terjadi ditahun 8 Hijriyah.
Tahun 9 Hijriyah
Setelah kembali ke Madinah dari pertempuran Tabuk antara kaum Muslim dengan tentara Romawi pada bulan Ramadhan tahun ke 9 Hijriyah, Rasulullah shallahu 'alaihi wassalam mengungkapkan keinginannya untuk melaksanakan ibadah haji. Namun, Beliau kemudian mengurungkan niatnya karena pada saat itu masih ada orang musyrik yang tawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang. Rasulullah shallahu 'alaihi wassalam dengan tegas menyatakan bahwa selama praktik itu masih ada, maka dirinya tidak akan menunaikan ibadah haji. “Orang-orang musyrik melakukan tawaf dalam keadaan telanjang. Sungguh aku tidak akan melakukan ibadah haji sampai tidak ada lagi hal seperti itu,” ucap Rasulullah shallahu 'alaihi wassalam.
Pada paruh terakhir tahun 9 Hijriyah disinilah Rasulullah shallahu 'alaihi wassalam menjadikan awal kewajiban haji kepada umat Islam yang ditandai dengan turunnya Al Qur'an surat At Taubah ayat ke 3 yang berisi pengumuman dari Allah dan Rasulnya tentang hari Haji akbar serta pembatalan perjanjian sosial-politik Allah, Rasul dan kaum musrikin. Berikut firman Allah subhanallahu wata'ala.
وَأَذَٰنٌ مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦٓ إِلَى ٱلنَّاسِ يَوْمَ ٱلْحَجِّ ٱلْأَكْبَرِ أَنَّ ٱللَّهَ بَرِىٓءٌ مِّنَ ٱلْمُشْرِكِينَ ۙ وَرَسُولُهُۥ ۚ فَإِن تُبْتُمْ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ ۖ وَإِن تَوَلَّيْتُمْ فَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّكُمْ غَيْرُ مُعْجِزِى ٱللَّهِ ۗ وَبَشِّرِ ٱلَّذِينَ كَفَرُوا۟ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Dan (inilah) suatu permakluman daripada Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertobat, maka bertaubat itu lebih baik bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (QS. At Taubah Ayat 3)
Rasulullah shallahu 'alaihi wassalam meminta Abu Bakar pergi ke Makkah sebagai amirul hajj (pemimpin haji) dan menyusulkan Ali bin Abi Thalib dibelakangnya untuk menyampaikan maklumat surat At Taubah tersebut kepada semua kaum musrik di Makkah sebagai pernyataan pemutusan hubungan kepada kaum musyrik pada hari penyembelihan (Idul Adha), dan bahwa setelah tahun 9 Hijriyah tersebut tidak boleh lagi ada orang musyrik yang berhaji di Masjidil Haram.
Dari hadits riwayat Imam Bukhari dan Muslim dibawah ini:
أَنْ لاَ يَحُجَّ بَعْدَ العَامِ مُشْرِكٌ وَلاَ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ
“Ketahuilah, setelah tahun ini tidak boleh ada orang musyrik yang berhaji dan tidak boleh ada orang yang thawaf dalam keadaan telanjang” (HR Bukhari no. 369, Muslim no. 1347).
Tahun 10 Hijriyah
Setelah Makkah dibersihkan dari semua kesyirikan dan kemungkaran pada tahun 10 Hiriyah Rasulullah melaksanakan ibadah Haji pertamanya dan ibadah umrah keempat. Ibadah haji ini juga sebagai ibadah Haji Wada (haji perpisahan) karena pada tahun berikutnya tepatnya 3 bulan setelah ibadah haji tersebut dimana Rasulullah wafat.
Dikutip dari website assyariah.com berikut perjalanan lengkap ibadah haji dan umrah Rasulullah di tahun 10 Hijriyah.
Siang hari, Sabtu 25 Dzul Qa’dah tahun 10 Hijriyah, seusai shalat zhuhur empat rakaat, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bertolak dari Madinah. Pada hari keberangkatan, ribuan kaum muslimin bertemu dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam di sebuah jalan. Mereka pun bergabung bersama rombongan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Lautan manusia, mengelilingi Rasulullah di depan, belakang, kanan dan kiri beliau. Ada yang berjalan kaki, ada pula yang di atas kendaraan mereka.
Baitullah yang telah bersih dari kotoran syirik dan budaya syirik seolah-olah memanggil orang-orang yang dahulu ‘memuliakannya’ dengan adat jahiliah agar menggantinya dengan pemuliaan di atas ajaran tauhid.
Gurun sahara dan bukit-bukit cadas turut gembira menyambut berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam akan menuju Makkah menunaikan haji. Kabilah-kabilah Arab pun segera bersiap dan datang dari seluruh pelosok, ingin meraih kemuliaan dengan haji bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Usai mengerjakan shalat Zuhur dua rakaat, beliau bertalbiah untuk haji dan umrahnya, di tempat beliau shalat. Setelah itu beliau menaiki untanya dan terus bertalbiah sampai tiba di al-Baida’,
لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لاَ شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ، لاَ شَرِيكَ لَكَ
“Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi. Aku penuhi panggilan-Mu, tidak ada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya pujian dan kenikmatan itu adalah milik-Mu, (begitu juga) kerajaan, tidak ada sekutu bagi-Mu.”
Enam mil dari Makkah, di Saraf, Rasulullah mengumumkan kepada para sahabatnya, “Siapa yang tidak membawa hadyu (hewan kurban) dan ingin menjadikannya umrah, silakan, tetapi siapa yang membawa hadyu, tidak.”
Mereka tiba di Makkah pada hari keempat di bulan Dzul Hijjah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memasuki Kota Makkah dari arah atas, Tsaniyatul Ulya. Namun, ketika umrah, beliau masuk dari arah bawah.
Ath-Thabari menceritakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memasuki Masjidil Haram dari pintu Bani Syaibah (sekarang). Beliau shallallahu alaihi wa sallam langsung mendekati Ka’bah untuk thawaf, tanpa shalat tahiyatul masjid.
Sementara Jabir mengisahkan, “Ketika kami sudah tiba di Baitullah (Ka’bah), beliau menyentuh rukun (Hajarul Aswad) lalu berlari kecil (raml) tiga kali sambil melakukan idhthiba’ (membuka bahu kanannya) serta menyelempangkan baju ihramnya ke atas pundak kiri dan berjalan biasa empat kali.
Tiap kali berhadapan dengan Hajar Aswad, beliau memberikan isyarat ke arahnya, menempelkan tongkatnya, lalu mencium tongkat tersebut.
Seusai thawaf, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berjalan menuju ke belakang Maqam Ibrahim sambil membaca,
وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٰهِۧمَ مُصَلّٗىۖ
“Dan jadikanlah Maqam Ibrahim sebagai tempat shalat …” (al-Baqarah: 125)
Lalu beliau shalat dua rakaat dengan posisi Maqam berada di antara beliau dan Ka’bah. Dalam shalat ini, beliau membaca surah al-Kafirun dan al-Ikhlas, sesudah al-Fatihah.
Beliau kembali menuju rukun hajar aswad dan menyentuhnya. Kemudian beliau keluar menuju bukit Shafa. Saat mendekati Shafa, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam membaca firman Allah Subnahuwata’ala:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebahagian dari syiar Allah.” (QS Al-Baqarah: 158)
Lalu beliau mengatakan,
أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
“Aku memulai dengan apa yang Allah memulai dengannya.”
Maksudnya, beliau memulai dari Bukit Shafa sebagaimana lafaz ayat di atas.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menaiki Shafa hingga melihat Ka’bah, lalu menghadap kiblat, mentauhidkan Allah dan bertakbir, serta mengucapkan:
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ [وَحْدَهُ] أَنْجَزَ وَعْدَهُ، وَنَصَرَ عَبْدَهُ، وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ
“Tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, satu-satunya, tidak ada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya-lah kekuasaan (Kerajaan) dan segala pujian, dan Dia atas segala sesuatu Mahakuasa. Tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, satu-satunya, Dia telah memenuhi janji-Nya, menolong hamba-Nya, dan mengalahkan pasukan yang bersekutu sendirian.”
Kemudian beliau berdoa di antara bacaan itu dan mengucapkan seperti itu juga tiga kali.
Setelah itu, beliau turun menuju Marwah hingga ketika kedua kaki beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah menginjak perut lembah, (sekarang diberi tanda hijau), beliau melakukan sa’i sampai ketika sudah naik, beliau berjalan hingga datang ke Marwah, lalu mengerjakan amalan sebagaimana yang beliau lakukan di atas Shafa.
Selesai sa’i, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Orang-orang yang tidak membawa hadyu (hewan qurban), sudah boleh melepas pakaian ihramnya dan bertahalul.”
Akhirnya, kaum muslimin yang tidak membawa hadyu melakukan tahallul. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menambahkan, “Seandainya saya menghadapi urusan yang saya tinggalkan ini, tentu saya tidak akan membawa hadyu, dan menjadikan amalan ini sebagai umrah dan saya juga ber-tahallul.”
Pada hari tarwiyah (tanggal 8 Dzulhijjah), mereka menuju Mina. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam menaiki kendaraannya, shalat di sana; Zhuhur, Ashar, Maghrib, Isya dan Subuh. Kemudian beliau tinggal di sana sebentar sampai terbit matahari, lalu bertolak menuju Arafah.
Di Arafah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mendapati sebuah kubah sudah dibuatkan untuk beliau di Namirah (sebuah desa dekat Arafah). Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam lalu singgah di sana. Ketika matahari sudah condong (ke barat), beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam minta dibawakan al-Qushwa lalu disiapkan untuk beliau.
Kemudian beliau menuju perut lembah dan berkhutbah di hadapan manusia. Ribuan manusia, satu hati, satu tujuan, mengagungkan Pencipta mereka, tunduk sambil melantunkan talbiyah. Hilang sudah kesombongan jahiliah.
Setelah memuji Allah, mengucapkan syahadatain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan pesan-pesannya. Seolah-olah itu adalah pesan terakhir, ungkapan perpisahan dan pernyataan selesainya tugas dan tanggung jawab mengemban risalah Dzat Yang Mahaagung, Allah Subhanahuwata’ala.
“Amma ba’du. Hai sekalian manusia, dengarlah. Saya tidak tahu apakah akan bertemu lagi dengan kalian sesudah tahun ini di tempat ini.
Hening. Para sahabat terpaku. Di bawah langit nan biru, ketika mereka merasakan bahagia, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam justru mengisyaratkan perpisahan?
“Wahai sekalian manusia! Hari apakah ini? Bulan apakah ini?”
Setiap kali beliau bertanya, para sahabat terdiam. Mungkin Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ingin memberikan nama yang baru.
“Bukankah hari ini adalah hari Haji Akbar?”
“Benar,” sahut para sahabat.
“Bukankah ini bulan haram?”
“Benar,” kembali para sahabat menjawab.
Lalu beliau bertanya lagi, “Negeri apakah ini?”
Para sahabat terdiam, mungkin beliau hendak mengganti namanya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun berkata, “Bukankah ini adalah Tanah Haram (Tanah Suci)?”
“Benar,” sahut para sahabat.
Setelah itu beliau memulai khotbahnya,
“Sungguh, darah, harta, dan kehormatan kalian adalah haram (suci, tidak boleh dilanggar), seperti sucinya hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini. Janganlah kalian kembali menjadi orang-orang yang kafir (ingkar) sepeninggalku, yang saling membunuh satu dengan yang lain.
Hai sekalian manusia, sesungguhnya semua urusan jahiliah ada di bawah telapak kakiku ini. Demikian pula urusan darah ala jahiliah, semua gugur dan tidak bernilai. Adapun darah pertama yang saya gugurkan adalah darah kami Rabi’ah bin al-Harits, yang menyusu di Bani Sa’d lalu dibunuh oleh orang-orang dari suku Hudzail.
Riba jahiliah juga dinyatakan batal, tidak ada nilainya. Riba pertama yang saya gugurkan adalah riba kami, riba Abbas bin Abdul Muththalib. Semua gugur, tidak ada nilainya.
Hai manusia, bertakwalah kalian dalam urusan wanita. Sungguh, kamu telah memiliki mereka dengan amanah dari Allah. Kalian telah menjadikan halalnya kehormatan mereka dengan kalimat Allah.
Di antara hak kalian yang harus mereka penuhi adalah tidak membiarkan siapa saja yang kalian benci menginjakkan kaki di permadani atau lantai rumah kalian. Kalau mereka melanggarnya, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai.
Kaum wanita (para istri kalian) juga mempunyai hak yang wajib kalian penuhi, berupa pakaian dan rezeki dengan cara yang baik (dan pantas).
Hai manusia, telah aku tinggalkan pada kalian, sesuatu yang kalian tidak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengannya, yaitu Kitab Allah Subhanhuwata’ala.
Dan…Kalian semua akan ditanya tentang aku, maka apa jawaban kalian?”
Barisan muslimin serempak menjawab, “Kami bersaksi bahwa engkau sudah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, dan memberi nasihat.”
Mendengar jawaban mereka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkat telunjuknya ke langit lalu menudingkannya ke arah ribuan jamaah haji yang mulia itu sambil berkata, “Ya Allah, saksikanlah,” tiga kali.
Selepas khotbah tersebut, Bilal pun mengumandangkan azan dan iqamat lalu menegakkan shalat Zuhur. Lalu dia mengumandangkan iqamat kembali untuk kemudian melaksanakan shalat Ashar. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak melakukan shalat apa pun di antara keduanya.
Selesai shalat, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam menuju tempat wukuf dan membiarkan perut untanya menyentuh pasir, sementara gunung Musyah di hadapan beliau. Beliau shallallahu alaihi wa sallam duduk di atas sahara sambil menghadap kiblat, lalu mulai berdoa.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Sebaik-baik doa adalah doa pada hari Arafah." (HR. Tirmidzi no. 3585, dinilai hasan oleh Syekh Al Albani).
Beliau tetap dalam keadaan wukuf hingga terbenam matahari. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengencangkan tali kekang al-Qashwa dan membonceng Usamah kemudian bertolak menuju Muzdalifah.
Kepala beliau menunduk sampai menyentuh punggung al-Qushwa. Beliau berkata kepada jamaah haji itu, “Perlahan-lahan. Perlahan-lahan, wahai manusia.”
Setiba di Muzdalifah, beliau shalat Magrib dan Isya dengan satu kali azan dan dua iqamat, tanpa mengerjakan shalat selain itu. Setelah itu beliau berbaring sampai terbit fajar, lalu shalat Subuh.
Kemudian beliau menaiki Al-Qushwa dan menuju Masy’aril Haram, lalu bertakbir dan bertahlil (mengucapkan La ilaha illallah). Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tetap dalam keadaan wukuf sampai terang tanah.
Sebelum matahari terbit, beliau bergerak hingga tiba di dasar Lembah Muhassir. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mempercepat kendaraannya agar bisa segera melewati tempat tersebut. Itulah tuntunan beliau apabila melewati daerah yang dahulu pernah turun di situ azab Allah subhanahu wa ta’ala yang menghancurkan musuh-musuh-Nya. Di sanalah dahulu Abrahah dan gajahnya dihancurkan oleh Allah Yang Mahaperkasa, sebagaimana diceritakan dalam surah al-Fil. Perbuatan ini pula yang dilakukan beliau ketika melalui perkampungan Hijr (yang pernah dihuni bangsa Tsamud).
Sebelum matahari terbit, beliau berangkat sambil membonceng al-Fadhl bin Abbas. Di saat itulah mereka berpapasan dengan rombongan wanita. Al-Fadhl melihat ke arah mereka, tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam segera memalingkan wajah al-Fadhl ke arah lain.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bergerak perlahan menuju tempat melontar jumrah al-kubra di dekat Masjidil Haram. Di sini beliau melempar dengan tujuh butir kerikil sebesar ujung jari sambil bertakbir pada setiap lemparan.
Setelah itu beliau menuju tempat penyembelihan dan menyembelih 63 ekor unta, lalu menyerahkan sisanya kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallohu’anhu. Lalu beliau memerintahkan agar dagingnya disedekahkan kepada orang-orang miskin.
Usai menyembelih, beliau memanggil tukang cukurnya, “Wahai Ma’mar! Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyerahkan rambut dekat telinganya kepadamu ….”
“Wahai Rasulullah, ini adalah karunia besar bagiku,” ujar Ma’mar.
“Benar,” jawab Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. [HR. Ahmad (6/187) dan Abu Dawud (2019). Dinyatakan sahih oleh al-Hakim (1/467) dan disetujui oleh adz-Dzahabi.]
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun memerintahnya untuk mencukur dari yang kanan. Setelah itu beliau membagikan rambut tersebut kepada sahabat-sahabat yang ada di dekat beliau.
“Apakah Abu Thalhah ada di sini?” Tanya beliau.
Para sahabat menjawab, “Ada.” Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun menyerahkan rambut sebelah kirinya kepada Abu Thalhah radhiallahu anhu.
Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berangkat dan bertolak menuju Ka’bah dan shalat Zuhur di Makkah. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menemui Bani Abdul Muththalib yang bertugas memberikan minum kepada para jamaah haji dengan air zamzam.
Beliau shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Bagilah, wahai Bani Abdul Muththalib! Kalau bukan karena khawatir akan dianggap manasik, tentu aku akan membagi dan minum bersama kalian.” Mereka pun memberi beliau secangkir air zamzam. Beliau meminumnya sambil berdiri.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan bahwa beliau berkhotbah dua kali di Mina. Yang pertama adalah pada Hari Nahar (penyembelihan). Yang kedua adalah ketika Hari Tasyriq. Pada kesempatan itu, beliau mengingatkan kaum muslimin, terutama para sahabat yang hadir ketika itu,
“Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah di Jazirah Arab, tetapi dia begitu berambisi untuk menimbulkan permusuhan di antara kalian.
Zaman telah kembali sebagaimana Allah menciptakan langit dan bumi. Jumlah bilangan bulan di sisi Allah subhanahu wa ta’ala ada dua belas. Empat di antaranya adalah bulan-bulan haram: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab Mudhar yang terletak antara Jumadi (Tsani) dan Sya’ban.
Wahai manusia! Rabb kalian adalah satu. Ayah kalian adalah satu, yaitu Adam. Kalian semua berasal dari Adam, dan Adam berasal dari tanah.
Yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa kepada Allah. Tidak ada kelebihan yang dimiliki orang Arab atas orang ajam (non-Arab), kecuali dengan ketakwaan.
Sampaikanlah semua ini kepada yang tidak hadir. Bisa jadi, yang disampaikan itu lebih paham daripada yang mendengar.”
Itulah sebagian khotbah beliau, yang seolah memberikan isyarat bahwa usia beliau yang penuh berkah akan segera berakhir. Pertemuan dan kebersamaan akan usai. Beliau shallallahu alaihi wa sallam pun bersiap-siap menjumpai kekasihnya, Allah subhanahu wa ta’ala.
Tuntas sudah. Semua yang terkait dengan ibadah haji, sebagai rukun Islam yang kelima, telah beliau ajarkan, baik melalui ucapan maupun perbuatan.
Tidak hanya itu, seluruh ajaran Islam, mulai dari akidah (tentang keimanan, kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan urusan gaib), ibadah, akhlak, dan muamalah, baik terkait dengan individu maupun kenegaraan, telah beliau ajarkan.
Allah subhanahu wa ta’ala bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sudah menyampaikan risalah-Nya dengan sempurna. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَاَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ وَرَضِيْتُ لَكُمُ الْاِسْلَامَ دِيْنًاۗ ...
...“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS Al-Maidah Ayat 3)
Apakah hanya untuk hari itu? Tidak, tetapi sampai kiamat. Oleh sebab itu, tidak ada satu pun perkara agama ini yang kurang sehingga harus ditambah, atau berlebih sehingga perlu dikurangi.
Ingatlah, ayat ini turun pada saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam masih hidup, dengan kemungkinan masih akan ada penambahan atau pengurangan. Akan tetapi, ternyata tidak ada satu pun penambahan atau pengurangan ajaran Islam. Walhamdulillah.
Oleh sebab itu pula, apa-apa yang di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bukan sebagai agama, pasti di zaman ini atau kapanpun bukan pula sebagai agama. Selesai sudah tugas risalah dan dakwah. Demikian pula membina masyarakat baru di atas prinsip menyerahkan ibadah, lahir dan batin hanya kepada Allah Subhanahuwata’ala.
Agaknya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam juga menyadari ajalnya sudah dekat. Perhatikanlah pesan beliau ketika mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, “Hai Mu’adz, mungkin sesudah ini engkau tidak bertemu lagi denganku. Engkau hanya akan melintasi masjidku ini dan kuburanku. “
Mendengar pesan tersebut, Mu’adz menangis karena tahu akan berpisah selamanya dengan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Memang, pantaslah beliau menangis. Bahkan kita pun seharusnya menangis. Tidak ada musibah yang paling buruk selain berpisah dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, di dunia, apalagi di akhirat.
Pada waktu nafar tsani 13 Dzul Hijjah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertolak dari Mina dan singgah di Abthah, di tenda Bani Kinanah sehari semalam. Setelah itu beliau menuju Baitullah dan melakukan thawaf wada’ bersama kaum muslimin.
Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersiap-siap kembali ke Madinah, bukan untuk santai melepas lelah, melainkan bersiap untuk melanjutkan jihad di jalan Allah.
Sekembali dari Makkah tersebut, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam pun jatuh sakit dan 3 bulan setelah itu Beliau wafat di tahun 11 Hijriyah.
Demikianlah sejarah haji dan umrah yang dilakukan oleh Rasulullah beserta sahabat yang bisa kita jadikan ilmu pengetahuan dan diajarkan kepada orang lain dan juga dijadikan semangat untuk bisa beribadah haji dan umrah ke tanah suci sesuai apa yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam ajarkan.
Wassalam,
DK
No comments:
Post a Comment