Assalamualaikum Warrahmatullahi,
Hal sangat penting dan sering terjadi dalam praktik kehidupan rumah tangga: Apakah tanggung jawab seorang suami terhadap keluarganya lebih didahulukan untuk membantu saudara kandungnya sendiri (yang membutuhkan), dibandingkan dengan membantu keluarga istrinya (yang juga mungkin sedang butuh atau tidak mampu)?
Mari kita bahas secara syariat Islam berdasarkan Al-Qur’an, hadits shahih, dan juga kaidah fiqih tentang nafkah dan prioritas keluarga.
1. Tanggung Jawab Nafkah dalam Islam
Prinsip Dasar:
Nafkah adalah kewajiban terhadap orang-orang yang berada dalam tanggungan seseorang, dan ini dimulai dari:
- Istri
- Anak-anak
- Orang tua (ayah/ibu)
- Kerabat ahli waris yang menjadi tanggungannya (seperti saudara kandung miskin atau anak yatim dari saudara)
Fatwa Lajna Da’imah: “نفقة الأخ المحتاج” (Nafkah Saudara Laki-laki yang Membutuhkan). Lajna menyatakan:
Nafkah wajib diberikan oleh seseorang kepada kerabat dekat yang membutuhkan, jika tiga syarat terpenuhi:
- Saudara tersebut fakir — tidak punya uang atau penghasilan yang memadai.
- Pemberi nafkah memiliki kelebihan penghasilan setelah memenuhi kebutuhan sendiri dan keluarganya yang utama.
- Orang yang memberi nafkah merupakan ahli waris bagi orang yang dinafkahi; jika orang yang memberi nafkah merupakan kerabat yang bukan ahli waris, maka nafkah itu tidak wajib baginya.
Lajna menegaskan bahwa ketika semua syarat ini terpenuhi, maka suami berkewajiban menafkahi saudara laki-laki (atau saudara perempuan) kandungnya yang fakir, selama dia ahli waris dan tidak mampu. Jika ada saudara-saudara yang berasal dari garis ayah, maka nafkah diberikan sesuai urutan kadar waris.
Perlu digaris bawahi bahwa siapa saja kerabat karena pernikahan yang tidak termasuk ahli waris diantaranya yaitu:
- Mertua (ayah/ibu dari pasangan)
- Menantu (suami/istri dari anak)
- Saudara ipar
- Anak tiri
- Keponakan dari istri/suami
2. Dalil dari Al-Qur’an
➤ Surat Al-Baqarah Ayat 177
۞ لَّيْسَ ٱلْبِرَّ أَن تُوَلُّوا۟ وُجُوهَكُمْ قِبَلَ ٱلْمَشْرِقِ وَٱلْمَغْرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلْبِرَّ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَٱلْمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلْكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّۦنَ وَءَاتَى ٱلْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِى ٱلْقُرْبَىٰ وَٱلْيَتَٰمَىٰ وَٱلْمَسَٰكِينَ وَٱبْنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَٰهَدُوا۟ ۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِى ٱلْبَأْسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلْبَأْسِ ۗ أُو۟لَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُوا۟ ۖ وَأُو۟لَٰٓئِكَ هُمُ ٱلْمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang ayat ini bahwa kebajikan bukanlah hanya dengan kalian shalat dan beramal. Ini terjadi ketika berpindah dari Makkah ke Madinah, dan turunlah hukum-hukum dan batas-batas. Allah memerintahkan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dan mengamalkannya. Akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya salah satunya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin. Artinya seorang mukmin tidak hanya sholat dan beramal, melainkan juga harus memberikan harta yang dicintainya salah satunya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Sia-sialah sholat seorang mukmin tatkala di dekatnya ada anak yatim dan orang miskin yang tidak dinafkahinya.
➤ QS. Al-Baqarah: 233
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
"Dan kewajiban ayah adalah memberi makan dan pakaian kepada para ibu (anak-anaknya) dengan cara yang patut."
Ini menunjukkan bahwa nafkah adalah kewajiban ayah kepada keluarga inti, khususnya istri dan anak-anak.
➤ Surah An-Nisa ayat 36:
وَاعْبُدُوا اللَّهَ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا ۖ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۖ وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنْبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ مُخْتَالًا فَخُورًا
"Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang sombong dan membanggakan diri."
Ayat ini menegaskan pentingnya berbuat baik kepada kerabat, yang dalam tafsir mencakup membantu dengan nafkah jika mereka membutuhkan.
3. Hadits Shahih: Prioritas Nafkah
Hadits dari Jabir bin Abdullah:
ابدأ بنفسك، فتصدّق عليها، فإن فضل شيء فلأهلك، فإن فضل عن أهلك فلذي قرابتك، فإن فضل عن ذي قرابتك فهكذا وهكذا
“Mulailah dari dirimu sendiri, jika ada kelebihan maka untuk keluargamu, jika masih ada kelebihan maka untuk kerabatmu, jika masih ada kelebihan maka kepada orang lain.”
(HR. Muslim no. 997)
Ini urutan nafkah:
- Diri sendiri
- Istri & anak
- Kerabat dekat (ayah/ibu, saudara kandung)
- Masyarakat umum
4. Kaidah Fikih: Siapa yang Lebih Wajib Dibantu?
Dalam kasus diatas:
✅ Saudara suami:
Kakak laki-laki sudah meninggal → istri dan anaknya (janda + anak yatim)
Adik perempuan miskin, suaminya kerja tidak tetap → masuk kategori fakir/miskin dan kerabat kandung
✅ Saudara istri:
Adik perempuan mampu dan bekerja → tidak menjadi tanggungan suami, karena bukan mahram dan bukan tanggung jawab nafkah suami
➡️ Kesimpulan kaidah:
Keluarga kandung suami yang tidak mampu lebih berhak dibantu lebih dulu dibanding keluarga istri, apalagi jika keluarga istri sudah mampu atau tidak masuk tanggungannya.
5. Kesimpulan Hukum
1. Suami lebih wajib mendahulukan nafkah kepada kerabatnya sendiri yang tidak mampu, seperti:
- Janda dari kakaknya (terutama jika tidak ada yang menanggung),
- Anak yatim dari kakaknya,
- Adik perempuan kandung yang miskin
2. Saudara istri bukan tanggungan suami dalam Islam. Jika ia membantu, itu hanya bentuk sedekah atau kebaikan ekstra, bukan kewajiban.
Penjelasan di atas berasal dari dalil-dalil shahih dan kaidah fikih yang sudah dibahas oleh para ulama, dan sobat blogger bisa menjadikannya referensi resmi sebagai petunjuk, baik dalam bentuk Al-Qur’an, hadits, maupun fatwa ulama.
Wassalam,
DK
No comments:
Post a Comment