“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Thursday, September 7, 2023

Cara Shalat Rasulullah


Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuhu,

Buat sobat blogger semua, shalat adalah kewajiban bagi semua umat Islam yang dilakukan wajib 5 kali sehari. Terkadang kita melihat tata cara sholat yang berbeda-beda antara seorang muslim dengan lainnya, lantas bagaimana tuntunan tata cara sholat yang sebenarnya diajarkan Rasulullah shallahu 'alaihi wassalam dan yang diikuti para sahabat tabi'it dan tabi'in, karena pada awalnya perintah sholat itu diturunkan Allah langsung kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam saat peristiwa mi'raj ke langit ketujuh. Dan sudah semestinya kita harus mengikuti tata cara shalat Rasulullah. Untuk itu mari ikuti penjelasannya dibawah ini.

Tata cara shalat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah dijelaskan secara ucapan dan melalui perbuatan. Dari Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلُّوْا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِي أُصَلِّي

“Shalatlah sebagaimana kalian melihat aku shalat.” (HR. Bukhari, no. 196; Ahmad, 34:157-158)

Para sahabat sangat semangat mengikuti Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam tata cara shalatnya. Buktinya, mereka sering bertanya tentang segala hal terkait shalat, hingga pembahasannya sampai pada umat.

Yang perlu diperhatikan bahwa tata cara shalat secara sempurna tidak dijelaskan oleh satu orang sahabat saja. Dalil tata cara shalat sempurna diterangkan dengan pengumpulan berbagai hadits sebagaimana akan dijelaskan di bawah ini insya Allah.

Berikut tata cara shalat yang sesuai ajaran Rasulullah:



1. Berniat dalam hati

Buat sobat blogger semua, disaat kita akan melaksanakan shalat maka saat itupun secara langsung kita sudah dianggap berniat akan mengerjakan shalat. Oleh sebab itu niat shalat itu tidak perlu diucap atau dilafazhkan baik dengan lirih atau dikeraskan, melainkan hanya niat didalam hati saja seperti penjelasan hadits dibawah ini:

إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya, dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khattab)

Melafazhkan niat sama sekali tidak ada dasarnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga tidak ada contohnhya dari para sahabat. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak memerintahkan kepada salah seorang dari umatnya untuk melafazhkan niat. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak mengajarkannya kepada salah seorang dari kaum muslimin. 

Seandainya melafazhkan niat memang sudah dikenal di masa kenabian dan disyari’atkan, tentu akan diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, karena umat ketika itu melakukan ibadah siang dan malam. Dan kalau memang Rasulullah ajarkan niat tersebut sudah tentu pasti ada hadits-hadits shahih yang meriwayatkannya. Coba sobat blogger cari hadits tersebut, dan sudah jelas tidak ada, kalaupun ada itu sudah pasti hadits palsu. Pendapat yang menyatakan melafazhkan niat itu tidak ada tuntunannya, itulah pendapat yang lebih kuat.



2. Bersuci dengan cara berwudhu

Setelah berniat di dalam hati maka sebelum mengerjakan shalat terlebih dahulu kita harus bersuci dengan cara berwudhu. 

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ 

“Pembuka shalat adalah bersuci, (HR. Tirmidzi, no. 238 dan Ibnu Majah, no. 276. Abu ‘Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Penjelasan berwudhu sesuai tuntutan Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam bisa sobat blogger baca secara detail pada link ini "Tata Cara Berwudhu Rasulullah"



3. Berdiri jika mampu

Orang yang melakukan shalat wajib diharuskan dalam keadaan berdiri apabila mampu atau tidak ada udzur, sedangkan shalat sunnah boleh dikerjakan dalam keadaan duduk meskipun mampu. Berdasarkan firman Allah -subhaanahu wa ta’ala:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلاَةِ الْوُسْطَى وَقُوْمُوا للهِ قَانِتِيْنَ

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa (shalat asar). Dan Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk. (QS Al Baqarah: 238)

“Berdirilah” pada ayat merupakan fi’il amr (Kata kerja yang menunjukan kepada perintah) yang dalam ilmu usul fikih dipergunakan untuk hal yang wajib, kecuali ada indikasi lain yang memalingkan perintah tersebut dari wajib menjadi sunnah atau mubaah seperti karena udzur.

Jika seseorang tidak mampu karena ada udzur tertentu, maka diperbolehkan untuk tidak berdiri berdasarkan hadits ‘Imran bin Hushain -radhiyallaahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

«صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ»

“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka (shalatlah dengan) duduk, jika tidak mampu maka (shalatlah dengan) berbaring” (HR. Bukhari 1117)

Hal ini juga dikarenakan Allah tidak akan membebani hambanya di luar batas kemampuannya. Sebagaimana firman Allah -subhaanahu wa ta’aala:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidaklah membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah : 286)


Untuk shalat sunnah tidak diwajibkan untuk berdiri, namun keadaan berdiri lebih utama daripada duduk saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَائِمِ وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَاعِدِ

“Siapa yang mengerjakan shalat sambil berdiri, maka itu lebih afdhal. Siapa yang shalat sambil duduk akan mendapatkan pahala separuh dari shalat sambil berdiri. Siapa yang shalat sambil berbaring akan mendapat pahala separuh dari shalat sambil duduk.” (HR. Bukhari no. 1065)


4. Meluruskan dan Merapatkan Shaf Berjamaah

Saat shalat berjamaah kita diperintahkan Rasulullah untuk merapatkan dan meluruskan shaf seperti dijelaskan pada hadits dibawah ini:


Perintah Merapatkan Shaf

Rasulullah menyuruh kita untuk merapatkan shaf saat shalat berjamaah sebagaimana shaf malaikat dihadapan Allah. Perintah merapatkan shaf ini akan gugur apabila ada suatu udzur yang menghalanginya seperti adanya wabah virus Corona yang mengharuskan kita menjaga jarak antar jamaah.

 Dari Jabir bin Samuroh Radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‌أَلَا ‌تَصُفُّونَ كَمَا تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ، وَكَيْفَ تَصُفُّ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ رَبِّهَا؟ قَالَ: يُتِمُّونَ الصُّفُوفَ الْأُوَلَ وَيَتَرَاصُّونَ فِي الصَّفِّ.

“Tidakkah kalian bershaf sebagaimana malaikat bershaf dihadapan Allah Tabaraka wa Ta’ala, kami (para sahabat) bertanya: Wahai Rasulullah bagaimana malaikat bershaf dihadapan Allah Tabaraka wa Ta’ala? Maka Nabi Menjawab: Mereka menyempurnakan shaf-shaf yang pertama dan mereka merapatkan shaf mereka.” [Shahih:HR. Muslim (no. 430), Abu Dawud (no. 661), an-Nasa-i (no. 816), Ibnu Majah (no. 992), dan Ahmad (V/101, no. 20964)]

Shaf yang tidak rapat akan membuat celah yang akan diisi setan laksana anak kambing hitam kecil yang bermain disela kaki. 

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam Bersabda:

‌رُصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالْأَعْنَاقِ، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ إِنِّي لَأَرَى الشَّيْطَانَ يَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ.

“Rapatkan shaf kalian, tempelkan shaf kalian, berdekatlah kalian (antara shaf pertama dan kedua itu berdekatan), dan sejajarkan dengan leher kalian, Demi Allah yang diriku berada di tangan-Nya, sesungguhnya aku melihat setan, masuk dari celah celah shaf, seolah olah anak kambing hitam yang kecil.” [Shahih:HR. Abu Dawud(no. 667), Ibnu Hibban (no. 2163-At-Ta’liiqaatul Hisaan). Lihat Shahiih at-Targiib wat Tarhiib (no. 494)]


Perintah Meluruskan Shaf

Meluruskan shaf saat shalat berjamaah merupakan kesempurnaan shalat dan termasuk menegakkan shalat supaya Allah tidak akan membuat wajah kita berselisih serta tidak diputuskan rahmatNya. 

Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلاَةِ

“Luruskanlah shaf karena lurusnya shaf merupakan bagian dari kesempurnaan shalat.” (HR. Bukhari no. 723 dan Muslim no. 433).

Dan dalam riwayat Bukhari pun dijelaskan dengan lafazh,

سَوُّوا ‌صُفُوفَكُمْ، فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصُّفُوفِ مِنْ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ.

“Luruskan shaf kalian, sesungguhnya meluruskan shaf termasuk dari menegakkan shalat.” [Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 723). Lihat Shahiih at-Targiib wat Tarhiib (no. 494)]

Dari riwayat An Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُمْ

“Hendaknya kalian meluruskan shaf kalian atau tidak Allah akan membuat wajah kalian berselisih.” (HR. Bukhari no. 717 dan Muslim no. 436).

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak lurusnya shaf akan menimbulkan permusuhan dan kebencian, serta membuat hati kalian berselisih.” (Syarh Muslim, 4: 157)

Bahkan siapa yang memutuskan shaf maka Allah akan memutuskan rahmatNya.

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu anhuma, bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَقِيْمُوا الصُّفُوْفَ، فَإِنَّمَا تَصُفُّوْنَ بِصُفُوْفِ الْمَلَائِكَةِ، وَحَاذُوْا بَيْنَ الْمَنَاكِبِ، وَسُدُّوا الْـخَلَلَ، وَلِيْنُوْا فِـيْ أَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، وَلَا تَذَرُوْا فُرُجَاتٍ  لِلشَّيْطَانِ، وَمَنْ وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللهُ ، وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللهُ.

“Luruskanlah shaf (di dalam shalat) kalian sebagaimana bershafnya para Malaikat, ratakanlah pundak-pundak kalian, tutupilah celah-celah, dan berlakulah lemah-lembut terhadap saudara (di sisi kiri dan kanan) kalian! Jangan biarkan satu celah pun untuk setan! Barangsiapa yang menyambung shaf, maka Allah Tabaraka wa Ta’ala akan menyambung (rahmat)Nya, dan barangsiapa yang memutuskan shaf, maka Allah akan memutuskan (rahmat)Nya.” [Shahih: HR. Ahmad (II/97-98), Abu Dawud (no. 666) dan al-Baihaqi dalam as-Sunanul Kubra (III/101). Lihat Shahiih at-Targiib wat Tarhiib (no. 495)]


Cara Merapatkan Shaf

Para Shahabat Radhiyallahu anhum memahami hadits di atas dengan merapatkan shaf dan menempelkan bahu dan kaki dengan orang disebelah kita baik di kanan maupun dikiri. Akan tetapi dalam praktek kesehariannya apabila kita telah berusaha merapatkan shaf sementara orang disebelah kita merasa risih dan tidak mau merapatkan kakinya, maka cukuplah Allah sudah mengetahui apa yang kita lakukan sesuai yang diperintahkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam.

وَكَانَ أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ.

“Dan seorang dari kami menempelkan pundaknya dengan pundak temannya dan kakinya dengan kaki temannya.” [Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 725). Lihat Shahiih at-Targiib wat Tarhiib (no. 498)]

Kemudian Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

وَأَفَادَ هَذَا التَّصْرِيحُ أَنَّ الْفِعْلَ الْمَذْكُورَ كَانَ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِهَذَا يَتِمُّ الِاحْتِجَاجُ بِهِ عَلَى بَيَانِ الْمُرَادِ بِإِقَامَةِ الصَّفِّ وَتَسْوِيَتِهِ.

Hadits ini menjelaskan dengan jelas, bahwa perbuatan yang disebutkan itu ada di zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, (artinya, para sahabat mempraktekkannya dan dilihat oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu menempelkan pundak dengan pundak, kaki dengan kaki) maka dengan ini sempurna kita berhujjah dengannya untuk menjelaskan apa yang dimaksud dengan إقامة الصف و تسويته

Disaat kita merapatkan shaf shalat berjamaah, yang harus dilakukan pertama kali adalah lihatlah posisi imam dimana, anggaplah posisi imam tersebut sebagai tengah shaf, kemudian lihat sebelah kanan dan kiri dari posisi tengah dibelakang imam tersebut, apabila  terlihat shaf yang kosong maka kita harus mengisinya dengan cara merapatkan shaf kearah tengah. Maksudnya apabila kita berada di belakang sebelah kanan imam, maka kita harus merapatkan ke kiri karena posisi tengah ada disebelah kiri. Sebaliknya apabila kita berada di belakang sebelah kiri imam, maka kita harus merapatkan ke kanan karena posisi tengah ada di sebelah kanan. Hal ini dicontohkan Rasulullah dari hadits yang diriwayatian Jabir dibawah ini:

ثُمَّ جِئْتُ حَتَّى قُمْتُ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ بِيَدِي فَأَدَارَنِي حَتَّى أَقَامَنِي عَنْ يَمِينِهِ ثُمَّ جَاءَ جَبَّارُ بْنُ صَخْرٍ فَتَوَضَّأَ ثُمَّ جَاءَ فَقَامَ عَنْ يَسَارِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِيَدَيْنَا جَمِيعًا فَدَفَعَنَا حَتَّى أَقَامَنَا خَلْفَهُ

"Kemudian aku datang sampai berdiri di sebelah kiri Rasulullah, lalu beliau memegang tanganku dan menarikku hingga membuatku berdiri di sebalah kanannya. Kemudian datang Jabbaar bin Shakhr, lalu ia berwudhu kemudian datang dan berdiri di sebelah kiri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memegang tangan kami berdua dan mendorong kami hingga membuat kami berdiri di belakang beliau". [HR Muslim dalam Shahih-nya, kitab az Zuhud wal Raqaiq no. 5328].

Penjelasan hadits diatas adalah disaat Jabir datang sebagai makmum, maka dia ditarik Rasulullah ke sebelah kanannya, kemudian ketika datang Jabbaar, dia berdiri di sebelah kiri Rasulullah, kemudian Rasulullah mendorong keduanya hingga berdiri membuat shaf dibelakangNya yang berarti posisi Rasulullah di tengah sementara Jabir di kanan dan Jabbaar di kiri. Selanjutnya ketika ada makmum lainnya maka harus mengisi kekosongan antara kanan dan kiri imam tersebut.

Para sahabat memang lebih menyukai shaf sebelah kanan, akan tetapi hal tersebut tidak menunjukkan pensyariatan dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam seperti pada hadits dibawah ini:

Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash radhiallahu’anhu berkata:

خير المسجد المقام ثم ميمنة المسجد

“Posisi terbaik dalam masjid al haram adalah maqam Ibrahim, lalu shaf sebelah kanan” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf, 1/300)

Juga dari Bara’ bin ‘Adzib radhiallahu’anhu, ia berkata:

كنا إذا صلينا مع رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ  أحببنا أن نكون عن يمينه يقبل علينا بوجهه

“Jika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kami senang berada di sebelah kanan karena beliau akan menghadapkan wajahnya kepada kami” (HR. Muslim 709).

Kedua hadits dari Abdullah bin Amr dan Bara' bin Adzib diatas tidak menunjukkan tasyri’. Ini hanya menunjukkan ijtihad para sahabat dan semangat mereka agar ketika Rasulullah selesai shalat merekalah yang dilihat pertama kali. 

Hadits diatas juga menjelaskan bahwa seorang imam apabila selesai salam maka hendaknya disunnahkan menghadapkan wajahnya ke sebelah kanan makmum sebagai tanda kepada orang yang baru masuk (ke masjid) bahwa shalat telah selesai, karena jika imam tetap duduk menghadap kiblat niscaya orang akan menyangka bahwa ia masih tasyahud.

Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, ia berkata :

أَكْثَرُ مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيهِ وَسَلَّمَ يَنْصَرِفُ عَنْ يَمِيْنِهِ

"Aku sering melihat Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memalingkan wajahnya ke kanan." [HR. Muslim, no. 708]

Selanjutnya ada hadits yang menyatakan bahwa Allah dan malaikat menyukai shaf sebelah kanan, akan tetapi hadits tersebut dinilai dhaif, walaupun sebagian ulama muhaddits memang menshahihkannya. Lihat penjelasan hadits tersebut dibawah ini:

وعن عائشة رَضِيَ اللهُ عَنها ، قالت : قال رَسُول اللهِ – صلى الله عليه وسلم – : (( إنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى مَيَامِنِ الصُّفُوفِ )) رواه أبُو دَاوُدَ بإسنادٍ عَلَى شرط مسلم ، وفيه رجل مُخْتَلَفٌ في تَوثِيقِهِ

‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah dan para malaikatnya bershalawat atas shaf-shaf sebelah kanan.” (HR Abu Daud dengan sanad shahih sesuai syarat Muslim. Di dalamnya ada perawi yang diperselisihkan ketsiqahannya). [HR. Abu Daud, no. 676 dan Ibnu Majah, no. 1005. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini hasan. Sedangkan menurut Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilaly bahwa matan hadits ini syadz (janggal), hadits ini dihukumi dha’if sebagaimana disebutkan dalam Bahjah An-Nazhirin, 2:261]


Pahala Menutup Shaf

Dari Aisyah Radhiyallahu anha, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‌مَنْ ‌سَدَّ ‌فُرجَةً ‌بَنَى ‌اللهُ ‌لَهُ ‌بَيْتًا ‌فِي ‌الْـجَنَّةِ وَرَفَعَهُ بِهَا دَرَجَةً.

“Barangsiapa yang menutup satu celah dalam shaf, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga dan Allah akan mengangkatnya satu derajat” [Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahihah (no. 1892), Shahiih at-Targiib wat Tarhiib (no. 505)]

Syaikh al-Albani memberikan judul dalam kitabnya Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahihah dengan:  (فَضْلُسَدِّ فُرْجَةِ الصَّفِّ ) keutamaan menutup celah shaf.

Hadits ini menjelaskan ganjaran yang besar bagi orang yang merapatkan shaf, mengisi shaf yang kosong, dan mengisi shaf yang renggang dengan balasan Sorga dan diangkat derajatnya. 

Kalau ada seseorang yang shafnya renggang atau ada seorang yang dia batal kemudian keluar, dan shaf tersebut tidak mau rapat, kemudian kita dibelakangnya jalan, masuk ke shaf tersebut, maka ganjarannya sangat besar sekali.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma secara marfu’:

‌مَا ‌مِنْ ‌خُطْوَةٍ ‌أَعْظَمُ ‌أَجْرًا مِنْ خُطْوَةٍ مَشَاهَا رَجُلٌ إِلَى فُرْجَةٍ فِي الصَّفِّ فَسَدَّهَا.

“Dan tidaklah seorang melangkah dengan langkah yang paling besar ganjarannya melainkan dengan langkah yang ia melangkah masuk ke celah shaf yang renggang dan merapatkannya.” [Shahih: HR. Ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath(no. 5213). LihatSilsilah al-Ahadiits ash-Shahihah(no.2533)]


Larangan Sendiri di Shaft Belakang

Dari Wabishah bin Ma’bad Radhiyallahu anhu:

أَنَّ رَجُلًا صَلَّى خَلْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَحْدَهُ لَمْ يَتَّصِلْ بِأَحَدٍ، فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيْدَ الصَّلَاةَ.

“Bahwasannya ada seorang shalat sendirian dibelakang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bersambung shafnya dengan seorangpun juga, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh untuk mengulangi shalatnya.” [Shahih. HR Ibnu Hibban (no 2197- At-Ta’liiqaatul Hisaan)]

Imam Ibnu Hibban rahimahullah membawakan hadits Wabishah untuk menjelaskan bahwa  disamakan antara sholat di belakang sendirian, dengan sholat renggang di antara shaf, bahwa sholatnya harus diulangi, karena ia tidak bersambung shafnya dengan makmum yang lain. Wallahu a’lamu bisshowab.

Maksudnya apabila seseorang berada di satu shaft dengan beberapa jamaah lainnya, dengan posisi paling kiri atau paling kanan dimana seseorang tersebut ada celah dengan jamaah lainnya dalam satu shaft, maka shalat seseorang tersebut tidak sah, dan harus diulang kembali.


5. Mengucap Takbir 

Lafadz Takbir

Awal pertama sholat wajib dimulai dengan ucapan takbiratul ihram "Allahu Akbar" disertai dengan mengangkat kedua telapak tangan terbuka yang menghadap kedepan (arah kiblat). 

Dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ الطُّهُورُ وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ

“Pembuka shalat adalah bersuci, yang mengharamkan dari perkara di luar shalat adalah ucapan takbir dan yang menghalalkan kembali adalah ucapan salam.” (HR. Tirmidzi, no. 238 dan Ibnu Majah, no. 276. Abu ‘Isa mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini sahih).

Sementara lafazh takbiratul ihram adalah “ALLAHU AKBAR”, dan dinukil lafazh ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ucapan takbir ini berbeda dengan takbir lainnya karena dianggap sebagai rukun. Takbiratul ihram ini dilakukan dengan mengangkat kedua telapak tangan dalam keadaan tangan terbuka (bukan digenggam) dengan telapak tangan sejajar pundak dan ujung tangan sejajar bawah telingah. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ رَفَعَ يَدَيْهِ مَدًّا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamketika masuk dalam shalat, beliau mengangkat kedua tangannya dalam keadaan terbuka.” (HR. Ahmad, no. 9325; Abu Daud, no. 753; Tirmidzi, no. 240; An-Nasa’i, no. 883. Syaikh Ahmad Syakir dan Syaikh Al-Albani menyatakan bahwa hadits ini shahih).

Makna telapak tangan terbuka disini yaitu tidak rapat dan tidak juga terlalu renggang.


Mengangkat kedua tangan

Tidak setiap awal rakaat diharuskan mengangkat tangan dalam bertakbir. Namun para ulama menetapkan mengangkat tangan dalam takbir disunnahkan dalam empat tempat:
  1. Pada takbîratul ihram dirakaat yang pertama
  2. Ketika hendak ruku’
  3. Ketika mengucapkan Samiallâhu liman hamidah setelah ruku’
  4. Ketika berdiri dari rakaat kedua setelah tahiyat awal menuju rakaat ketiga
Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nafi’ maula Ibnu Umar rahimahullah, beliau mengatakan:

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ كَبَّرَ ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ ، وَإِذَا قَامَ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ رَفَعَ يَدَيْهِ ورَفَعَ ذلكَ ابنُ عُمَر إلى نبيِّ اللهِ – صلى الله عليه وسلم -.

Sesungguhnya Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma biasanya jika hendak memulai shalatnya beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Jika hendak ruku’ juga mengangkat kedua tangannya. Jika beliau mengucapkan, ”Sami’allâhu liman hamidah”  juga mengangkat kedua tangannya. Jika berdiri dari rakaat kedua juga mengangkat kedua tangannya. Ibnu Umar Radhiyallahu anhu memarfu’kannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” [HR. Al-Bukhâri, no. 739 dan Muslim no. 390]

Perlu sobat blogger ketahui bahwa saat turun dan sujud dan bangun dari sujud kita tidak dianjurkan untuk mengangkat tangan, seperti dijelaskan hadits Abdullah bin Umar dibawah ini.

Hadits dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلاَةَ ، وَإِذَا كَبَّرَ لِلرُّكُوعِ ، وَإِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ رَفَعَهُمَا كَذَلِكَ أَيْضًا وَقَالَ « سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ » . وَكَانَ لاَ يَفْعَلُ ذَلِكَ فِى السُّجُو

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengangkat kedua tangannya sejajar pundaknya ketika memulai (membuka shalat), ketika bertakbir untuk ruku’, ketika mengangkat kepalanya bangkit dari ruku’ juga mengangkat tangan, dan saat itu beliau mengucapkan ‘SAMI’ALLOHU LIMAN HAMIDAH, ROBBANAA WA LAKAL HAMDU’. Beliau tidak mengangkat tangannya ketika turun sujud.” (HR. Bukhari, no. 735 dan Muslim, no. 390).


Untuk batasan mengangkat tangan yaitu telapak tangan sejajar dengan pundak dan ujung jemari sejajar kedua daun telinga bagian ujung bawah seperti dijelaskan pada hadits dibawah ini:

Dari hadits Abu Humaid menurut riwayat Abu Daud,

وَفِي حَدِيثِ أَبِي حُمَيْدٍ، عنْد أبي دَاوُدَ: يَرْفَعُ يَدَيْهِ حَتّى يُحَاذِيَ بِهِمَا مَنْكِبَيْهِ، ثمَّ يُكَبِّرُ.

“Beliau mengangkat kedua tangannya sampai sejajar dengan kedua bahunya kemudian beliau bertakbir.” [HR. Abu Daud, no. 730]


Dan hadits Dari Malik bin Al Huwairits, ia berkata:

وَلِمُسْلِم عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِث رضي الله عنه نَحْوُ حَدِيثَ ابْنِ عُمَرَ، ولكِنْ قَالَ: حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا فُرُوعَ أُذُنَيْهِ.

“Sampai lurus dengan ujung-ujung kedua telinganya.” [HR. Muslim, no. 391, 26]



Takbiratul Ihram

Perlu sobat blogger pahami bahwa Rasulullah mengucapkan takbir ini terkadang bersamaan dengan mengangkat kedua telapak tangah, terkadang takbir dahulu baru mengangkat kedua telapat tangan, bahkan terkadang mengangkat kedua telapak tangan dahulu baru takbir. Pada dasarnya semua cara tersebut boleh kita lakukan secara bersama atau mana yang lebih dahulu. Akan tetapi kata Al hafidz Ibnu Khajar berkata bahwa Rasulullah lebih sering biasanya melakukan secara bersamaan antara takbir dan mengangkat kedua telapak tangan.


Lafadz disela Pergerakan Shalat

Takbir intiqol adalah takbir ketika turun dan bangkit dengan mengucapkan Allahu Akbar.

عَنْ أَبي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إذَا قَامَ إلَى الصَّلاَةِ يُكَبِّرُ حِينَ يَقُومُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْكَعُ، ثُمَّ يَقُولُ: «سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ» حِينَ يَرْفَعُ صُلْبَهُ مِنَ الرُّكُوع، ثُمَّ يَقُولُ وَهُوَ قَائِمٌ: «رَبَّنا وَلَكَ الحَمْدُ»، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَهْوِي سَاجِداً، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِينَ يَرْفَعُ رَأْسَهُ، ثُمَّ يُكَبِّر حِيْنَ يَسْجُدُ، ثُمَّ يُكَبِّرُ حِيْنَ يَرْفَعُ، ثمَّ يَفْعَلُ ذلِكَ فِي الصَّلاَةِ كُلِّهَا، وَيُكَبِّر حِينَ يَقُومُ مِنَ اثْنَتَيْنِ بَعْدَ الجُلُوسِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila melaksanakan shalat, beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika rukuk, kemudian membaca ‘SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH’ (artinya: Allah mendengar orang yang memuji-Nya). Ketika beliau mengangkat tulang punggungnya dari rukuk, dan beliau membaca ketika berdiri, ‘ROBBANAA WA LAKAL HAMDU’ (artinya: Ya Rabb kami, hanya bagi-Mu segala puji). Kemudian beliau bertakbir ketika sujud, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya, kemudian bertakbir ketika sujud kembali, kemudian bertakbir ketika mengangkat kepalanya dari sujud, dan melakukan demikian seluruhnya dalam shalat dan bertakbir ketika bangkit dari dua rakaat setelah duduk tahiyat.”  [HR. Bukhari, no. 789 dan Muslim, no. 392]

Dari hadits Abu Hurairah diatas lafadz takbir "Allahu Akbar" kita ucapkan hanya pada takbiratul ihram pertama kali shalat, turun ruku’, turun sujud, dan bangkit dari sujud. Sementara saat bangkit dari ruku’ kita mengucapkan "Sami' Allahu Liman Hamidah, Rabbanaa wa lakal hamdu" saat shalat sendiri, apabila shalat berjamaah saat bangkit dari ruku maka hanya mengucap "Rabbana wa lakal hamdu, hamdan katsiro thoyyiban mubarakan fih". Bisa sobat blogger baca pada artikel "Aku melihat tiga puluh sekian malaikat".



6. Bersedekap meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri di dada

 عَنْ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَوَضَعَ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى يَدِهِ اليُسْرَى عَلَى صَدْرِهِ. أَخْرَجَهُ ابنُ خُزَيْمَةَ.

Dari Wail bin Hujr radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Aku pernah shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau meletakkan tangan kanan pada tangan kiri di dadanya.” (HR. Ibnu Khuzaimah). [HR. Ibnu Khuzaimah, 1:243; Al-Baihaqi, 2:30. Hadits ini terdapat seorang perawi yang bernama Muamal bin Ismail, ia shaduq (jujur), tetapi jelek hafalannya. Abu Hatim mengatakan bahwa Muamal ini shaduq, tetapi sering khatha’ (keliru). Hadits ini asalnya terdapat di Shahih Muslim, No. 401 dari hadits Wail bin Hujr tanpa ada lafaz “pada dada”. Namun, hadits ini memiliki banyak jalan dari ‘Ashim bin Kulaib tanpa ada tambahan “pada dada”. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 3:42-43].

Bersedekap di dada

Dalam hadits Wail bin Hujr, ia berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا كَانَ قَائِمًا فِي الصَّلَاةِ قَبَضَ بِيَمِينِهِ عَلَى شِمَالِهِ

“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berdiri dalam shalat, tangan kanan beliau menggenggam tangan kirinya.” (HR. An-Nasa’i,no. 8878 dan Ahmad, 4:316. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Kondisi tangan kanan boleh menggenggam tangan kiri atau hanya diletakkan saja tangan kanan di atas tangan kiri pada bagian dadanya. Perlu sobat perhatikan bahwa tidak diperbolehkan meletakkan tangan kita pada bagian pusar, bawah pusar bahkan diatas pusar seperti penjelasan hadits dibawah ini:

Dalam hadits disebutkan, dari Ghazwan bin Jarir Adh-Dhabi, dari bapaknya, ia berkata,

رَأَيْتُ عَلِيًّا – رضى الله عنه – يُمْسِكُ شِمَالَهُ بِيَمِينِهِ عَلَى الرُّسْغِ فَوْقَ السُّرَّةِ

“Aku pernah melihat ‘Ali radhiyallahu ‘anhu memegang tangan kirinya dengan tangan kanannya pada pergelangan tangan lalu diletakkan di atas pusar.” (HR. Abu Daud, no. 757). Syaikh Al-Albani mendhaifkan hadits ini dalam Irwa’ Al-Ghalil. Sehingga kita tidak diperbolehkan meletakkan tangan pada bagian atas pusar.

Dari Abu Juhaifah, bahwasanya ‘Ali radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

عَنْ أَبِى جُحَيْفَةَ أَنَّ عَلِيًّا – رضى الله عنه – قَالَ السُّنَّةُ وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِى الصَّلاَةِ تَحْتَ السُّرَّةِ.

“Termasuk sunnah meletakkan telapak tangan pada telapak tangan dalam shalat di bawah pusar.” (HR. Abu Daud, no. 756). Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini dhaif karena majhulnya Ziyad bin Zaid dan dianggap dhaif menurut jumhur, oleh sebab itu tidak diperbolehkan meletakkan tangan pada bagian bawah pusar saat shalat.



7. Membaca Doa Istiftah

Setelah takbiratul ihram, kita disunahkan membaca doa istiftah seperti yang dijarkan Rasulullah dibawah ini. 

Dari Abu Hurairah radiallahuanhu:

كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة قبل أن يقرأ. فقلت: يا رسول الله! بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول: … ” فذكره

“Biasanya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam setelah bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa istiftah)” (Muttafaqun ‘alaih)

Setelah menyebut beberapa doa istiftah dalam kitab Al Adzkar, Imam An Nawawi berkata: “Ketahuilah bahwa semua doa-doa ini hukumnya mustahabbah (sunnah) dalam shalat wajib maupun shalat sunnah” (Al Adzkar, 1/107).

Do'a istiftah yang dibaca Rasulullah ada sekitar 12 macam, tinggal kita pilih mana yang kita inginkan, dua diantaranya yang bisa kita amalkan yaitu:

Doa istiftah pertama:

اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ، كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنَ الخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالبَرَدِ

“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahanku sebagaimana Engkau telah menjauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, sucikanlah kesalahanku sebagaimana pakaian yang putih disucikan dari kotoran. Ya Allah, cucilah kesalahanku dengan air, salju, dan air dingin” (HR.Bukhari 2/182, Muslim 2/98)

Doa ini biasa dibaca Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam shalat fardhu. Doa ini adalah doa yang paling shahih diantara doa istiftah lainnya, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari (2/183).

Doa istiftah kedua:
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا، وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيلًا

“Allah Maha Besar dengan segala kebesaran, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, Maha Suci Allah, baik waktu pagi dan petang” (HR. Muslim 2/99)

Hadits tersebut diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiallahu’anhu, ia berkata:

بينما نحن نصلي مع رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ إذ قال رجل من القوم: … فذكره. فقال رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” عجبت لها! فتحت لها أبواب السماء “. قال ابن عمر: فما تركتهن منذ سمعت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يقول ذلك

“Ketika kami shalat bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, ada seorang lelaki yang berdoa istiftah: (lalu disebutkan doa di atas). Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lalu bersabda: ‘Aku heran, dibukakan baginya pintu-pintu langit‘. Ibnu Umar pun berkata:’Aku tidak pernah meninggalkan doa ini sejak beliau berkata demikian”.

Kedua doa istiftah tersebut bisa kita pilih sesuai keinginan masing-masing, doa pertama bisa digunakan untuk shalat wajib sementara doa kedua bisa digunakan untuk shalat sunah karena lebih pendek.



8. Membaca Ta'awudz

Setelah membaca doa istiftah, disunnahkan membaca ta’awudz secara sirr (lirih) pada awal shalat ketika memulai qiraah (membaca surah) dengan bacaan:

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHONIR ROJIIM (artinya: aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).”

Hal ini berdasarkan keumuman ayat yang memerintahkan membaca ta’awudz baik di dalam maupun di luar shalat ketika memulai membaca Al-Quran:

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Al-Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk.” (QS. An-Nahl: 98). (Lihat Kitab Shifat Ash-Shalah min Syarh Al-‘Umdah, hlm. 101).

Ta’awudz dibaca pada rakaat pertama sebelum memulai membaca surah atau setelah membaca doa istiftah inilah pendapat menurut Imam Abu Hanifah. Ibnu Taimiyah rahimahullah pun berkata, “Jika seseorang meninggalkan membaca ta’awudz di rakaat pertama, maka  hendaklah ia membacanya di rakaat kedua.” (Kitab Shifat Ash-Shalah min Syarh Al-‘Umdahkarya Ibnu Taimiyah, hlm. 97).

Jadi sobat blogger kudu membacanya sekali saja saat pada rakaat pertama setelah membaca doa istiftah, rakaat selanjutnya tidak di perlu, terkecuali sobat lupa membaca taawudz di rakaat pertama, maka harus membacanyadi rakaat kedua. Beda halnya dengan pengikut mahzab Syafi'i dimana setiap rakaat di haruskan membaca ta'awudz sebelum membaca Al Fatihah.



9. Membaca Basmalah

Basmalah baiknya tidak dikeraskan (sirr atau lirih), bacaannya,

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

“Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.”

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambiasa membuka shalatnya dengan takbir lalu membaca alhamdulillahi robbil ‘alamin.” (HR. Muslim, no. 498).

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah ketika menjelaskan hadits di atas dalam ‘Umdah Al-Ahkam, beliau berkata, “Ini adalah dalil bahwa bacaan basmalah tidaklah dijahrkan (dikeraskan).” (Syarh ‘Umdah Al-Ahkam karya Syaikh As-Sa’di, hlm. 161).

Juga dalil lainnya adalah hadits Anas radhiyallahu ‘anhu, di mana ia berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ )

“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga bersama Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman, aku tidak pernah mendengar salah seorang dari mereka membaca ‘ bismillahir rahmanir rahiim‘.”(HR. Muslim, no. 399).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Yang sesuai sunnah, basmalah dibaca sebelum surah Al-Fatihah dan bacaan tersebut dilirihkan (tidak dikeraskan).” (Kitab Shifat Ash-Shalah min Syarh Al-‘Umdah karya Ibnu Taimiyah, hlm. 105).



10. Membaca Al Fatihah (bagi imam dan orang yang shalat sendirian).

Membaca Al-Fatihah di sini berlaku bagi imam dan orang yang shalat sendirian. Sedangkan makmum dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya dan Shubuh) tidak perlu membaca Al-Fatihah, ia cukup mendengarkan saja, inilah pendapat yang lebih kuat. Karena Allah Ta’ala memerintahkan,

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al-Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204).

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata,

صَلَّى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِأَصْحَابِهِ صَلاَةً نَظُنُّ أَنَّهَا الصُّبْحُ فَقَالَ هَلْ قَرَأَ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ. قَالَ رَجُلٌ أَنَا. قَالَ  إِنِّى أَقُولُ مَا لِى أُنَازَعُ الْقُرْآنَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para sahabatnya yang kami mengira bahwa itu adalah shalat Shubuh. Beliau bersabda, “Apakah salah seorang dari kalian ada yang membaca surah (di belakangku)?” Seorang laki-laki menjawab, “Saya.” Beliau lalu bersabda, “Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al-Quran?“ (HR. Abu Daud, no. 826 dan Tirmidzi, no. 312. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَنْصِتْ لِلْقُرْآنِ فَإِنْ فِي الصَّلاةِ شُغْلا، وَسَيَكْفِيكَ ذَلِكَ الإِمَامُ

“Diamlah saat imam membaca Al-Quran karena dalam shalat itu begitu sibuk. Cukup bagimu apa yang dibaca oleh imam.” (HR. Ath-Thabrani, 9:264)

Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
يَنْصِتُ لِلْإِمَامِ فِيْمَا يَجْهَرُ بِهِ فِي الصَّلاَةِ وَلاَ يَقْرَأُ مَعَهُ

“Hendaklah diam ketika imam mengeraskan bacaannya dalam shalat. Dan janganlah baca bersamanya.” (HR. Abdur Razaq, 2:139).

Perlu sobat ketahui bahwa saat membaca ayat-ayat surat Al Fatihah sebaiknya dibaca ayat per ayat dengan jeda satu kali nafas, jadi usahakan jangan di sambung dalam satu nafas. Rasulullah berkata bahwa Allah membagi Alfatiha menjadi dua bagian seperti hadits riwayat Imam Ahmad dan Imam Muslim dibawah ini:

Hadis dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda,

قَالَ اللهُ تَعَالَى: قَسَمْتُ الصَّلَاةَ بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي نِصْفَيْنِ، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ الْعَبْدُ: {الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ} ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: حَمِدَنِي عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ}، قَالَ اللهُ تَعَالَى: أَثْنَى عَلَيَّ عَبْدِي، وَإِذَا قَالَ: {مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ}، قَالَ: مَجَّدَنِي عَبْدِي – وَقَالَ مَرَّةً فَوَّضَ إِلَيَّ عَبْدِي – فَإِذَا قَالَ: {إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ} قَالَ: هَذَا بَيْنِي وَبَيْنَ عَبْدِي، وَلِعَبْدِي مَا سَأَلَ، فَإِذَا قَالَ: {اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ} قَالَ: هَذَا لِعَبْدِي وَلِعَبْدِي مَا سَأَل

Allah berfirman, “Saya membagi shalat antara diri-Ku dan hamba-Ku menjadi dua. Untuk hamba-Ku apa yang dia minta.
Apabila hamba-Ku membaca, “Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.”
Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku memuji-Ku.”
Apabila hamba-Ku membaca, “Ar-rahmanir Rahiim.”
Allah Ta’ala berfirman, “Hamba-Ku mengulangi pujian untuk-Ku.”
Apabila hamba-Ku membaca, “Maaliki yaumid diin.”
Apabila hamba-Ku membaca, “Hamba-Ku mengagungkan-Ku.” Dalam riwayat lain, Allah berfirman, “Hamba-Ku telah menyerahkan urusannya kepada-Ku.”
Apabila hamba-Ku membaca, “Iyyaka na’budu wa iyyaaka nasta’in.”
Allah Ta’ala berfirman, “Ini antara diri-Ku dan hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku sesuai apa yang dia minta.”
Apabila hamba-Ku membaca, “Ihdinas-Shirathal mustaqiim….dst. sampai akhir surat.”
Allah Ta’ala berfirman, “Ini milik hamba-Ku dan untuk hamba-Ku sesuai yang dia minta.”

(HR. Ahmad 7291, Muslim 395 dan yang lainnya)



11. Membaca Aamiiin

Setelah membaca surah Al-Fatihah diperintahkan membaca AAMIIN, hukumnya sunnah muakkad. Untuk shalat yang sirr (diperintahkan melirihkan bacaan yaitu shalat Zhuhur dan Ashar), maka diperintahkan melirihkan bacaan AAMIIN. Sedangkan untuk shalat yang jahar (diperintahkan mengeraskan bacaan yaitu shalat Shubuh, Maghrib, dan Isya), maka diperintahkan mengeraskan bacaan AAMIIN. Ucapan AAMIIN ini diucapkan bersama-sama imam. Demikianlah pendapat dalam madzhab Syafi’i, Hambali, kebanyak ulama, dan umumnya ulama hadits. Lihat Mulakhash Fiqh Al–‘Ibaadaat, hlm. 210-211.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَالَ الْإِمَامُ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Jika imam membaca ‘ghoiril maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin’, maka ucapkanlah ‘aamiiin’ karena malaikat akan mengucapkan pula ‘aamiiin’ tatkala imam mengucapkan aamiin. Siapa saja yang ucapan aamiin-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’  dari malaikat, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. An-Nasa’i, no. 928 dan Ibnu Majah, no. 852. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Cara pengucapan bacaan aamiiin yaitu huruf aa pertama dibaca 2 ketuk sementara huruf miiin dibaca 3 sampai 6 ketuk sehingga artinya kabulkan, karena akan berbeda arti apabila kita salah mengucapkannya. Berikut beberapa kesalahan dalam pengucapan:
amin (a 1 ketuk, min 1 ketuk) artinya aman, tentram
amiiin (a 1 ketuk, miiiin 3 ketuk) artinya orang yang amanah (jujur terpercaya)
aamin (aa 2 ketuk, min 1 ketuk) artinya amankan



12. Membaca Surat dan Thumakninah

Setelah membaca surah Al-Fatihah, disunnahkan membaca surah lainnya. Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,

وإنْ لَمْ تَزِدْ علَى أُمِّ القُرْآنِ أجْزَأَتْ وإنْ زِدْتَ فَهو خَيْرٌ

“Jika engkau tidak menambah selain surah Al-Fatihah, maka itu boleh. Adapun jika engkau menambah lebih dari itu, maka itu lebih baik.” (HR. Bukhari, no. 772 dan Muslim, no. 396). Maka yang diwajibkan adalah membaca surah Al-Fatihah saja.

Dari Abu Qatadah Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كانَ النبيُّ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَقْرَأُ في الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ مِن صَلَاةِ الظُّهْرِ بفَاتِحَةِ الكِتَابِ، وسُورَتَيْنِ يُطَوِّلُ في الأُولَى، ويُقَصِّرُ في الثَّانِيَةِ ويُسْمِعُ الآيَةَ أَحْيَانًا، وكانَ يَقْرَأُ في العَصْرِ بفَاتِحَةِ الكِتَابِ وسُورَتَيْنِ، وكانَ يُطَوِّلُ في الأُولَى، وكانَ يُطَوِّلُ في الرَّكْعَةِ الأُولَى مِن صَلَاةِ الصُّبْحِ، ويُقَصِّرُ في الثَّانِيَةِ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama dari shalat Zhuhur, dan dua surah yang beliau panjangkan pada yang pertama dan lebih ringan pada yang kedua. Kadang beliau memperdengarkan ayat tersebut. Dalam shalat Ashar beliau membaca surah Al-Fatihah dan dua surah, lalu beliau panjangkan yang pertama. Dalam shalat Shubuh, beliau memanjangkan rakaat pertama dan lebih memperingan rakaat kedua.” (HR. Bukhari, no. 759 dan Muslim, no. 451)

Para ulama seperti disebutkan dalam Al-Mughni karya Ibnu Qudamah (1:532), Fath Al-Bari karya Ibnu Rajab (8:7) bersepakat bahwa disunnahkan membaca surah setelah Al-Fatihah pada dua rakaat pertama. Dan disunnahkan kadang-kadang membaca surah setelah Al-Fatihah pada rakaat ketiga dan keempat. Lihat Ghayah Al-Muqtashidin Syarh Manhaj As-Salikin, 1:215.


Standar bacaan surat dalam sholat

Rasulullah pada sholat Subuh biasa membaca surat sebanyak 60-100 ayat, sholat dzuhur 15-30 ayat, sholat Ashar 7-15 ayat, sholat maghrib biasa membaca surat pendek (3 Qul, Al Fil, Al Ma'un, Al Lahab, dll), sholat Isya biasa membaca surat Al 'Ala, At Tariq, As Syams, Ad Dhuha, dll).


Pengertian Tumakninah

Setelah selesai membaca surat disunahkan diam sejenak (tumakninah) sebelum ruku. Rukun yang melazimkan thuma'ninah (tenang sejenak) ada 4, yaitu ruku, itidal, sujud, duduk antara dua sujud. Thumakninah adalah berdiam setelah bergerak di mana tiap anggota badan tenang di tempatnya, lamanya sekitar ucapan SUBHANALLAH.

Dari Samurah bin Jundub radhiallahu’anhu,

أ وسكتة إذا فرغ من فاتحة الكتاب وسورة عند الركوع

“aku mengingat ada dua saktah (berhenti sejenak) dalam shalat, pertama ketika imam bertakbir hingga ia membaca (Al Fatihah), dan ketika ia selesai membaca Al Fatihah serta surat, ketika hendak rukuk” (HR. Abu Daud 777).

Perintah thuma'ninah juga dijelaskan dalam hadits muttafaqun 'alaihi dibawah ini:

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا

“Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah dan ber i’tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397).

Orang yang mengerjakan shalat tidak thumakninah maka shalatnya tidak sah, Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam pernah memerintahkan sahabatnya untuk mengulangi kembali shalatnya yang tidak thumakninah seperti pada hadits Abu Hurairah dibawah ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَرَدَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَيْهِ السَّلاَمَ فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » فَصَلَّى ، ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » . ثَلاَثًا . فَقَالَ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِى . قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka masuklah seseorang lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab salamnya. Beliau berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Sampai diulangi hingga tiga kali. Orang yang jelek shalatnya tersebut berkata, “Demi yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Makanya ajarilah aku!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah dan beri’tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397).



13. Ruku’  dan Thumakninah

Tangan mencengkram lutut dengan jari direnggangkan

Saat ruku’, kedua tangan diletakkan di lutut dengan cara mencengkramnya dengan jari jemari yang direnggangkan.

Abu Humaid As Sa’idiy berkata mengenai cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata,

فَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ كَفَّيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ وَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ

“Jika ruku’, beliau meletakkan dua tangannya di lututnya dan merenggangkan jari-jemarinya.” (HR. Abu Daud no. 731. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dalam riwayat lainnya disebutkan,

ثُمَّ رَكَعَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ كَأَنَّهُ قَابِضٌ عَلَيْهِمَا

“Kemudian beliau ruku’ dan meletakkan kedua tangannya di lututnya seakan-akan beliau menggenggam kedua lututnya tersebut.” (HR. Abu Daud no. 734, Tirmidzi no. 260 dan Ibnu Majah no. 863. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)


Kepala sejajar punggung

Saat ruku’, kepala dijadikan sejajar dengan punggung. Untuk menjaga posisi punggung dan kepala sejajar maka hendaknya lengan sedikit melengkung saat rukuk (tidak terlalu lurus).

Abu Humaid As Sa’idiy berbicara mengenai cara ruku’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ يَصُبُّ رَأْسَهُ وَلاَ يُقْنِعُ مُعْتَدِلاً

“Ketika ruku’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membuat kepalanya terlalu menunduk dan tidak terlalu mengangkat kepalanya (hingga lebih dari punggung), yang beliau lakukan adalah pertengahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1061 dan Abu Daud no. 730. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Wabishoh bin Ma’bad, ia berkata,

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فَكَانَ إِذَا رَكَعَ سَوَّى ظَهْرَهُ حَتَّى لَوْ صُبَّ عَلَيْهِ الْمَاءُ لاَسْتَقَرَّ

“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat. Ketika ruku’, punggungnya rata sampai-sampai jika air dituangkan di atas punggungnya, air itu akan tetap diam.“ (HR. Ibnu Majah no. 872. Juga diriwayatkan oleh Ath Thobroni dalam Al Kabir dan Ash Shoghir, begitu pula oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Al Musnad).


Membaca dzikir saat rukuk

Kemudian saat ruku’ membaca “subhana robbiyal ‘azhim”, dibaca berulang kali. Dalam hal ini tidak dibatasi 3x boleh 2x bahkan lebih dari 3x.

Ketika ruku’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca,

سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ

“Subhanaa robbiyal ‘azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung).” (HR. Muslim no. 772).


Dalam hadits lain ‘Uqbah bin ‘Amir disebutkan mengenai bacaan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ruku’,

سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ

“Subhanaa robbiyal ‘azhimi wa bi hamdih (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung dan pujian untuk-Nya).” Ini dibaca tiga kali. (HR. Abu Daud no. 870. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih, begitu pula Syaikh Al Albani dalam Shifat Shalat Nabi, hal. 115. Kata Syaikh Al Albani hadits ini diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthni, Ahmad, Ath Thobroni, dan Al Baihaqi).

Saat ruku’ dan sujud bisa pula membaca bacaan lainnya, “Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii”.

Dari ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِى رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ « سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى » يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak membaca ketika ruku’ dan sujud bacaan, “Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii (artinya: Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku)”. Beliau menerangkan maksud dari ayat Al Qur’an dengan bacaan tersebut.” (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484).


Pandangan saat rukuk

Dan dalam masalah pandangan saat rukuk ini tidak ada satu hadits pun yang shahih dan sharih yang mengkhususkan suatu arah pandangan dalam shalat. Oleh karena itu dalam hal ini perkaranya luas. Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata: “dalam hal ini perkaranya luas, seseorang boleh memandang ke arah yang dapat membuatnya lebih khusyu’ (Syarhul Mumthi’, 3/39)

Rasulullah mengajarkan kepala kita tidak terlalu mendongak dan tidak terlalu menunduk seperti hadits dari Abu Humaid As Sa’idiy yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1061 dan Abu Daud no. 730 diatas.



14. I’tidal dan Thuma’ninah

Mengangkat badan hingga lurus

I'tidal adalah bangkit setelah rukuk. dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu yang dikenal dengan hadits al musi’u shalatuhu, yaitu tentang seorang shahabat yang belum paham cara shalat, hingga Nabi shallallahu’ alaihi wasallam mengajarkan bagaimana cara shalat yang benar dan sah. Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabda kepadanya:

ثم اركَعْ حتى تَطمَئِنَّ راكِعًا، ثم ارفَعْ حتى تستوِيَ قائِمًا

“… lalu rukuk dengan tuma’ninah, kemudian angkat badanmu hingga lurus” (HR. Bukhari 757, Muslim 397).

Dalam riwayat lain:

ثم اركَعْ حتى تَطْمَئِنَّ راكعًا ، ثم ارْفَعْ حتى تَعْتَدِلَ قائمًا

“… kemudian rukuk sampai tuma’ninah dalam rukuknya, kemudian mengangkat badannya sampai berdiri lurus” (HR. Bukhari no. 793, Muslim no. 397).


Mengangkat kedua telapak tangan

Saat i'tidal disertai dengan mengangkat kedua telapak tangan sejajar pundak dan ujung jari sejajar atau menyentuh daun telinga bawah sama seperti takbiratul ihram. 

Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhuma,

أنَّ النبيَّ صلّى الله عليه وسلّم كان يرفعُ يديه حذوَ مَنكبيه؛ إذا افتتح الصَّلاةَ، وإذا كبَّرَ للرُّكوع، وإذا رفع رأسه من الرُّكوع

“Nabi shallallahu’ alaihi wasallam biasanya ketika memulai shalat, ketika takbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepala setelah ruku’, beliau mengangkat kedua tangannya setinggi pundaknya” (HR. Bukhari no.735).


Mengucap tasmi' dan tahmid

Sa'at i'tidal juga disunahkan membaca tasmi' yaitu mengucapkan: sami’allahu liman hamidah (artinya: “Allah mendengar orang yang memuji-Nya”). Dan ada bacaan tahmid, yaitu mengucapkan: rabbana walakal hamdu (artinya: “Ya Allah, segala puji hanya bagi-Mu”). Apabila shalat jamaah, cukup imam yang mengatakan tasmi' sementara makmum hanya membaca tahmid saja, apabila shalat sendiri maka kita disunahkan membaca tasmi' dan tahmid.

Dari Anas bin Malik radhiallahu’anhu, Nabi shallallahu’ alaihi wasallam bersabda:

إِنّما جُعل الإِمام ليؤتمّ به، فإِذا كبّر فكبِّروا، وإِذا سجد فاسجدوا، وإِذا رفع فارفعوا، وإِذا قال: سمع الله لمن حمده، فقولوا: ربّنا ولك الحمد، وإِذا صلّى قاعداً فصلّوا قعوداً أجمعُون

“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika ia bertakbir maka bertakbirlah. Jika ia sujud maka sujudlah. Jika ia bangun (dari rukuk atau sujud) maka bangunlah. Jika ia mengucapkan: sami’allahu liman hamidah. Maka ucapkanlah: rabbana walakal hamdu. Jika ia shalat duduk maka shalatlah kalian sambil duduk semuanya” (HR. Bukhari no. 361, Muslim no. 411).


Membaca doa tambahan

Dianjurkan juga ketika i’tidal, untuk membaca doa tambahan setelah membaca tahmid. Ada beberapa doa tambahan setelah tahmid yang shahih dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:

Pertama, dari Rifa’ah bin Rafi radhiallahu’anhu:

كنَّا يومًا نُصلِّي وراءَ النبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، فلمَّا رفَع رأسَه من الرَّكعةِ، قال: سمِعَ اللهُ لِمَن حمِدَه، قال رجلٌ وراءَه: ربَّنا ولك الحمدُ حمدًا كثيرًا طيِّبًا مبارَكًا فيه، فلمَّا انصرَف، قال: مَنِ المتكلِّمُ؟ قال: أنا، قال: رأيتُ بِضعَةً وثلاثينَ مَلَكًا يبتَدِرونها، أيُّهم يكتبُها أولُ

“Kami dahulu shalat bermakmum kepada Nabi shallallahu’ alaihi wasallam. Ketika beliau mengangkat kepada dari rukuk, beliau mengucapkan: sami’allahu liman hamidah. Kemudian orang yang ada di belakang beliau mengucapkan: robbanaa walakal hamdu, hamdan katsiiron mubaarokan fiihi (segala puji hanya bagiMu yaa Rabb. Pujian yang banyak, yang baik lagi penuh keberkahan). Ketika selesai shalat, Nabi bertanya: ‘Siapa yang mengucapkan doa tadi?’ Lelaki tadi menjawab: ‘Saya’. Nabi bersabda: ‘Aku tadi melihat tiga puluh lebih malaikat berebut untuk saling berusaha terlebih dahulu menulis amalan tersebut’.” (HR. Bukhari no. 799).

Kedua, dari Abdullah bin Abi Aufa radhiyallahu’anhu, ia berkata:

كان رسولُ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم، إذا رفَعَ ظهرَه مِن الرُّكوعِ، قال: سمِعَ اللهُ لِمَن حمِدَه، اللهمَّ ربَّنا لك الحمدُ، مِلْءَ السَّمواتِ، ومِلْءَ الأرضِ، ومِلْءَ ما شِئتَ مِن شيءٍ بعدُ

“Biasanya Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam jika mengangkat punggungnya dari rukuk beliau mengucapkan: sami’allohu liman hamidah allohumma robbanaa lakal hamdu mil-as samaawaati wa mil-al ardhi wa mil-a maa syi’ta min syai-in ba’du (Allah mendengar orang yang memuji-Nya. Ya Allah segala puji bagi-Mu, pujian sepenuh langit, sepenuh bumi, sepenuh apa yang Engkau inginkan lebih dari itu semua)” (HR. Muslim no. 476).

Terdapat keutamaan khusus bagi orang yang mengucapkan tahmid ketika i’tidal. Sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah radhiallahu’anhu, beliau mengatakan:

إنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم قال: إذا قال الإمامُ: سمِعَ اللهُ لِمَن حمِدَه، فقولوا: ربَّنا لك الحمدُ؛ فإنَّه مَن وافَقَ قولُه قولَ الملائكةِ، غُفِرَ له ما تقدَّمَ مِن ذَنبِه

“Rasulullah shallallahu’ alaihi wasallam bersabda: ‘Jika imam mengucapkan: sami’allahu liman hamidah, maka ucapkanlah: rabbana lakal hamdu. Barangsiapa yang ucapannya tersebut bersesuaian dengan ucapan Malaikat, akan diampuni dosa-dosanya telah lalu’.” (HR. Bukhari no. 796, Muslim no. 409).


Posisi tangan setelah i'tidal

Posisi kedua tangan setelah i'tidal ada 2 pendapat yaitu: ada yang bersedekap dan ada juga yang lurus kebawah, karena tidak ada hadits yang menjelaskan posisi tangan yang detail setelah i'tidal. Berikut penjelasan haditsnya.

Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

كَانَ النَّاسُ يُؤْمَرُونَ أَنْ يَضَعَ الرَّجُلُ الْيَدَ الْيُمْنَى عَلَى ذِرَاعِهِ الْيُسْرَى فِى الصَّلاَةِ.

“Dahulu manusia diperintahkan untuk meletakkan tangan kanan di atas lengan tangan kiri dalam shalat.” (HR. Bukhari, no. 740)

Hadits ini merupakan penjelasan secara umum dimana saat shalat hendaknya kita bersedekap dengan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri, akan tetapi tidak menjelaskan apakah setelah i'tidal juga demikian?

Hadits kedua Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padanya,

ثُمَّ رَكَعَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ حَتَّى أَخَذَ كُلُّ عُضْوٍ مَأْخَذَهُ ثُمَّ رَفَعَ حَتَّى أَخَذَ كُلُّ عُضْوٍ مَأْخَذَهُ

“Kemudian rukuk lalu kedua tangan di letakkan di lututnya sampai setiap anggota tubuh mengambil posisinya. Kemudia bangkit dari rukuk dan setiap anggota tubuh mengambil posisinya.” (HR. Ahmad, 3:407. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih).

Dalam riwayat lain disebutkan (حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِي مَوْضِعِهِ) yang artinya: Hingga setiap tulang kembali ke tempatnya. (Lihat riwayat At Tirmidzi: 304, 1/395)

Pemahaman hadits kedua inipun pada kalimat "setiap anggota tubuh mengambil posisinya" menimbulkan 2 makna, pertama maksud kembali ke posisinya yaitu kembali ke posisi bersedekap saat sebelum rukuk. Sementara pemahaman kedua yaitu sampai posisi setiap sendi-sendi tulang kembali ketempatnya maksudnya lurus tanpa ditekuk atau sedekap.

Kedua pendapat tersebut boleh dikerjakan karena sesuai dengan hujjah masing-masing yang sama kuat. Akan tetapi jumhur ulama lebih cenderung kepada pendapat kedua yaitu posisi tangan lurus karena Rasulullah menjelaskan saat sendi-sendi tulang kembali ketempatnya, maksudnya tanpa ditekuk atau sedekap, selain itupun posisi setelah 'itidal inipun hanya singkat jadi tidak perlu mengangkat tangan kembali untuk bersedekap. Wallahu'alam bissawab.



15. Sujud dan Thuma’ninah

Letakkan tangan dulu baru lutut

Ada 2 pendapat kondisi meletakkan mana yang dahulu antara tangan dan lutut, akan tetapi pendapat yang terkuat adalah meletakkan tangan dahulu baru lutut. Karena Rasulullah melarang kita melakukan sujud seperti meringkuknya unta yang meletakkan lutut dahulu baru tangan.

Cara turun sujud yang salah

Walaupun tangan dulu yang turun baru lutut, akan tetapi tidak boleh langsung tangan diturunkan laksana unta mau duduk seperti gambar diatas. Yang harus kita lakukan adalah berjongkok terlebih dahulu baru menurunkan tangan kelantai seperti gambar dibawah ini.

Cara turun sujud yang benar

Dari Nafi’ rahimahullah, ia berkata:

كَانَ إِبْنُ عُمَرَ يُضَعُ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

“Ibnu Umar dahulu meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnyaز” (HR. Al Bukhari secara mu’allaq di hadits no. 803, Ibnu Khuzaimah no. 627, dishahihkan Al Albani dalam Irwaul Ghalil, 2/77)

Pendapat hadits ini dikuatkan oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani. Pendapat kedua nampaknya yang lebih kuat, karena terdapat hadis:

إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ

“Jika kalian sujud maka jangan turun sujud seperti meringkuknya unta. Hendaknya ia letakkan tangannya sebelum lutunya.” (HR. Abu Daud no. 840, Al Baihaqi no. 2739, dishahihkan Al Albani dalam Ashl Sifati Shalatin Nabi 2/720)


Menempelkan 7 anggota tubuh

Dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma:

أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ؛ عَلَى الجبهةِ – وأشارَ بيدِه إلى أنفِه – واليدينِ، والرُّكبتينِ، وأطرافِ القدَمينِ

“Aku diperintahkan untuk sujud di atas tujuh anggota badan: kening (lalu beliau menunjuk juga pada hidungnya), kedua tangan, kedua lutut, dan kedua kaki.” (HR. Bukhari no. 812, Muslim no. 490)

Maka tujuh anggota sujud tersebut adalah:
1. Kening dan hidung
2. Tangan kanan
3. Tangan kiri
4. Lutut kanan
5. Lutut kiri
6. Kaki kanan
7. Kaki kiri


Menempelkan kening dan hidung

Syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan, “Sebagian ulama menganggap bahwa yang kuat adalah pendapat bahwa tafsiran tersebut (yaitu hidung termasuk bagian dari kening) bukan berasal dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam namun dari perbuatan Thawus atau anaknya. Oleh karena itu maka tidak wajib sujud dengan menempelkan hidung, namun hukumnya mustahab (sunnah) saja. Ini pendapat jumhur ulama” (Mafatihul Fiqhi fid Diin, 73)

Jadi sobat blogger disunahkan menempelkan kening dan hidung, akan tetapi bagi saudara kita yang hidungnya maaf agak pesek tidak menempelpun diperbolehkan, karena hidung dan kening merupakan satu kesatuan, jadi cukup kening saja yang menempelpun itupun diperbolehkan.


Kedua telapak tangan menempel dilantai sejajar bahu

Hadits dari Abu Humaid As Sa’idi radhiallahu’anhu:

 … ثم سجَدَ فأمكَنَ أنفَه وجبهتَه، ونحَّى يدَيْهِ عن جَنبَيْهِ ووضَع كفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ …

“… kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sujud dan meletakkan hidungnya serta keningnya. Dan beliau melebarkan tangannya di sisi tubuhnya dan meletakkan telapak tangannya sejajar dengan bahunya…“ (HR. Abu Daud no. 734, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)

Saat sujud jari-jemari dirapatkan

Saat kedua telapak tangan menempel ke lantai sejajar bahu, dimana posisi jari-jemari tangan dirapatkan seperti penjelasan hadits dari Wail bin Hujr dibawah ini:

Dari Wail bin Hujr, ia berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ « إِذَا سَجَدَ ضَمَّ أَصَابِعَهُ »

“Ketika sujud, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merapatkan jari jemarinya.” (HR. Hakim dalam Mustadroknya 1: 350. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Muslim dan disetujui pula oleh Imam Adz Dzahabi)


Lengan atas dibuka menjauhi badan

Hadis dari Al Barra bin Azib radhiallahu’anhu, NabiShallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

إذا سجَدْتَ فضَعْ كفَّيْكَ وارفَعْ مِرْفَقَيْكَ

“Jika engkau sujud maka letakkan kedua tanganmu di lantai dan angkat sikumu.” (HR. Muslim no. 494)

Sujud yang benar untuk shalat sendiri

Yang perlu diperhatikan disini yaitu kondisi siku harus diangkat dan tidak boleh siku menyentuh lantai, karena Rasululla melarang kita shalat seperti anjing saat duduk, seperti dijelaskan dalam hadits dibawah ini:

اعْتَدِلُوا فِى السُّجُودِ ، وَلاَ يَبْسُطْ أَحَدُكُمْ ذِرَاعَيْهِ انْبِسَاطَ الْكَلْبِ

“Bersikaplah pertengahan ketiak sujud. Janganlah salah seorang di antara kalian menempelkan lengannya di lantai seperti anjing yang membentangkan lengannya saat duduk.” (HR. Bukhari no. 822 dan Muslim no. 493).

Sujud terlarang seperti anjing duduk

Sebagaimana dalam juga hadis Abdullah bin Buhainah radhiallahu’anhu, ia berkata:

أن النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان إذا صلَّى فرَّج بين يديهِ، حتى يبدوَ بياضُ إبْطَيه

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam ketika shalat beliau melebarkan kedua tangannya hingga terlihat putihnya ketiak beliau.” (HR. Bukhari no. 390, Muslim no. 495)

Dari hadits diatas ini perlu diketahui bahwa kondisi ini diterapkan hanya saat shalat sendiri dan bukan saat shalat berjamaah baik laki-laki maupun perempuan, karena Rasulullah mencontohkan hanya saat shalat sendiri atau saat beliau jadi imam. Apabila shalat berjamaah maka hendaknya lengan tidak terlalu melebar kesamping karena kasihan orang disebelah kita yang akan terkena tangan kita.

Syaikh Muhammad bin Shalih bin Shalih Al ‘Utsaimin membawakan suatu kaedah dalam masalah ini,

أَنَّ تَرْكَ السُّنَّةِ لِدَفْعِ الأَذَى أَوْلَى مِنْ فِعْلِ السُّنَّةِ مَعَ الأَذَى

“Meninggalkan perkara yang hukumnya sunnah untuk menghindarkan diri dari mengganggu orang lain lebih utama dari mengerjakan hal yang sunnah namun mengganggu orang lain.” (Fathu Dzil Jalali wal Ikram, 3: 264).


Paha menjauhi perut

Hadits dari Abu Humaid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata mengenai sifat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَإِذَا سَجَدَ فَرَّجَ بَيْنَ فَخِذَيْهِ غَيْرَ حَامِلٍ بَطْنَهُ عَلَى شَىْءٍ مِنْ فَخِذَيْهِ

“Ketika sujud, ia merenggangkan kedua pahanya dan menjauhkan perut dari pahanya.” (HR. Abu Daud, no. 735. Syaikh Al-Albani dalam Irwa’ Al-Ghalil, no. 358, 2:80, menyatakan bahwa hadits ini dha’if. Sedangkan Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini shahih.)

Kata Imam Asy-Syaukani rahimahullah, dalil di atas menunjukkan dianjurkannya membuka paha ketika sujud dan tidak mendekatkan perut dan paha. Seperti ini tidak ada beda pendapat. Demikian kata beliau dalam Nail Al-Authar, 3:204.


Kedua tumit dirapatkan

Berdasarkan hadis dari Aisyah radhiallahu’anha:

فقدت رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وكان معي على فراشي ، فوجدته ساجداً ، راصّاً عقبيه ، مستقبلاً بأطراف أصابعه القبلة

“Suatu malam aku kehilangan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, padahal sebelumnya beliau bersamaku di tempat tidur. Kemudian aku mendapat beliau sedang sujud, dengan menempelkan dua tumitnya, menghadapkan jari-jari kakinya ke kiblat.” (HR. Muslim no. 486)

Dengan merapatkan kedua tumit ini maka hal tersebut berguna untuk menutup aurat dari arah belakang saat kita sujud.


Jari jemari kaki menghadap kiblat

Hadis dari Muhammad bin Amr bin ‘Atha rahimahullah,

، فإذا سجَد وضَع يدَيْهِ غيرَ مفترشٍ ولا قابضِهما، واستقبَلَ بأطرافِ أصابعِ رِجْلَيْهِ القِبلةَ

“...Jika beliau sujud, beliau meletakkan kedua tangannya, tidak terlalu direnggangkan dan juga tidak terlalu dirapatkan. Dan jari-jari kakinya dihadapkan ke arah kiblat.” (HR. Bukhari no. 828)


Membaca dzikir saat sujud

Bacaan pertama: subhaana rabbiyal a’la (Maha Suci Allah Rabb-ku Yang Maha Tinggi)

Dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu, beliau berkata:

فكان يقولُ في سُجودِه: سُبحانَ ربِّيَ الأعلى، قال: ثم رفَعَ رأسَه

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya mengucapkan: subhaana rabbiyal a’la. kemudian mengangkat kepalanya (untuk duduk).” (HR. Ahmad no. 3514, dihasankan Al Albani dalam Ashl Sifatu Shalatin Nabi, 3/809)

Bacaan kedua: subbuuhun quddus rabbul malaaikati war ruuh (Maha Suci Allah Rabb para Malaikat dan ruh)

Dari Aisyah radhiallahu’anha, beliau berkata:

أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان يقولُ في ركوعِه وسُجودِه، سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ، ربُّ الملائكةِ والرُّوحِ

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya ketika rukuk dan sujud mengucapkan: ‘Subbuuhun quddus rabbul malaaikati war ruuh.” (HR. Muslim no. 487)

Bacaan ketiga: Allahumma laka sajadtu (Ya Allah, kepada-Mu lah aku sujud)

Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu ia berkata:

إذا سجَد قال: اللهمَّ لك سجَدْتُ، وبك آمَنْتُ، ولك أسلَمْتُ، سجَد وجهي للذي خَلَقَه وصوَّرَه، وشقَّ سَمْعَه وبصَرَه، تبارَكَ اللهُ أحسَنُ الخالقي

“Ketika Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sujud beliau mengucapkan: ‘Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu, sajada wajhi lilladzi khalaqahu, wa shawwarahu, wa syaqqa sam’ahu, wa basharahu. Tabarakallahu ahsanul khaliqiin’ [Ya Allah, kepada-Mu lah aku bersujud, karena-Mu juga aku beriman, kepada-Mu juga aku berserah diri. Wajahku bersujud kepada Penciptanya, yang Membentuknya, yang Membentuk pendengaran dan penglihatannya. Maha Suci Allah Sebaik-baik Pencipta].” (HR. Muslim no. 771)


Perbanyak doa saat sujud

Setelah membaca dzikir sujud yang disebutkan diatas, dianjurkan untuk memperbanyak doa ketika sujud. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

أَقَْربُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدِ مِنْ رَبِّهِ َوهُوَ سَاجِدً . فَأَكْثِرُوْا الدُعَا

“Seorang hamba berada paling dekat dengan Rabb-nya ialah ketika ia sedang bersujud. Maka perbanyaklah berdoa ketika itu.” (HR. Muslim, no.482)

Berdoa saat sujud hendaknya berdoa menggunakan bahasa Arab yang diambil dari Al Qur'an atau hadits shahih. Alasan berdoanya dengan bahasa Arab dikatakan oleh salah seorang ulama Syafi’iyah, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini rahimahullah:

فَإِنَّ الْخِلَافَ الْمَذْكُورَ مَحَلُّهُ فِي الْمَأْثُورِ .أَمَّا غَيْرُ الْمَأْثُورِ بِأَنْ اخْتَرَعَ دُعَاءً أَوْ ذِكْرًا بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ فَلَا يَجُوزُ كَمَا نَقَلَهُ الرَّافِعِيُّ عَنْ الْإِمَامِ تَصْرِيحًا فِي الْأُولَى ، وَاقْتَصَرَ عَلَيْهَا فِي الرَّوْضَةِ وَإِشْعَارًا فِي الثَّانِيَةِ ، وَتَبْطُلُ بِهِ صَلَاتُهُ .

“Perbedaan pendapat yang terjadi adalah pada doa ma’tsur. Adapun doa yang tidak ma’tsur (tidak berasal dalil dari Al Quran dan As Sunnah), maka tidak boleh doa atau dzikir tersebut dibuat-buat dengan selain bahasa Arab lalu dibaca di dalam shalat. Seperti itu tidak dibolehkan sebagaimana dinukilkan oleh Ar Rofi’i dari Imam Syafi’i sebagai penegasan dari yang pertama. Sedangkan dalam kitab Ar Roudhoh diringkas untuk yang kedua. Juga membaca doa seperti itu dengan selain bahasa Arab mengakibatkan shalatnya batal.” (Mughnil Muhtaj, 1: 273).

Berdoa saat sujud hendaknya dilakukan saat shalat sendirian, apabila kita bermakmum, maka sebaiknya ikuti imam, dan tidak diperbolehkan imam sudah berdiri akan tapi kita masih berdoa sambil sujud.

Imam dijadikan sebagai pemimpin dan wajib diikuti dalam shalat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits dibawah ini:

إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَلَا تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا وَلَا تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا وَلَا تَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ

"Sesungguhnya imam hanya untuk diikuti. Apabila ia bertakbir, maka bertakbirlah, dan kalian jangan bertakbir sampai ia bertakbir. Apabila ia ruku’, maka ruku’lah, dan kalian jangan ruku’ sampai ia ruku’. Apabila ia mengatakan “sami’allahu liman hamidah”, maka katakanlah “Rabbana walakal hamdu”. Apabila ia sujud, maka sujudlah, dan kalian jangan sujud sampai ia sujud". [HR Abu Dawud, no. 511].

Dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat adanya larangan mendahului imam,  di antaranya:

عَنْ أَنَسٍ قَالَ صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَلَمَّا قَضَى الصَّلَاةَ أَقْبَلَ عَلَيْنَا بِوَجْهِهِ فَقَالَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي إِمَامُكُمْ فَلَا تَسْبِقُونِي بِالرُّكُوعِ وَلَا بِالسُّجُودِ وَلَا بِالْقِيَامِ وَلَا بِالِانْصِرَافِ

Dari Anas , ia berkata: "Pada suatu hari, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami kami shalat. Ketika telah selesai shalat, beliau menghadap kami dengan wajahnya, lalu berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya aku adalah imam kalian, maka janganlah kalian mendahuluiku dengan ruku’, sujud, berdiri atau selesai". [HR Muslim, no. 426].


Bangkit berdiri dari sujud 

Dari Malik bin Al-Huwairits:

عن مالك بن الحويرث : عن النبي صلي الله عليه وسلم وإذا اعتمد بيديه جعل بطن راحتيه وبطون أصابعه على الأرض. 

"Dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika beliau bertumpu dengan kedua tangannya, beliau menjadikan telapak tangan dan jarinya untuk bertumpu di atas bumi." (HR. Bukhari)

Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Ketika bangkit ke rakaat kedua dilakukan bertumpu pada tangan, begitu pula ketika bangkit dari tasyahud awal. Hal ini dilakukan oleh orang yang kondisinya kuat maupun lemah, begitu pula bagi laki-laki maupun perempuan. Demikian pendapat dari Imam Syafi’i. Hal ini disepakati oleh ulama Syafi’iyah berdasarkan hadits dari Malik bin Al-Huwairits dan tidak ada dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihinya. Jika tangan jadi tumpuan, maka bagian dalam telapak tangan dan jari jemarinya yang berada di lantai.” (Al-Majmu’, 3:292).

Dengan bertumpu pada tangan, maka itu lebih menunjukkan kekhusyukan, tawadhu’, menolong orang yang shalat agar tidak sampai terjatuh. Demikian pernyataan Imam Nawawi dalam Al-Majmu’.

Sementara hadits yang menyatakan bertumpu pada kedua tangan yang di kepal seperti “'ajin” (orang yang menguli/meremas roti) hadits ini banyak diperselisihkan para ulama karena ada kelemahan dari perawinya meskipun hadits 'ajin ini di shahihkan oleh Syeikh Al-Albani.


Duduk istirahat sebelum berdiri

عَنْ مَالِكِ بْنِ الْحُوَيْرِثِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ رأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي، فَإذَا كَانَ فِي وَتْرٍ مِنْ صَلاَتِهِ لَمْ يَنْهَضْ حَتَّى يَسْتَوِيَ قَاعِداً. رَوَاهُ الْبُخَاريُّ.

Dari Malik bin Al-Huwairits radhiyallahu ‘anhu, "sesungguhnya ia pernah melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang shalat, apabila beliau dalam rakaat ganjil dari shalatnya, beliau tidak bangkit berdiri sebelum duduk dengan tegak." [HR. Bukhari, no. 823]

Hadits di atas menjadi dalil tentang disyariatkannya duduk istirahat sebentar ketika bangkit dari sujud ke rakaat kedua dan keempat dari rakaat ganjil. Duduk ini disebut duduk istirohah, di mana duduknya hanyalah sebentar, badan dalam keadaan diam sebentar, duduknya seperti duduk antara dua sujud, di dalamnya tidak ada dzikir dan doa.



16. Duduk Diantara Dua Sujud dan Thuma’ninah.

Duduk Iftirasy atau duduk Iq'a

Setelah sujud kita melakukan duduk diantara dua sujud dengan cara duduk iftirasy atau duduk iq'a. 

Biasanya Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam saat duduk diantara dua sujud, Beliau melakukan duduk iftirasy yaitu dengan membentangkan punggung kaki kiri di lantai dan mendudukinya, kemudian telapak kaki kanan ditegakkan dan jari-jarinya menghadap kiblat.

Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu mengatakan:

من سُنَّةِ الصلاةِ ، أنْ تنصِبَ القدمَ اليمنَى ، واستقبالُهُ بأصابعِها القبلةَ ، والجلوسُ على اليسرَى

“Diantara sunnah dalam shalat adalah menegakkan kaki kanan lalu menghadapkan jari-jarinya ke arah kiblat dan duduk di atas kaki kiri.” (HR. An Nasa’i no. 1157, di-shahih-kan Al Albani dalam Shahih An Nasa’i)

Sesekali pula Rasulullah shalallahu alaihi wassalam saat duduk diantara dua sujud beliau melakukan duduk iq'a yaitu dengan cara menegakkan kedua telapak kaki yang dirapatkan, lalu duduk di atas kedua tumit, dan jari-jari kaki menghadap ke kiblat. Dengan catatan duduk iq'a hanya dilakukan saat duduk diantara dua sujud dan tidak boleh saat duduk tasyahud baik tashayud awal maupun akhir.

Riwayat dari Ibnu Úmar radhiallahu ánhuma menjelaskan :

أنَّه كان إذا رفَعَ رأسَه مِن السَّجدةِ الأولى يقعُدُ على أطرافِ أصابعِه، ويقولُ: إنَّه مِن السنَّةِ

“Bahwasanya beliau jika bangkit dari sujud yang pertama, beliau duduk di atas ujung jari-jari kaki beliau. Dan beliau berkata, “Ini termasuk sunah.” (HR. At-Thabaraani dalam al-Mu’jam al-Awsath no 8752 dan al-Baihaqi dalam As-Sunan al-Kubro no 2843, dan disahihkan oleh al-Baihaqi, adz-Dzahabi, Ibn Hajar dalam at-Talkhiish al-Habiir (1/420), dan dihasankan oleh Al-Albani dalam Ashl Shifat as-Shalaah 2/803)


Membaca Doa

Saat duduk diantara dua sujud kita disunahkan membaca doa. Dari Ibnu ‘Abbas disebutkan do’a duduk antara dua sujud yang dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

رَبِّ اغْفِرْ لِي ، وَارْحَمْنِي ، وَاجْبُرْنِي ، وَارْفَعْنِي ، وَارْزُقْنِي ، وَاهْدِنِي

“ROBBIGHFIRLII WARHAMNII, WAJBURNII, WARFA’NII, WARZUQNII, WAHDINII (artinya: Ya Allah ampunilah aku, rahmatilah aku, perbaikilah keadaanku, tinggikanlah derajatku, berilah rezeki dan petunjuk untukku).” (HR. Ahmad, 1:371. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa haditsnya hasan).



17. Duduk Tahiyat dan Thuma’ninah

Duduk Iftirasy dan Tawaruk

Duduk tahiyat awal dilakukan dengan cara duduk iftirasy, sementara duduk tahiyat akhir dilakukan dengan dua cara yaitu duduk iftirasy dan duduk tawaruk tergantung sholat yang kita kerjakan.

Dari hadits Abu Humaid As-Saidi radhiallahu anhu dia berkata:

فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ.

”Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy). Dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk di atas tanah (duduk tawarruk).”
(HR. Al-Bukhari: 2/828)

Menurut pendapat mayoritas jumhur ulama, seperti Syaikh Bin Baaz (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah 7/17-18 soal no 2232), Syaikh Albani (Ashl sifat sholaat An-Nabiy 3/829 dan Irwaaul Golil 2/23) dan Syaikh Al-Utsaimin (lihat Majmuu' Fataawaa wa Rosaail Syaikh Al-'Utsaimiin 14/159 no 784),  bahwa untuk sholat 2 rakaat yang duduk tasyahud akhirnya adalah iftirasy, adapun kalau lebih dari 2 rakaat seperti maghrib, isya, zhuhur dan ashar maka tasyahud terakhirnya adalah tawarruk. Khusus untuk witir yang 1 rakaat atau 3 rakaat langsung, maka dikhiaskan kepada 2 rakaat yang cuma 1 tasyahud yaitu duduknya iftirasy.


Mengangkat jari telunjuk

Saat tahiyat awal maupun tahiyat akhir kita disunahkan mengangkat jari telunjuk sejak dimulai berdoa tahiyat hingga selesai tahiyat, hal tersebut sesuai penjelasan hadits dibawah ini.

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata:

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا جَلَسَ فِى الصَّلاَةِ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ وَرَفَعَ إِصْبَعَهُ الَّتِى تَلِى الإِبْهَامَ الْيُمْنَى يَدْعُو بِهَا وَيَدُهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ بَاسِطَهَا عَلَيْهِ

“Ketika duduk dalam shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kanannya di paha kanannya, lalu beliau mengangkat jari di samping jari jempol (yaitu jari telunjuk tangan kanan) dan beliau berdoa dengannya. Sedangkan tangan kiri dibentangkan di paha kirinya.” (HR. Tirmidzi no. 294).

Hadits lain dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma,

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إذَا قَعَدَ لِلتَّشَهُّدِ وَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى، وَالْيُمْنَى عَلَى الْيُمْنَى وَعَقَدَ ثَلاَثَةً وَخَمْسِيْنَ، وَأَشَارَ بِإصْبَعِهِ السَّبَّابَةِ. رَوَاهُ مُسْلمٌ.

وَفي رِوَايَةٍ لَهُ: وَقَبَضَ أَصَابِعَهُ كُلَّهَا، وأَشَارَ بِالّتِي تَلِي الإبْهَامَ.

"Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila duduk untuk tasyahud, beliau meletakkan tangannya yang kiri di atas lututnya yang kiri dan tangannya yang kanan di atas lututnya yang kanan, beliau membuat genggaman lima puluh tiga, dan beliau menunjuk dengan jari telunjuknya." (Diriwayatkan oleh Muslim)

Dalam suatu riwayat Muslim yang lain disebutkan, “Beliau menggenggam seluruh jari-jarinya dan menunjuk dengan jari yang ada di sebelah ibu jari.”  [HR. Muslim, no. 680, 115, 116]

Yang dimaksud “genggaman lima puluh tiga” adalah menggenggam jari kelingking dan jari manis pada bagian telapak, lalu membentuk lingkaran antara jari tengah dan jari jempol. Tiga itu dibentuk dengan lingkaran jari tengah dan jempol. Sedangkan lima puluh dibentuk dengan digenggamnya jari kelingking dan jari manis. Itulah cara hisabiyah (perhitungan) menurut orang Arab untuk menyebut genggaman lima puluh tiga.

Adapun kalimat “beliau menggenggam seluruh jari-jarinya dan menunjuk dengan jari yang ada di sebelah ibu jari” adalah empat jari (jari kelingking, jari manis, jari tengah, dan jari jempol) digenggam lalu jari telunjuk memberi isyarat.

Sementara isyarat menggerak-gerakan telunjuk saat berdoa tasyahud hal ini menjadi perselisihan antara ulama, ada yang menggerakan dan ada yang tidak menggerakkan. Akan tetapi apabila kita baca dari hadits diatas kita bisa pahami bahwa Rasulullah hanya memberikan isyarat yaitu dengan mengangkat jari telunjuk dan menunjuk jari yang ada disebelah ibu jari tanpa ada isyarat menggerak-gerakan telunjuknya. Wallahu 'alam bissawab.


Pandangan mata kearah Jari Telunjuk

Ketika tasyahud baik awal maupun akhir, kita dianjurkan mengarahkan pandangan mata ke arah jari telunjuk yang diisyaratkan ketika duduk tasyahud. Dalilnya adalah hadis dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bagaimana cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tasyahud. Dalam keterangan Ibnu Umar itu dinyatakan,

وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ الَّتِى تَلِى الإِبْهَامَ فِى الْقِبْلَةِ وَرَمَى بِبَصَرِهِ إِلَيْهَا

"Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya dan beliau berisyarat dengan jari telunjuk ke arah kiblat, serta mengarahkan pandangan mata kepadanya (telunjuk itu)." (HR. an-Nasai 1160, Ibn Hibban 5/274, Ibn Khuzaimah 719. Al-A’dzami mengatakan: Sanadnya shahih).


Membaca Tasyahud dengan Sirr

Abdullah ibnu Mas ’udz mengatakan, “Merupakan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, tasyahud dibaca secara sirr.” (HR. Abu Dawud no. 986, at-Tirmidzi no. 291, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi)

Al-Imam Tirmidzi rahimahumallah berkata, “Inilah yang diamalkan oleh para ulama.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/179)

An-Nawawi rahimahumallah berkata, “Ulama sepakat disirrkannya bacaan tasyahud dan dibenci membacanya dengan jahr. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Mas’ud.” (al-Majmu’, 3/444)


Bacaan Tasyahud

Bacaan ketika tasyahud awal sama dengan tasyahud akhir. Bacaan tasyahud yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bermacam-macam sehingga memberikan kelapangan kepada umat beliau untuk memilih di antara bacaan-bacaan tersebut. Penulis menjelaskan 1 dari 6 bacaan tasyahud yang Rasulullah baca:

Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu
Lafadznya:

التَّحِيَّاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

“Semua salam/keselamatan milik Allah, demikian pula shalawat (doadoa= pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala) dan ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu wata’ala). Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” (HR. Abu Daud no. 971, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Daud)

Untuk melihat keenam bacaan tasyahud lainnya bisa sobat lihat pada artikel ini: Tashyahud Sesuai Hadits Shahih


Membaca Shalawat setelah Tasyahud

Bacaan shalawat yang dibaca setelah bacaan tasyahud awal dan akhir:

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ

“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa baarokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, semoga berkah tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).” (HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Ka’ab bin ‘Ujroh).

Membaca shalawat inipun sama antara tasyahud awal dan akhir yang sebagian ulama menganggap wajib membaca shalawat ini saat tasyahud awal dan akhir.


Berdoa Perlindungan dari Empat Perkara

Doa perlindungan dari empat perkara ini hendaknya dibaca saat tasyahud akhir baik shalat sendiri maupun shalat berjamaah.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الآخِرِ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Jika salah seorang di antara kalian selesai tasyahud akhir (sebelum salam), mintalah perlindungan pada Allah dari empat hal: (1) siksa neraka jahannam, (2) siksa kubur, (3) penyimpangan ketika hidup dan mati, (4) kejelekan Al Masih Ad Dajjal.” (HR. Muslim no. 588).

Do’a yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan dalam riwayat lain:

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَشَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ

“Allahumma inni a’udzu bika min ‘adzabil qobri, wa ‘adzabin naar, wa fitnatil mahyaa wal mamaat, wa syarri fitnatil masihid dajjal [Ya Allah, aku meminta perlindungan kepada-Mu dari siksa kubur, siksa neraka, penyimpangan ketika hidup dan mati, dan kejelekan Al Masih Ad Dajjal].” (HR. Muslim no. 588)

Sebagian ulama berpendapat wajibnya doa ini. Dari sini, maka yang lebih berhati-hati dari makmum agar tidak salam dari shalat sampai menyempurnakan tasyahud dan bershalawat kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam serta memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal ini.

Maksudnya apabila kita belum selesai membaca doa perlindungan 4 perkara ini sementara imam sudah selesai salam, maka kita hendaknya menyempurnakan doa tersebut baru salam walaupun kita salamnya sedikit terlambat dari imam.

Syekh Ibnu Baz rahimahullah ditanya, “Dalam salam shalat, imam telah salam sementara saya belum menyempurnakan kecuali sedikit sekali dari tahiyat, apakah saya mengulangi shalatku?

Maka beliau menjawab, “Anda harus menyempurnakan tasyahud meskipun anda sedikit terlambat dari imam anda. karena tasyahud akhhir termasuk rukun menurut pendapat terkuat dari para ulama’’. Di dalamnya ada shalawat kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam.

Maka yang wajib anda menyempurnakannya meskipun setelah salamnya imam. Diantaranya juga berlindung kepada Allah dari siksa Jahanan, siksa kubur, fitnah kehidupan dan kematian dan dari fitnah masih Dajjal. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk berlindung dari empat hal ini dalam tasyahud akhir. Dan karena sebagian ahli ilmu berpendapat wajibnya akan hal itu.” Wallahu a’lam. Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, (11/248) 


Berdoa Untuk Tetap Berdzikir, Bersyukur dan Beribadah

Berdoa agar kita diberikan Allah untuk tetap berdzikir, bersyukur dan beribadah ini dibaca pada tasyahud akhir dan hendaknya saat shalat sendiri karena sifat doanya untuk diri sendiri. Apabila imam belum selesai salam kita diperbolehkan membaca doa ini, tapi apabila imam sudah salam maka hendaknya kita ikut imam salam.

اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

"Allahumma a-’inniy ’ala dzikrika wa syukrika wa husni ’ibaadatika."
“Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, serta beribadah dengan baik kepada-Mu.” (HR. Abu Dawud no.1522, an-Nasa-i III/53, Ahmad V/245 dan al-Hakim (I/273 dan III/273)) dan dishahihkannya, juga disepakati oleh adz-Dzahabi, yang mana kedudukan hadits itu seperti yang dikatakan oleh keduanya, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan wasiat kepada Mu’adz agar dia mengucapkannya di setiap akhir shalat (bukan setelah sholat). Lebih tepatnya setelah bacaan tasyahud akhir sebelum salam.


Berdoa yang kita inginkan

Dalam hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَعَذَابِ الْقَبْرِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ثُمَّ يَدْعُو لِنَفْسِهِ بِمَا بَدَا لَهُ
“Jika salah seorang di antara kalian bertasyahud, maka mintalah perlindungan pada Allah dari empat perkara yaitu dari siksa Jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati dan dari kejelekan Al Masih Ad Dajjal, kemudian hendaklah ia berdoa untuk dirinya sendiri dengan doa apa saja yang ia inginkan.” (HR. An Nasai no. 1310. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dengan catatan berdoa setelah tasyahud hendaknya berdoa menggunakan bahasa Arab yang diambil dari Al Qur'an atau hadits shahih sama halnya ketika berdoa saat sujud diatas. 

Berdoa sesuai keinginan setelah tasyahud inipun sama halnya dengan berdoa saat sujud hendaknya dilakukan saat shalat sendirian, apabila kita bermakmum maka sebaiknya ikuti imam, dan tidak diperbolehkan imam sudah selesai salam akan tapi kita masih terus berdoa.



18. Memberi Salam

Bacaan Salam

Salam yang statusnya rukun wajib shalat adalah salam pertama, sedangkan salam kedua hukumnya sunah. Jadi salam di akhir shalat boleh kita ucapkan 2 kali dan boleh juga sekali. Salam sebaiknya diucapkan secara jahar atau minimal terdengar oleh diri sendiri. 

Bacaan salam 2 kali bisa diucapkan dengan bacaan: "Assalamu 'alaikum warrahmatullahi" baik salam pertama (menoleh ke kanan) maupun salam kedua (menoleh ke kiri). Sementara salam sekali boleh hanya diucapkan dengan "Assalamu 'alaikum" dengan menoleh ke kanan.

Untuk tambahan ucapan "Wabarakatuh" pada salam pertama yang diriwayatkan oleh Abu Dawud No. 997, hal ini diperselisihkan oleh para ulama karena tidak ada asalnya, karena nampaknya tambahan ini terselipkan dari naskah yang lain bukan dari riwayat tersebut. Andaipun tambahan ini ada dalam riwayat tersebut (di naskahnya Abu Daud) maka ini tambahan yang syadz (janggal) (Sifatu Shalatin Nabi, 147).

Berikut hadits yang shahih dari Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu:

أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان يُسلِّمُ عن يمينِه وعن يسارِه: السَّلامُ عليكم ورحمةُ اللهِ، السَّلامُ عليكم ورحمةُ اللهِ حتَّى يُرَى بَياضُ خَدِّه

“Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam biasanya salam ke kanan dan ke kirinya dengan ucapan: as salaamu ‘alaikum warahmatullah (ke kanan), as salaamu ‘alaikum warahmatullah (ke kiri), hingga terlihat putihnya pipi beliau.” (HR. Abu Daud no. 996, Ibnu Majah no. 914, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibnu Majah)

Dari Ibnu Umar radhiallahu’anhu juga ia berkata:

يقول : السلام عليكم ورحمة الله عن يمينه ، السلام عليكم ورحمة الله عن يساره

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika salam mengucapkan: assalamu’alaikum warahmatullah ke kanan dan assalamu’alaikum warahmatullah ke kiri” (HR. An Nasai no. 1319, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasai).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan salam sekali. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أن النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كان يسلم تسليمة واحدة

“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan salam sekali.” (HR. Baihaqi dan dishahihkan al-Albani).

Aisyah menceritakan tata cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengangkat suaranya saat salam sehingga membuat Aisyah terbangun,

ثم يسلم تسليمة واحدة، السلام عليكم، يرفع بها صوته، حتى يوقظنا

”Kemudian beliau salam sekali, mengucapkan ’Assalamu alaikum’ dengan mengangkat suaranya, sehingga membangunkan kami.” (HR. Ahmad dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).


Cara Menoleh

Saat menoleh setelah selesai tasyahud akhir, shalawat dan berdoa, hendaknya menolehkan muka dengan berputar 90 derajat ke kanan hingga pipi kanan terlihat oleh jamaah dibelakang sambil mengucap salam pertama dan berputar 180 derajat ke kiri hingga pipi kiri terlihat oleh jamaah dibelakang sambil mengucap salam kedua. Tanpa ada jeda kembali kearah depan antara menoleh ke kanan dan kiri.

Juga dalam hadis dari Amir bin Sa’ad radhiallahu’anhu:

كنتُ أرى رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم يُسلِّمُ عن يمينِه، وعن يسارِه، حتَّى أرى بَياضَ خَدِّه

“Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam salam ke kanan dan ke kiri, hingga aku melihat putihnya pipi beliau.” (HR. Muslim no. 582)


Kesalahan saat Salam

Catatan penting yang merupakan kesalahan saat salam yaitu ketika menoleh ke kanan tidak diperbolehkan menggerakkan tangan ke kanan begitupun ketika menoleh ke kiri tidak diperbolehkan menggerakkan tangan ke kiri. Hal ini dilarang Rasulullah dalam hadits dibawah ini:

Sahabat Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu bercerita,

كُنَّا إِذَا صَلَّيْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قُلْنَا السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللَّهِ . وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى الْجَانِبَيْنِ

”Dulu ketika kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami mengucapkan ”Assalamu alaikum wa rahmatullah – Assalamu alaikum wa rahmatullah” sambil berisyarat dengan kedua kanan ke samping kanan dan kiri.

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,

عَلَامَ تُومِئُونَ بِأَيْدِيكُمْ كَأَنَّهَا أَذْنَابُ خَيْلٍ شُمْسٍ؟ إِنَّمَا يَكْفِي أَحَدَكُمْ أَنْ يَضَعَ يَدَهُ عَلَى فَخِذِهِ ثُمَّ يُسَلِّمُ عَلَى أَخِيهِ مَنْ عَلَى يَمِينِهِ، وَشِمَالِهِ

”Mengapa kalian mengangkat tangan kalian, seperti kuda yang suka lari? Kalian cukup letakkan tangan kalian di pahanya kemudian salam menoleh ke saudaranya yang di samping kanan dan kirinya.” (HR. Muslim 998)


Demikianlah tata cara shalat yang diajarkan Rasulullah shalallahu 'alaihi wassalam dan diikuti oleh para sahabat tabi'it dan tabi'in. Semoga kita bisa perbaiki tata cara shalat kita sesuai yang diajarkan Rasulullah tersebut. 

Apabila ada dalil yang sekiranya lebih shahih dan sharih yang menjelaskan cara shalat Rasulullah menurut sobat blogger, maka silahkan ikuti dalil tersebut. Karena penulis juga manusia yang tak luput dari kekurangan dan kesalahan. Wallahu 'alam bissawab.

Wassalamualaikum warrahmatulahi wabarakatuhu.
DK


Sumber:

No comments:

Post a Comment