“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Tuesday, September 19, 2023

Siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka dia bukanlah dari golonganku

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuhu,

Dikutip dari hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan dimana Rasulullah shalallahu alaihi wassalam berkata: "Sesungguhnya ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk Neraka dan yang satu golongan akan masuk Surga, yaitu “al-Jama’ah.” Oleh sebab itu maka banyak orang yang mengaku sebagai ahlu sunnah wal jamaah atau sering disingkat Aswaja. Lantas siapa orang yang disebut sebagai ahlu sunnah wal jamaah tersebut?

Pengertian Ahlu Sunnah Waljamaah

Yaitu orang yang dengan kuatnya (mereka) berpegang teguh dan berittiba’ (mengikuti) Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para Sahabat, tabi'in (pengikut sahabat) dan tabi'ut tabi'in (pengikut tabi'in) Radhiyallahu anhum baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan.

Tiga generasi awal para sahabat, tabi’in (orang-orang yang mengikuti sahabat) dan tabi’ut tabi’in (orang-orang yang mengikuti tabi’in) inilah yang disebut dengan salafush shalih (generasi orang-orang terdahulu yang shalih). Salafus shalih berasal dari kata salaf yang berarti para sahabat dari tiga generasi tersebut, sementara bentuk jamaknya yaitu salafiyun. Oleh karena itu, salafiyun adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Merekalah tiga generasi utama dan terbaik dari umat ini, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dari Sahabat ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu:

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ.

“Sebaik-baik manusia adalah pada masaku ini (yaitu masa para Sahabat), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’in), kemudian yang sesudahnya (masa Tabi’ut Tabi’in)". HR. Al-Bukhari (no. 2652) dan Muslim (no. 2533 (212)), 

Perlu di garis bawahi bahwa baik salafi maupun ahlu sunnah wal jamaah ini adalah bukanlah hanya sekedar pengakuan yang diakui oleh banyak orang-orang atau kelompok di zaman sekarang, yang tidak mau mengikuti perkataan dan perbuatan yang di contohkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat dari ketiga generasi tersebut. Sebaliknya salafi dan ahlu sunnah wal jamaah adalah seseorang yang benar-benar berpegang teguh dan mengikuti semua baik tentang ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan yang dicontohkan oleh oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam dan para sahabat dari ketiga generasi tersebut.

Untuk bisa menjadi orang yang termasuk kedalam golongan ahlu sunnah wal jama'ah tersebut sebenarnya sangatlah mudah dengan mencontoh apa yang dilakukan oleh Rasulullah dan ketiga generasi tersebut dalam kesehari-harinya. Akan tetapi terkadang di zaman ini banyak orang yang mengidolakan para pemain sepak bola, para penyanyi, para ilmuan, para pahlawan dan lainnya yang sekiranya tidak akan membawanya ke surga.

Untuk menjadi ahlu sunnah wal jamaah pun tidak harus berlebih-lebihan seperti sholat terus menerus, puasa setiap hari bahkan tidak menikah seperti yang dicontohkan sahabat Rasulullah dibawah ini. Akan tetapi Rasulullah diturunkan untuk membawa rahmatan lil 'alamin (rahmat semua manusia), yang mana semua orang secara fitrah bisa menjalankannya dengan tidak menjadikan beban bagi siapapun.

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan:

جَاءَ ثَلاَثَةُ رَهْطٍ إِلَى بُيُوتِ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، يَسْأَلُونَ عَنْ عِبَادَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَلَمَّا أُخْبِرُوا كَأَنَّهُمْ تَقَالُّوهَا، فَقَالُوا: وَأَيْنَ نَحْنُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَدْ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ، قَالَ أَحَدُهُمْ: أَمَّا أَنَا فَإِنِّي أُصَلِّي اللَّيْلَ أَبَدًا، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَصُومُ الدَّهْرَ وَلاَ أُفْطِرُ، وَقَالَ آخَرُ: أَنَا أَعْتَزِلُ النِّسَاءَ فَلاَ أَتَزَوَّجُ أَبَدًا، فَجَاءَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهِمْ، فَقَالَ: «أَنْتُمُ الَّذِينَ قُلْتُمْ كَذَا وَكَذَا، أَمَا وَاللَّهِ إِنِّي لَأَخْشَاكُمْ لِلَّهِ وَأَتْقَاكُمْ لَهُ، لَكِنِّي أَصُومُ وَأُفْطِرُ، وَأُصَلِّي وَأَرْقُدُ، وَأَتَزَوَّجُ النِّسَاءَ، فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي

“Ada tiga orang (dari sahabat-sahabat Nabi) datang ke rumah isteri-isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, mereka bertanyakan tentang ibadahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Maka apabila dikhabarkan kepada mereka tentang hal tersebut, mereka pun merasakan yang ibadah mereka terlalu sedikit berbanding ibadah Nabi. Lalu mereka pun mengatakan:

“Apalah jika dibandingkan kita dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Sesungguhnya beliau telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan juga akan datang?” Maka berkatalah salah seorang daripada mereka, “Adapun aku, benar-benar aku akan solat malam selamanya.”
Kemudian berkata yang lain, “Aku pula akan berpuasa Ad-Dahr dan tidak akan berbuka (yakni berpuasa setiap hari sepanjang tahun).”
Dan berkata yang seorang lagi, “Aku pula akan menjauhi wnaita dan tidak akan bernikah selama-lamanya.”

Lalu kemudian datanglah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kepada mereka, maka beliau bersabda:“Kalian telah berkata demikian dan demkian…, sesungguhnya demi Allah, aku adalah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian, dan juga paling bertaqwa. Aku berpuasa dan aku juga berbuka (yakni ada hari yang beliau berpuasa dan ada hari yang beliau berbuka), aku solat malam dan aku juga tidur, dan aku sendiri menikahi wanita. Maka sesiapa yang tidak menyukai (berpaling dari) sunnahku, maka dia bukanlah dari golonganku.”.” (Shahih Al-Bukhari, no. 5063. Muslim, no. 1401)

Penjelasan dari hadits diatas ditujukan kepada semua umat Islam, bagi siapa yang tidak menyukai sunah rasulullah, tidak hanya terpaut pada ketiga ibadah tersebut akan tetapi ibadah lainnya pun juga, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menganggap orang tersebut adalah bukanlah dari golonganku.


Golongan Qur'aniyun (Inkar Sunah)

Golongan qur'aniyun adalah golongan orang-orang yang hanya mempercayai Al Qur'an akan tetapi tidak percaya dengan hadits atau sunnah Rasulullah. Golongan ini sampai sekarang masih ada untuk itu kita harus bisa menghindarinya dan menjaga anak dan keturunan kita agar tidak termasuk golongan ini.

Perhatikanlah sabda Nabi yang mulia Shallallahu ’alaihi wa sallam berikut yang merupakan bantahan bagi Qur’aniyyun yaitu orang yang ingkarus sunnah, yang hanya mau beramal dengan Al-Qur’an dan enggan beramal dengan selain Al-Qur’an.

لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ الْأَمْرُ مِنْ أَمْرِي مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ لَا نَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاهُ

”Aku benar-benar mendapati salah seorang di antara kalian bertelekan di atas sofanya, datang kepadanya suatu dari urusan agamaku yang aku perintahkan atau aku larang, maka dia mengatakan, ”Aku tidak tahu; apa yang kami dapati dari Kitabullah maka kami mengikutinya.” (HR. Ahmad: III/387, ad-Darimi: I/115, Ibnu Abi ‘Âshim dalam as-Sunnah: V/2 dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlih: II/24. Lihat pula Irwaa al-Ghaliil: I/34, al-Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.) 

Jika mereka (golongan qur'aniyun) menyangka wajibnya umat Islam bersatu atas dasar al-Qur’an semata, maka Allah Ta’ala mewajibkan dalam al-Qur’an untuk mengambil segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, baik secara global maupun secara terperinci.

Hal ini mengingatkan kita tatkala umat Islam diramaikan dengan perbedaan pendapat mengenai kedua orang tua Rasulullah di neraka. Dimana Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam sudah jelas didalam hadits shahih mengatakan bahwa kedua orangtuanya berada di neraka, akan tetapi banyak saudara kita umat Islam yang tidak percaya dengan hadits tersebut, bahkan menganggapnya bertentangan dengan Al Qur'an surat Al Isra ayat 15. Untuk itu penulis mencoba menjelaskannya satu-persatu.


Penjelasan Hadits Shahih

Berikut beberapa hadits shahih yang menjelaskan tentang orang tua Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam:

Hadits shahih pertama:

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِي قَالَ فِي النَّارِ فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ

Dari Anas radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Wahai Rasulullah, dimanakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada ?”. Beliau menjawab : “Di neraka”. Ketika orang tersebut menyingkir, maka beliau memanggilnya lalu berkata : “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka”. [HR. Muslim no. 203, Abu Dawud no. 4718, Ahmad no. 13861, Ibnu Hibban no. 578, Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no. 13856, Abu ‘Awanah no. 289, dan Abu Ya’la no. 3516].

Penafsiran hadits shahih pertama ini banyak diantaran kita yang memutar balikkan arti dari Abi (ayah), dimana kata abi tersebut diputar balik artikan sebagai paman Abu Thalib. Untuk itu coba kita pahami baik-baik kutipan hadits diatas, dimana seorang laki-laki yang bertanya tersebut menanyakan ayahnya dan bukan pamannya. Lantas apakah mungkin seorang Rasulullah shalallahu a'aihi wassalam menjawab pertanyaan sahabatnya tersebut dengan arti yang berbeda? Ini yang harus menjadi pertanyaan kita, dan sangatlah tidak mungkin Rasulullah menjawab pertanyaan tersebut dengan arti yang berbeda. Apalagi seperti kita ketahui bahwa setiap perkataan Rasulullah tersebut adalah wahyu yang tidak sembarangan diucapkan oleh seorang Rasulullah shalallahu 'alaihi wassallam. Sebagai orang awam sudah pasti jawaban Rasulullah tersebut harus apple to apple, tidak mungkin apple to jeruk.


Hadits shahih kedua:

عن ابن مسعود رضي الله عنه قال "جاء ابنا مليكة - وهما من الأنصار - فقالا: يَا رَسولَ الله إنَ أمَنَا كَانَت تحفظ عَلَى البَعل وَتكرم الضَيف، وَقَد وئدت في الجَاهليَة فَأَينَ أمنَا؟ فَقَالَ: أمكمَا في النَار. فَقَامَا وَقَد شَق ذَلكَ عَلَيهمَا، فَدَعَاهمَا رَسول الله صَلَى الله عَلَيه وَسَلَمَ فَرَجَعَا، فَقَالَ: أَلا أَنَ أمي مَعَ أمكمَا

Dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Datang dua orang anak laki-laki Mulaikah – mereka berdua dari kalangan Anshar – lalu berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibu kami semasa hidupnya memelihara onta dan memuliakan tamu. Dia dibunuh di jaman Jahiliyyah. Dimana ibu kami sekarang berada ?”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : “Di neraka”. Lalu mereka berdiri dan merasa berat mendengar perkataan beliau. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memanggil keduanya lalu berkata : “Bukankah ibuku bersama ibu kalian berdua (di neraka) ?” [HR Imam Ahmad no. 3787, Thabarani dalam Al-Kabiir 10/98-99 no. 10017, Al-Bazzar 4/175 no. 3478, dan yang lainnya; shahih].

Pada hadits shahis kedua ini banyak diantara kita yang menyatakan bahwa hadits ini sudah dinasakh (dihapus) oleh hadits-hadits yang menjelaskan tentang turun kembali dari kematian dan berimannya kedua orang tua beliau.

Perlu kita ketahui bahwa klaim nasakh hanyalah diterima bila nash naasikh (penghapus) berderajat shahih. Namun, kedudukan haditsnya yang dianggap naasikh adalah sebagaimana yang kita lihat (sangat lemah, munkar, atau palsu). Maka bagaimana bisa diterima hadits shahih di-nasakh oleh hadits yang kedudukannya sangat jauh di bawahnya ? Itu yang pertama. Adapun yang kedua, nasakh hanyalah ada dalam masalah-masalah hukum, bukan dalam masalah khabar. Walhasil, anggapan nasakh adalah anggapan yang sangat lemah.


Hadits shahih ketiga:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ لِأُمِّي فَلَمْ يُؤْذَنْ لِي وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِي

Dari Abi Hurairah radliyallaahu ’anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : ”Sesungguhnya aku telah memohon ijin Rabb-ku untuk memintakan ampun ibuku, dan Ia tidak mengijinkanku. Namun Ia mengijinkan aku untuk menziarahi kuburnya” [HR. Muslim no. 976, Abu Dawud no. 3234, An-Nasa’i dalam Ash-Shughraa no. 2034, Ibnu Majah no. 1572, dan Ahmad no. 9686].

Pada hadits shahis ketiga ini pun banyak diantara kita yang menyatakan bahwa hadits ini sudah dinasakh (dihapus) oleh hadits-hadits yang menjelaskan tentang turun kembali dari kematian dan berimannya kedua orang tua beliau. Akan tetapi hal tersebut adalah anggapan yang sangat lemah untuk menyatakan hadit shahih ini dinasakh.

Sebagai orang awam penulis yakin semuanya bisa dipahami dengan mudah isi dari ketiga hadits shahih diatas. Bahwa sudah jelas Rasulullah sendiri yang mengatakan kedua orang tuanya berada di neraka, apakah sudah sepantasnya kita mengatakan "Sungguh tidak sopan dan tidak beradap seseorang yang mengatakan kedua orang tua Rasulullah berada di neraka" padahal Rasulullah sendiri yang berkata demikian? Lantas kenapa kita tidak mengikuti apa yang dikatakan Rasulullah tersebut ? Apakah kita ingin termasuk golongan qur'aniyun (ingkar sunah)? Na'udzubillah mindzalik.


Penjelasan Qur'an Surat Al Isra Ayat 15

Banyak diantara saudara kita yang beranggapan hadits shahih diatas bertentangan dengan Qur'an Surat Al Isra ayat 15, yang menyatakan bahwa orang tua Rasulullah hidup di zaman fatrah, lantas apakah itu benar? Untuk itu mari kita pahami isi ayat tersebut:

مَّنِ ٱهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِى لِنَفْسِهِۦ ۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

"Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul." (QS. Al Isra Ayat 15)

Perhatikan pada kutipan terakhir ayat 15 tersebut yang menyatakan bahwa: dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. Jika kita baca tafsir ayat tersebut yang menyatakan bahwa: dan dikatakan bahwa orang yang meninggal sebagai ahli fatrah (orang yang hidup pada zaman tidak adanya seorang utusan dari Allah) atau meninggal pada saat masih bayi maka mereka akan diuji pada hari kiamat; sehingga Allah tidak mengazab hamba-Nya kecuali setelah ditegakkannya hujjah atas mereka dengan diutusnya para Rasul dan diturunkannya kitab-kitab-Nya.

Dari penjelasan tafsir kutipan ayat 15 diatas kita perjelas untuk pemahaman ahli fatrah tersebut yaitu seseorang yang hidup sebelum Rasulullah diutus menjadi Rasul yang belum pernah mendapatkan syafaat dari Rasul utusan Allah sebelumnya. Lantas kita kembali kepada orang tua Rasulullah, apakah mereka termasuk kepada ahli fatrah tersebut?

Sebelum menjawabnya pertanyaan diatas kita harus pahami dulu silsilah kedua orang tua Rasulullah tersebut. Seperti kita ketahui bahwa Abdullah dan Aminah adalah berasal dari garis nasab keturunan yang sama yaitu dari Nabi Ismail, dan Nabi Ismail sudah jelas anak dari Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail keduanya tinggal di Makkah, begitupun Abdullah dan Aminah.

Dari silsilah dan daerah tempat tinggal yang sama, maka sudah jelas kalau di daerah tempat tinggal Abdullah dan Aminah tersebut sudah pernah diturunkan Rasul utusan Allah sebelum Nabi Muhammad diutus menjadi rasul yaitu dengan diturunkannya Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail yang sudah menyampaikan syafaat dari Allah. Selain itupun setelah wafatnya Nabi Ismail, Allah pun turunkan pula Nabi Isa di daerah Syam yang berdekatan dengan Mekkah yang sudah menyampaikan syariat dari Allah yang sama. Kemudian ditambah penjelasan Rasulullah di dalam hadits shahis diatas yang menjelaskan kedua orang tuanya berada di neraka. Sehingga dari sini kita sudah bisa menjawab bahwa Abdullah dan Aminah tidak termasuk ahli fatrah.

Penjelasan sudah turunnya syariat Islam kepada kaum Quraisy Makah tersebut dijelaskan didalam Al Qur'an surat Yunus ayat 31 dibawah ini:

Allah ta’ala berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah: “Siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan?” Maka mereka akan menjawab: “Allah”. Maka katakanlah “Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)?” (QS. Yunus [10]: 31)

Dari penjelasan tafsir ayat diatas, pada dasarnya semua orang Quraisy sudah tahu bahwa mereka diciptakan oleh Allah, mereka diberi rezeki oleh Allah, akan tetapi meraka tidak bertakwa kepada Allah, dari sini kita bisa ambil kesimpulan bahwa Abdullah dan Aminah pun tidaklah termasuk ahli fatrah karena mereka sudah tahu adanya syariat Allah yang disampaikan Rasul sebelum Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam di utus.

Penjelasan lainnya yang menyatakan bahwa Allah sudah menurunkan syariat kepada kaum sebelum suku Quraisy melalui rasul-rasulnya yaitu di dalam Al qur'an surat As Syaffat dibawah ini:

وَلَقَدْ ضَلَّ قَبْلَهُمْ أَكْثَرُ ٱلْأَوَّلِينَ

Dan sesungguhnya telah sesat sebelum mereka (Quraisy) sebagian besar dari orang-orang yang dahulu (QS As Syaffat ayat 71)

وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا فِيهِم مُّنذِرِينَ

Dan sesungguhnya telah Kami utus pemberi-pemberi peringatan (rasul-rasul) di kalangan mereka. (QS As Syaffat ayat 72)

Hain ini bisa kita pahami dengan mudah bahwa apabila suatu kaum tersebut tatkala sudah mendapatkan syariat dari Allah maka kaum tersebut bukan dianggap sebagai ahli fatrah. Begitupun dengan kedua orang tua Rasulullah shalallahu alaihi wassalam yang tidak mengikuti syariat yang diberikan oleh Rasul sebelum Nabi Muhammad di utus. 

Perlu kita garis bawahi bahwa tidaklah mungkin Qur'an surah Al Isra ayat 15 bertentangan dengan Qur'an surat Yunis ayat 31 dan Qur'an surat As Syaffat ayat 72 yang menjelaskan bahwa orang Quraisy sebelum Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wassalam di utus menjadi rasul adalah kaum yang sudah mendapatkan syariat dari Rasul sebelumnya yaitu Nabi Ibrahim dan Ismail akan tetapi mereka mengingkarinya, sehingga mereka semua kaum Quraisy yang hidup sebelum Nabi Muhammad di utus menjadi rasul tersebut adalah bukan termasuk ahli fatrah, hal ini sejalan dengan pengertian ahli fatrah dari tafsir Qur'an surat Al Isra ayat 15 sendiri yaitu Allah tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul.


Penjelasan Al Qur'an tentang kedua orangtua Rasulullah

Firman Allah:

مَا كَانَ لِلنّبِيّ وَالّذِينَ آمَنُوَاْ أَن يَسْتَغْفِرُواْ لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوَاْ أُوْلِي قُرْبَىَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيّنَ لَهُمْ أَنّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahanam.” (QS. At-Taubah : 113).

Sababun-Nuzul (sebab turunnya) ayat ini adalah berkaitan dengan permohonan Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam kepada Allah ta’ala untuk memintakan ampun ibunya yang masih kafir (namun kemudian Allah tidak mengijinkannya) [Lihat Tafsir Ath-Thabari dan Tafsir Ibnu Katsir QS. At-Taubah : 113].

Dari penafsiran Al Qur'an surat At Taubah ayat 113 diatas, sudah jelas Allah melarang Rasulullah dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampunan kepada musyrik walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya) atau keluarganya dalam hal ini termasuk orang tua Rasulullah.


Penjelasan Al Qur'an tentang Taat kepada Rasulullah

Firman Allah:

وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

“Dan apa-apa yang diperintahkan Rasulullah kepada kalian laksankanlah, dan apa yang dilarangnya tinggalkanlah dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”. (Q.S. Al-Hasyr: 7)

Firman Allah:

قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُواْ فِي الأَرْضِ فَانْظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذَّبِينَ

“Sesungguhnya telah berlalu sebelum kamu sunnah-sunnah Allah karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang mendustakan (rasul-rasul)”. (Q.S. Ali-‘Imran: 137)

Dalam firman-Nya yang lain:

قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ فَإِن تَوَلَّوا فَإِنَّمَا عَلَيْهِ مَا حُمِّلَ وَعَلَيْكُم مَّا حُمِّلْتُمْ وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلَاغُ الْمُبِينُ

“Katakanlah: “Taat kepada Allah dan taatlah kepada rasul; dan jika kamu berpaling Maka Sesungguhnya kewajiban Rasul itu adalah apa yang dibebankan kepadanya, dan kewajiban kamu sekalian adalah semata-mata apa yang dibebankan kepadamu. dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang”. (Q.S. An-Nuur: 54)

Dari ketiga ayat Al Qur'an di atas jelaslah bahwa Allah memerintahkan kita untuk taat kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam baik dari ilmu, i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan. 


Hadits Palsu seputar orang tua Rasulullah

Hadit Palsu Pertama:

عن عائشة رضي الله عنها قالت: حج بنا رسول الله حجة الوداع ، فمرّ بي على عقبة الحجون وهو باكٍ حزين مغتم فنزل فمكث عني طويلاً ثم عاد إلي وهو فرِحٌ مبتسم ، فقلت له فقال : ذهبت لقبر أمي فسألت الله أن يحييها فأحياها فآمنت بي وردها الله

Dari ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam melakukan haji bersama kami dalam haji wada’. Beliau melewati satu tempat yang bernama Hajun dalam keadaan menangis dan sedih. Lalu beliau shallallaahu ’alaihi wasallam turun dan menjauh lama dariku kemudian kembali kepadaku dalam keadaan gembira dan tersenyum. Maka akupun bertanya kepada beliau (tentang apa yang terjadi), dan beliau pun menjawab : ”Aku pergi ke kuburan ibuku untuk berdoa kepada Allah agar Ia menghidupkannya kembali. Maka Allah pun menghidupkannya dan mengembalikan ke dunia dan beriman kepadaku” [Diriwayatkan oleh Ibnu Syahin dalam An-Nasikh wal-Mansukh no. 656, Al-Jauzaqaani dalam Al-Abaathil 1/222, dan Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudlu’aat 1/283-284].

Hadits ini tidak shahih karena perawi yang bernama Muhammad bin Yahya Az-Zuhri dan Abu Zinaad. Tentang Abu Zinaad, maka telah berkata Yahya bin Ma’in : Ia bukanlah orang yang dijadikan hujjah oleh Ashhaabul-Hadiits, tidak ada apapanya”. Ahmad berkata : ”Orang yang goncang haditsnya (mudltharibul-hadiits)”. Berkata Ibnul-Madiinii : ”Menurut para shahabat kami ia adalah seorang yang dha’if”. Ia juga berkata pula : ”Aku melihat Abdurrahman bin Mahdi menulis haditsnya”. An-Nasa’i berkata : ”Haditsnya tidak boleh dijadikan hujjah”. Ibnu ’Adi berkata : ”Ia termasuk orang yang ditulis haditsnya” [silakan lihat selengkapnya dalam Tahdzibut-Tahdzib]. Ringkasnya, maka ia termasuk perawi yang ditulis haditsnya namun riwayatnya sangat lemah jika ia bersendirian.

Adapun Muhammad bin Yahya Az-Zuhri, maka Ad-Daruquthni berkata : ”Matruk” (tidak bermanfaat). Ia juga berkata : ”Munkarul-Hadits, ia dituduh memalsukan hadits” [lihat selengkapnya dalam Lisaanul-Miizaan 4/234].
Dengan melihat kelemahan itu, maka para ahli hadits menyimpulkan sebagai berikut : Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudlu’aat (1/284) berkata : ”Palsu tanpa ragu lagi”. Ad-Daruquthni dalam Lisaanul Mizan (biografi ’Ali bin Ahmad Al-Ka’by) : ”Munkar lagi bathil”. Ibnu ’Asakir dalam Lisanul-Mizan (4/111) : ”Hadits munkar”. Adz-Dzahabi berkata (dalam biografi ’Abdul-Wahhab bin Musa) : ”Hadits ini adalah dusta”.

Sebagai orang awam apabila kita membaca hadits diatas sungguh tidak masuk diakal tatkala Allah menghidupkan kembali kedua orang tua Rasulullah, karena didalam sejarah Islam belum pernah terdengar cerita tentang kedua orang tua Rasulullah hidup kembali, jadi hadits ini sungguh dibuat-buat atau palsu.


Hadits Palsu Kedua


عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذا كان يوم القيامة شفعت لأبي وأمي وعمي أبي طالب وأخ لي كان في الجاهلية

Dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam : ”Pada hari kiamat nanti aku akan memberi syafa’at kepada ayahku, ibuku, pamanku Abu Thalib, dan saudaraku di waktu Jahiliyyah” [Diriwayatkan oleh Tamam Ar-Razi dalam Al-Fawaaid 2/45].

Hadits ini adalah palsu karena rawi yang bernama Al-Waliid bin Salamah. Ia adalah pemalsu lagi ditinggalkan haditsnya [lihat Al-Majruhiin oleh Ibnu Hibban 3/80 dan Mizaanul-I’tidaal oleh Adz-Dzahabi 4/339]. Pembahasan selengkapnya hadits ini dapat dibaca dalam Silsilah Al-Ahaadits Adl-Dla’iifah wal-Ma’udluu’ah oleh Asy-Syaikh Al-Albani no. 322.

Kembali kita menilai sebagai orang awam, dimana hadits palsu kedua ini sangat bertentangan dengan Al Qur'an surat At Taubah ayat 113 dimana Allah melarang Rasulullah dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampun keluarganya yang musyrik, apakah hadits yang bertentangan dengan Al Qur'an tersebut patut kita percaya? Sungguhlah hadits tersebut palsu.


Hadits Palsu Ketiga

عن علي مرفوعاً : « هبط جبريل علي فقال إن الله يقرئك السلام ويقول إني حرمت النار على صلبٍ أنزلك وبطنٍ حملك وحجرٍ كفلك

Dari ’Ali radliyallaahu ’anhu secara marfu’ : ”Jibril turun kepadaku dan berkata : ’Sesungguhnya Allah mengucapkan salaam dan berfirman : Sesungguhnya Aku haramkan neraka bagi tulang rusuk yang telah mengeluarkanmu (yaitu Abdullah), perut yang mengandungmu (yaitu Aminah), dan pangkuan yang merawatmu (yaitu Abu Thalib)” [Diriwayatkan oleh Al-Jauzaqaani dalam Al-Abaathil 1/222-223 dan Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudlu’aat 1/283].

Hadits ini adalah palsu (maudlu’) tanpa ada keraguan sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul-Jauzi dalam Al-Maudlu’aat (1/283) dan Adz-Dzahabi dalam Ahaadiitsul-Mukhtarah no. 67.

Hadits palsu ketiga ini sama seperti hadits palsu ke dua yang bertentangan dengan Al Qur'an surat At Taubah ayat 113 dimana Allah melarang Rasulullah dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampun keluarganya yang musyrik.



KESIMPULAN

Pesan penulis kepada siapapun yang mengatakan "Sungguh tidak sopan dan beradap kepada yang mengatakan orang tua Rasulullah di neraka" mohon di cerna kembali perkataannya, karena Allah sudah memerintahkan kita umat Islam untuk mentaati perintah Rasulnya (Q.S. Al-Hasyr: 7). Allah pun sudah melarang Rasulullah dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampun keluarganya yang musyrik (QS. At-Taubah ayat 113). Dan sungguh yang berkata orangtua nya di neraka itu adalah Rasulullah sendiri melalui wahyu bukan ulama ataupun ustadz. Jangan sampai kita tidak termasuk golongan ahlu sunnah waljamaah seperti yang di janjikan nabi Shalallahu 'alaihi wassalam. Wallahu a'lam bissawab.

Wassalam,
DK

No comments:

Post a Comment