Sejarah Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan Budha yang berdiri pada abad ke-7 dibuktikan dengan adanya prasasti kedukan Bukit di Palembang (682). Sriwijaya menjadi salah satu kerajaan yang kuat di Pulau Sumatera. Nama Sriwijaya berasal dari bahasa Sanskerta berupa "Sri" yang artinya bercahaya dan "Wijaya" berarti kemenangan sehingga dapat diartikan dengan kemenangan yang bercahaya atau gemilang.
Pada catatan perjalanan I-Tsing, pendeta Tiongkok yang pernah mengunjungi Sriwijaya pada tahun 671 selama 6 bulan menerangkan bahwa pusat Kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus daerah jambi (Provinsi Riau sekarang). Kerajaan Sriwijaya dipimpin oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa sebagai raja pertama.
Candi Muara Takus dari jauh |
Candi Muara Takus dari dekat |
Kejayaan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya berjaya pada abad 9-10 Masehi dengan menguasai jalur perdagangan maritim di Asia Tenggara. Sriwijaya telah menguasai hampir seluruh kerajaan Asia Tenggara, diantaranya, Jawa, Sumatera, Semenanjung Malaya, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Filipina. Sriwijaya menjadi pengendali rute perdaganagan lokal yang mengenakaan bea cukai kepadaa setiap kapal yang lewat. Hal ini karena Sriwijaya menjadi penguasa atas Selat Sunda dan Malaka. Selain itu, Kerajaan Sriwijaya juga mengumpulkan kekayaannya dari jasa pelabuhan dan gudang perdagangan yang melayani pasar Tiongkok dan India.
Perkembangan Kemaharajaan Sriwijaya, bermula di Palembang pada abad VII, menyebar ke sebagian besar Sumatera, Semenanjung Malaya, Jawa, Kamboja, hingga surut sebagai Kerajaan Malayu Dharmasraya pada abad XIII. |
Keruntuhan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya mengalami keruntuhan ketika Raja Rajendra Chola, penguasa Kerajaan Cholamandala menyerang dua kali pada tahun 1007 dan 1023 M yang berhasil merebut bandar-bandar kota Sriwijaya. Peperangan ini disebabkan karena Kerajaan Sriwijaya dan Kerajaan Cholamandala bersaing pada bidang perdagangan dan pelayaran. Dengan demikian, tujuan dari serangan Kerajaan Cholamandala tidak untuk menjajah melainkan untuk meruntuhkan armada Sriwijaya. Hal ini menyebabkan ekonomi Kerajaan Sriwijaya semakin melemah karena para pedagang yang biasanya berdagang di Kerajaan Sriwijaya terus berkurang. Tidak hanya itu, kekuatan militer Sriwijaya juga semakin melemah sehingga banyak daerah bawahannya yang melepaskan diri. Akhirnya, Kerajaan Sriwijaya runtuh pada abad ke-13.
Raja-raja Kerajaan Sriwijaya
Tahun | Nama Raja | Ibukota | Prasasti, catatan pengiriman utusan ke Tiongkok serta peristiwa |
---|---|---|---|
671 | Dapunta Hyang atau Sri Jayanasa | Srivijaya
Shih-li-fo-shih
| Catatan perjalanan I Tsing pada tahun 671-685, Penaklukan Malayu, penaklukan Jawa
Prasasti Kedukan Bukit (683), Talang Tuo (684), Kota Kapur (686), Karang Brahi dan Palas Pasemah
|
702 | Sri Indrawarman
Shih-li-t-'o-pa-mo
| Sriwijaya
Shih-li-fo-shih
| Utusan ke Tiongkok 702-716, 724 |
728 | Rudra Vikraman
Lieou-t'eng-wei-kong
| Sriwijaya
Shih-li-fo-shih
| Utusan ke Tiongkok 728-742 |
743-774 | Belum ada berita pada periode ini | ||
775 | Sri Maharaja | Sriwijaya | Prasasti Ligor B tahun 775 di Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand dan menaklukkan Kamboja |
Pindah ke Jawa (Jawa Tengah atau Yogyakarta) | Wangsa Sailendra mengantikan Wangsa Sanjaya | ||
778 | Dharanindra atau Rakai Panangkaran | Jawa | Prasasti Kelurak 782 di sebelah utara kompleks Candi Prambanan
Prasasti Kalasan tahun 778 di Candi Kalasan
|
782 | Samaragrawira atau Rakai Warak | Jawa | Prasasti Nalanda dan prasasti Mantyasih tahun 907 |
792 | Samaratungga atau Rakai Garung | Jawa | Prasasti Karang Tengah tahun 824,
825 menyelesaikan pembangunan candi Borobudur
|
840 | Kebangkitan Wangsa Sanjaya, Rakai Pikatan | ||
856 | Balaputradewa | Suwarnadwipa | Kehilangan kekuasaan di Jawa, dan kembali ke Suwarnadwipa
Prasasti Nalanda tahun 860, India
|
861-959 | Belum ada berita pada periode ini | ||
960 | Sri Udayaditya Warmadewa
Se-li-hou-ta-hia-li-tan
| Sriwijaya
San-fo-ts'i
| Utusan ke Tiongkok 960, & 962 |
980 | Utusan ke Tiongkok 980 & 983: dengan raja, Hie-tche (Haji) | ||
988 | Sri Cudamani Warmadewa
Se-li-chu-la-wu-ni-fu-ma-tian-hwa
| Sriwijaya
Malayagiri (Suwarnadwipa) San-fo-ts'i
| 990 Jawa menyerang Sriwijaya, Catatan Atiśa,
Utusan ke Tiongkok 988-992-1003,
pembangunan candi untuk kaisar Cina yang diberi nama cheng tien wan shou |
1008 | Sri Mara-Vijayottunggawarman
Se-li-ma-la-pi
| San-fo-ts'i
Kataha
| Prasasti Leiden & utusan ke Tiongkok 1008 |
1017 | Utusan San-fo-ts'i ke Tiongkok 1017: dengan raja, Ha-ch'i-su-wa-ch'a-p'u (Haji Sumatrabhumi (?)); gelar haji biasanya untuk raja bawahan | ||
1025 | Sangrama-Vijayottunggawarman | Sriwijaya
Kadaram
| Diserang oleh Rajendra Chola I dan menjadi tawanan
Prasasti Tanjore bertarikh 1030 pada candi Rajaraja, Tanjore, India
|
1030 | Dibawah Dinasti Chola dari Koromandel | ||
1079 | Utusan San-fo-ts'i dengan raja Kulothunga Chola I (Ti-hua-ka-lo) ke Tiongkok 1079 membantu memperbaiki candi Tien Ching di Kuang Cho (dekat Kanton) | ||
1082 | Utusan San-fo-ts'i dari Kien-pi (Jambi) ke Tiongkok 1082 dan 1088 | ||
1089-1177 | Belum ada berita | ||
1178 | Laporan Chou-Ju-Kua dalam buku Chu-fan-chi berisi daftar koloni San-fo-ts'i | ||
1183 | Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa | Dharmasraya | Dibawah Dinasti Mauli, Kerajaan Melayu, Prasasti Grahi tahun 1183 di selatanThailand |
Peninggalan Kerajaan Sriwijaya
Kerajaan Sriwijaya meninggalkan beberapa prasasti, diantaranya :
1. Prasasti Kedukan Bukit
Prasati ini bertuliskan tahun 605 SM/683 M ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Isi dari prasasti tersebut yakni ekspansi 8 hari yang dilakukan Dapunta Hyang dengan 20.000 tentara yang berhasil menaklukkan beberapa daerah sehingga Sriwijaya menjadi makmur dan untuk mendirikan wanua (tempat tinggal) Sriwijaya.
Prasasti Kedukan Bukit
2. Prasasti Talang Tuo
Prasasti yang bertuliskan tahun 606 SM/684 M ini ditemukan pada tanggal 17 November 1920 di kaki bukit siguntang sebelah barat Palembang oleh Louis Constant Westenenk. Isinya tentang Dapunta Hyang Sri Jayanaga yang membuat Taman Sriksetra demi kemakmuran semua makhluk.
Prasasti talang Tuo |
3. Prasasti Kota Kapur
Prasasti ini bertuliskan tahun 608 SM/686 M yang ditemukan di Bangka oleh J.K Van Der Meulen pada bulan Desember 1892. Isinya mengenai permohonan kepada Dewa untuk keselamatan Kerajaan Sriwijaya beserta rakyatnya.
Prasasti Kota Kapur
4. Prasasti Karang Birahi
Prasasti yang ditemukan di Jambi ini isinya sama dengan prasasti Kota Kapur tentang permohonan keselamatan. Prasasti Karang Birahi ini bertuliskan tahun 608 SM/686 M ditemukan pada tahun 1904.
Prasasti Karang Birahi |
5. Prasasti Talaga Batu
Prasasti ini ditemukan di daerah Telaga Batu, Sabokingking, Kecamatan Ilir Timur II, Palembang, tahun 1918, namun tidak ada angka tahunnya namun diperkirakan berasal dari abad ke-7 Masehi ini berbentuk unik, yaitu lempengan batu selebar 1,4 meter yang bagian atasnya dihiasi tujuh kepala ular kobra. Bagian bawah lempengan dilengkapi cerat untuk mengalirkan air saat berlangsung upacara. Selain berisi kutukan, prasasti ini mencantumkan perangkat birokrasi Kerajaan Sriwijaya secara lengkap.
Prasasti Talang Batu |
6. Prasasti Palas di Pasemah
Prasasti Palas Pasemah ini telah diketahui keberadaannya pada tahun 1958 di Desa Palas Pasemah dekat Kalianda Kabupaten Lampung Selatan. Prasasti ini tidak berangka tahun, namun berdasarkan paleografinya dapat pada akhir abad ke-7. Prasasti ini ditulis dalam 13 baris, berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu kuno. Isi prasasti ini mula-mula dibahas oleh Prof. Dr. Buchri dalam artikel: Buchri “An Old Malay Inscription of Srivijaya at Palas Pasemah (South Lampung)”. Praseminar penelitian Sriwijaya, pusat penelitian purbakala dan peninggalan nasional, Jakarta 1979. Prasasti batu bertulis ini merupakan salah satu dari prasasti-prasasti persumpahan Sriwijaya, yaitu prasasti-prasasti yang berisikan kutukan dan ancaman bagi mereka yang menentang atau tidak mau berbakti kepada raja Sriwijaya.
Prasasti Palasemah-1 |
Prasasti Palasemah-2 |
7. Prasasti Ligor
Prasasti Ligor (Malaysia). Tempat ditemukan prasasti ini adalah di tanah genting Kra daerah Ligor Semenanjung Malaya. Berangka tahun 679 SM/ 775 M Masehi. Isinya menerangkan bahwa Kerajaan Sriwijaya (Sumatera) mendirikan sebuah pangkalan di Semenanjung Malaya, daerah Ligor untuk mengawasi pelayaran perdagangan di Selat Malaka. Juga menceritakan bahwa Sriwijaya di bawah kekuasaan Darmaseta
Prasasti Leiden merupakan manuskrip yang ditulis pada lempengan tembaga berangka tahun 1005 yang terdiri dari bahasa Sanskerta dan bahasa Tamil. Prasasti ini dinamakan sesuai dengan tempat berada sekarang yaitu pada KITLV Leiden, Belanda.
Prasasti Leiden |
9. Prasasti Hujung Langit
Prasasti ini dikenal juga dengan nama Prasasti Bawang, adalah sebuah prasasti batu yang ditemukan di desa Haur Kuning, Lampung, Indonesia. Aksara yang digunakan di prasasti ini adalah Pallawa dengan bahasa Melayu Kuna. Tulisan pada prasasti ini sudah sangat aus, namun masih teridentifikasi angka tahunnya 919 Saka atau 997 Masehi.
Prasasti Hujung Langit |
10. Prasasti Batu Bedil
Prasasti ini ditemukan di Desa Batu Bedil Kecamatan Pulau Punggung Kabupaten Tanggamus. Prasasti dipahat pada sebuah batu berukuran tinggi 175 cm, lebar 60 cm, dan tebal 45 cm. Prasasti ditulis sebanyak 10 barisdengan huruf jawa kuno akhir abad ke-9 atau awal abad ke-10, bebahasa sansekerta dan ditulis dengan huruf berukuran cukup besar (tinggi huruf sekitar 5 cm). Namun, karena batunya sangat usang, terutama dibagian tengah maka tidak seluruhnya dapat dibaca. Dari beberapa baris yang dapat diketahui isinya merupakan semacam doa-doa yang bersifat Budhis.
Prasasti Batu Bedil |
11. Prasasti Tanjung Raya I
Batu tertulis berbentuk lonjong berukuran panjang 237 cm, lebar di bagian tengah 180 cm dan tebal 45 cm. Prasasti ini ditemukan pada tahun 1970 di Desa Tanjung Raya I, Kecamatan Sukau Lampung Barat. Prasasti dituliskan pada bagian permukaan batu yang keadaannya sudah aus dan rusak, terdiri dari 8 baris dan sulit dibaca namun masih dapat dikenal sebagai huruf Jawa Kuno dari abad ke 10. Pada bagian atas terdapat sebuah gambar berupa sebuah bejana dengan tepian yang melengkung keluar sehelai daun. Mengingat sulitnya pembacaan prasasti ini maka isinya belum diketahui.
Prasasti Tanjung Raya I |
12. Prasasti Nalanda (India).
Prasasti Nalanda ditemukan di Nalanda bagian Bihar India berasal dari abad ke-9 Masehi. Prasasti ini menceritakan tentang pembangunan wihara di India oleh Raja Balaputradewa (Raja Sriwijaya) untuk kepentingan para peziarah dari Sriwijaya. Selain itu disebutkan juga kakek raja Balaputra Dewa yang dikenal sebagai raja Jawa yang bergelar Syailendrawamsatilaka Sri Wirawairimathana (Permata Syailendra Pembunuh Musuh-musuh yang Gagah Perwira).
Prasasti ini ditemukan pada bulan April 1992 oleh penggali pasir yang bernama Rizal di pinggir sungai Musi, depan Pemakaman Kawah Tekurep (pemakaman Kesultanan Palembang), Jalan Blabak, 3 Ilir, kawasan Pelabuhan Boom Baru, Palembang. Rizal adalah teman Aminta, pegawai Museum Balaputra Dewa, yang melaporkan penemuan benda bersejarah itu kepada Kepala Museum Balaputra Dewa, Syamsir Alam, sehingga prasasti itu dapat diselamatkan. Diduga situs Kawah Tekurep sebelum dijadikan pemakaman keluarga Kesultanan Palembang, merupakan situs kerajaan Sriwijaya.
Prasasti itu, waktu ditemukan kondisinya dalam keadaan pecah dua, merupakan sebongkah batu kali yang berbentuk bulat-lonjong berwarna kemerah-merahan dengan tinggi 47 cm dan lebar 32,5 cm. Berdasarkan palaeografinya, prasasti ini diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-7 Masehi, berhuruf Pallawa, dan berbahasa Melayu Kuno. Berisi tentang sumpah atau kutukan (spatha) kepada siapa saja yang tidak tunduk kepada raja sriwijaya (baris ke-1 sampai ke-7), sedangkan baris ke-8 sampai dengan ke-11 berisi doa keselamatan, agar rakyat dan negara bebas dari malapetaka, makmur dan sejahtera. Prasasti ini disimpan di Museum Negeri Balaputra Dewa, Provinsi Sumatra Selatan.
Prasasti Boom Baru |
Bukti awal mengenai keberadaan kerajaan ini berasal dari abad ke-7; seorang pendeta Tiongkok, I-Tsing, menulis bahwa ia mengunjungi Sriwijaya tahun 671 dan tinggal selama 6 bulan. Prasasti yang paling tua mengenai Sriwijaya juga berada pada abad ke-7, yaitu prasasti Kedukan Bukit di Palembang, bertarikh 682. Kemunduran pengaruh Sriwijaya terhadap daerah bawahannya mulai menyusut dikarenakan beberapa peperangan diantaranya serangan dari raja Dharmawangsa dari Jawa di tahun 990, dan tahun 1025 serangan Rajendra Chola I dari Cholamandala , selanjutnya tahun 1183 kekuasaan Sriwijaya dibawah kendali kerajaan Dharmasraya.
Sriwijaya menjadi simbol kebesaran Sumatera awal, dan kerajaan besar Nusantara selain Majapahit di Jawa Timur. Pada abad ke-20, kedua kerajaan tersebut menjadi referensi oleh kaum nasionalis untuk menunjukkan bahwa Indonesia merupakan satu kesatuan negara sebelelum kolonialisme Belanda. Sekitar tahun 1993, Pierre-Yves Manguin melakukan observasi dan berpendapat bahwa pusat Sriwijaya berada di Sungai Musi antara Bukit Seguntang dan Sabokingking (terletak di provinsi Sumatera Selatan sekarang). Namun sebelumnya Soekmono berpendapat bahwa pusat Sriwijaya terletak pada kawasan sehiliran Batang Hari, antara Muara Sabak sampai ke Muara Tembesi (di provinsi Jambi sekarang), dengan catatan Malayu tidak di kawasan tersebut, jika Malayu pada kawasan tersebut, ia cendrung kepada pendapat Moens, yang sebelumnya juga telah berpendapat bahwa letak dari pusat kerajaan Sriwijaya berada pada kawasan Candi Muara Takus (provinsi Riau sekarang), dengan asumsi petunjuk arah perjalanan dalam catatan I-Tsing, serta hal ini dapat juga dikaitkan dengan berita tentang pembangunan candi yang dipersembahkan oleh raja Sriwijaya Sri Cudamaniwarmadewa tahun 1003 kepada kaisar Cina (Candi Bungsu, salah satu bagian dari candi yang terletak di Muara Takus). Namun yang pasti pada masa penaklukan oleh Rajendra Chola I dari kerajaan Cholamandala, berdasarkan prasasti Tanjore, Sriwijaya telah beribukota di Kadaram (Kedah sekarang).
Arca Buddha langgam Amarawati setinggi 2,77 meter, ditemukan di situsBukit Seguntang, Palembang, abad ke-7 sampai ke-8 M |
Kekaisaran Sriwijaya telah ada sejak 671 sesuai dengan catatan I-Tsing, dari prasasti Kedukan Bukit pada tahun 682 di diketahui imperium ini di bawah kepemimpinan Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Di abad ke-7 ini, orang Tionghoa mencatat bahwa terdapat dua kerajaan yaitu Malayu dan Kedah menjadi bagian kemaharajaan Sriwijaya.
Prasasti Kedukan Bukit ditemukan oleh M. Batenburg pada tanggal 29 November 1920 di Kampung Kedukan Bukit, Kelurahan 35 Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, di tepi Sungai Tatang yang mengalir ke Sungai Musi. Prasasti ini berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm, ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuna. Prasasti ini sekarang disimpan di Museum Nasional Indonesia dengan nomor D.146.
Berdasarkan Prasasti Kota Kapur yang berangka tahun 682 dan ditemukan di pulau Bangka, pada akhir abad ke-7 kemaharajaan ini telah menguasai bagian selatan Sumatera pulau Bangka dan Belitung hingga Lampung. Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer utk menghukum Bhumi Jawa yang tak berbakti kepada Sriwijaya, peristiwa ini bersamaan dengan runtuhnya Tarumanegara di Jawa Barat dan Ho-ling (Kalingga) di Jawa Tengah yang kemungkinan besar akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka Selat Sunda Laut China Selatan Laut Jawa dan Selat Karimata.
Prasasti Kota Kapur adalah temuan arkeologi prasasti Sriwijaya yang ditemukan di pesisir barat Pulau Bangka. Prasasti ini dinamakan menurut tempat penemuannya yaitu sebuah dusun kecil yang bernama "Kotakapur". Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuna, serta merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu. Prasasti ini ditemukan oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892.
Prasasti ini pertama kali dianalisis oleh H. Kern, seorang ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada di Batavia. Pada mulanya ia menganggap "Śrīwijaya" adalah nama seorang raja. George Coedes lah yang kemudian berjasa mengungkapkan bahwa Śrīwijaya adalah nama sebuah kerajaan besar di Sumatra pada abad ke-7 Masehi, yaitu kerajaan yang kuat dan pernah menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaysia, dan Thailand bagian selatan.
Inilah isi lengkap dari Prasasti Kota Kapur, seperti yang ditranskripsikan dan ditejemahkan oleh Coedes.
Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak.
Pada masa pemerintahan raja Samaratungga pada tahun 792 hingga 835 masehi, penguasaan Sriwijaya di tanah Jawa diperkuat. Pada masa inilah candi Borobudur yang saat ini disebut sebagai warisan budaya dunia dibangun. Kerajaan Sriwijaya memang kerajaan Budha yang menjadi pusat pengajaran Budha Vajrayana. Banyak peziarah dan sarjana dari berbagai negara Asia berkunjung ke Sriwijaya, salah satunya pendeta I-Tsing dari Tiongkok yang menulis bahwa Sriwijaya adalah rumah bagi sarjana Budha.
Candi Borobudur, pembangunannya diselesaikan pada masa Samaratungga |
Kerajaan Sriwijaya menjalin hubungan baik dengan kerajaan-kerajaan di luar Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti Kerajaan Pala (Nalanda) di Benggala dan Kerajaan Cholamandala di pantai timur India Selatan.
Model kapal Sriwijaya tahun 800-an Masehi yang terdapat pada candi Borobudur. |
Kemudian hubungan Sriwijaya dengan kerajaan Cholamandala pada awalnya hubungan kedua kerajaan itu amat baik. Raja
Sriwijaya yang bernama Sanggrama Wijayattunggawarman mendirikan satu biara (1006 M) di Kerajaan Chola untuk tempat tinggal para bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya.
Persahabatan kedua kerajaan berubah menjadi permusuhan akibat persaingan di bidang pelayaran dan perdagangan. Raja Rajendra Chola yang berkuasa di Kerajaan Cholamandala melakukan dua kali serangan ke Kerajaan Sriwijaya. Serangan pertama tahun 1007 M mengalami kegagalan.
Namun, serangan kedua (1023/1024 M) berhasil merebut kota dan bandar-bandar penting Kerajaan Sriwijaya/ bahkan Raja Sanggrama Wijayattunggawarman berhasil ditawan. Serangan itu tidak mengakibatkan terjadinya penjajahan, karena tujuannya hanya membinasakan armada Kerajaan Sriwijaya. Jika kekuatan Kerajaan Sriwijaya berhasil ditaklukkan, maka jaringan pelayaran perdagangan di wilayah Asia Tenggara hingga India dapat dikuasai oleh Kerajaan Chola.
Walaupun serangan Kerajaan Chola tidak mematikan Kerajaan Sriwijaya, tetapi untuk sementara kekuatan Sriwijaya lumpuh. Kelumpuhan Kerajaan Sriwijaya merupakan peluang baik bagi Airlangga di Jawa Timur yang dengan cepat menyusun kekuatan angkatan perangnya, baik di darat maupun di laut. Dalam waktu singkat keruntuhan Kerajaan Dharmawangsa dapat ditegakkan kembali, sehingga ketika kekuatan Kerajaan Sriwijaya pulih kembali, di Jawa Timur telah berdiri negara besar dan kuat, sebagai saingannya.
Pada akhir abad ke-13 M, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran. Hal ini disebabkan oleh faktor politik dan ekonomi. Faktor Politik Kedudukan Kerajaan Sriwijaya makin terdesak, karena munculnya kerajaan-kerajaan besar yang juga memiliki kepentingan dalam dunia perdagangan, seperti Kerajaan Siam di sebelah utara. Kerajaan Siam memperluas kekuasaannya ke arah selatan dengan menguasai daerah-daerah di Semenanjung Malaka termasuk Tanah Genting Kra. Jatuhnya Tanah Genting Kra ke dalam kekuasaan Kerajaan Siam mengakibatkan kegiatan pelayaran perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang.
Dari daerah timur, Kerajaan Sriwijaya terdesak oleh perkembangan Kerajaan Singosari, yang pada waktu itu diperintah oleh Raja Kertanegara. Kerajaan Singasari yang bercita-cita menguasai seluruh wilayah Nusantara mulai mengirim ekspedisi ke arah barat yang dikenal dengan istilah Ekspedisi Pamalayu, dipimpin oleh Adityawarman. Dalam ekspedisi ini, Kerajaan Singosari mengadakan pendudukan terhadap Kerajaan Melayu, Pahang, dan Kalimantan, sehingga mengakibatkan kedudukan Kerajaan Sriwijaya makin terdesak.
Faktor Ekonomi Para pedagang yang melakukan aktivitas perdagangan di Kerajaan Sriwijaya semakin berkurang, karena
daerah-daerah strategis yang pernah dikuasai oleh Kerajaan Sriwijaya telah jatuh ke kekuasaan raja-raja sekitarnya. Akibatnya, para pedagang yang melakukan penyeberangan ke Tanah Genting Kra atau yang melakukan kegiatan ke daerah Melayu (sudah dikuasai Kerajaan Singosari) tidak lagi melewati wilayah kekuasaan Sriwijaya. Keadaan seperti ini tentu mengurangi sumber pendapatan kerajaan.
Dengan alasan faktor politik dan ekonomi, maka sejak akhir abad ke-13 M Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan kecil dan wilayahnya terbatas pada daerah Palembang. Kerajaan Sriwijaya yang kecil dan lemah akhirnya dihancurkan oleh Kerajaan Majapahit tahun 1377 M.
Bukti-Bukti Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Nama Sriwijaya sudah terkenal dalam perdagangan internasional. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya berbagai sumber yang menerangkan mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya, seperti di bawah ini.
Dari berita Arab diketahui bahwa pedagang Arab melakukan kegiatan perdagangan di Kerajaan Sriwijaya, bahkan disekitar Sriwijaya ditemukan peninggalan bekas perkampungan orang Arab.
Dari berita India diketahui bahwa Keraaan Sriwijaya pernah menjalin hubungan dengan Kerajaan India, seperti Nalanda dan Colamandala bahkan Kerajaan Nalanda mendirikan prasasti yang menerangkan tentang Sriwijaya.
Dari berita Cina diketahui bahwa para pedagang Cina sering singgah di Kerajaan Sriwijaya sebelum melanjutkan perjalanan ke India dan Arab. Berita Cina juga menyebutkan pada abad ke-7 di Sumatra telah ada beberapa kerajaan, antara lain Kerajaan Tulang Bawang di Sumatra Selatan, Melayu di Jambi, dan Sriwijaya. Keberadaan Kerajaan Sriwijaya ini dapat diperoleh informasinya, misalnya, dari cerita pendeta Buddha dari Tiongkok, I-tsing. Pada tahun 671, Ia berangkat dan Kanton ke India, kemudian singgah terlebih dahulu di Sriwijaya selama enam bulan untuk belajar tata bahasa Sanskerta. Pada tahun 685, dia kembali ke Sriwijaya dan menetap selama empat tahun untuk menerjemahkan berbagai kitab suci Buddha dan bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa. Karena dalam kenyataannya, dia tidak dapat menyelesaikan sendiri pekerjaan itu, maka pada tahun 689, dia pergi ke Kanton untuk mencari pembantu dan segera kembali lagi ke Sriwijaya. Selanjutnya, baru pada tahun 695, I-tsing pulang ke Tiongkok.
Raja-raja yang berhasil diketahui pernah memerintah Kerajaan Sriwijaya diantaranya sebagai berikut:
Raja Dapunta Hyang. Berita mengenai raja ini diketahui melalui Prasasti Kedukan Bukit (683 M). Pada masa pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah berhasil memeperluas wilayak kekuasaannya sampai ke wilayah Jambi, yaitu dengan menduduki daerah Minangatamwan. Daerah ini memiliki arti yang sangat strategis dalam bidang perekonomian, karena daerah ini dekat dengan jalur perhubungan pelayaran perdagangan di Selat Malaka. Sejak awal pemerintahannya, Raja Dapunta Hyang telah mencita-citakan agar Kerajaan Sriwijaya menjadi Kerajaan Maritim.
Raja Balaputra Dewa. Pada awalnya, Raja Balaputra Dewa adalah raja dari kerajaan Syailendra (di Jawa Tengah). Ketika terjadi perang saudara di Kerajaan Syailendra antara Balaputra Dewa dan Pramodhawardani (kakaknya) yang dibantu oleh Rakai Pikatan (Dinasti Sanjaya), Balaputra Dewa mengalami kekalahan. Akibat kekalahan itu, Raja Balaputra Dewa lari ke Sriwijaya. Di Kerajaan Sriwijaya berkuasa Raja Dharma Setru (kakek dari Raja Balaputra Dewa) yang tidak memiliki keturunan, sehingga kedatangan Raja Balaputra Dewa di Kerajaan Sriwijaya disambut baik. Kemudian, ia diangkat menjadi raja. Pada masa pemerintahan Raja Balaputra Dewa, Kerajaan Sriwijaya berkembang semakin pesat. Raja Balaputra Dewa meningkatkan kegiatan pelayaran dan perdagangan rakyat Sriwijaya. Di samping itu, Raja Balaputra Dewa menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan yang berada di luar wilayah Indonesia, terutama dengan kerajaan-kerajaan yang berada di India, seperti Kerajaan Benggala (Nalanda) maupun Kerajaan Chola. Bahkan pada masa pemerintahannya, kerajaan Sriwijaya menjadi pusat perdagangan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara.
Raja Sanggrama Wijayattunggawarman. Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Sriwijaya mendapat ancaman dari Kerajaan Chola. Di bawah pemerintahan Raja Rajendra Chola, Kerajaan Chola melakukan serangan dan berhasil merebut Kerajaan Sriwijaya. Raja Sriwijaya yang bernama Sanggrama Wijayattunggawarman berhasil ditawan. Namun pada masa pemerintahan Raja Kulotungga I di Kerajaan Cho, Raja Sanggrama Wijayattunggawarman dibebaskan kembali.
Urutan Sejarah Kerajaan Sriwijaya
Tahun 671 M - I Ching singgah di Sriwijaya tahun 671
Adalah tahun awal yang membutikan adanya Kerajaan Sriwijaya. bukti ini di dapat dari seorang Bhiksu Buddha Tiongkok yang bernama I Ching yang sedang berkelana lewat laut menuju india untuk mendapatkan teks agama buddha dalam bahasa sangsekerta melalui Jalur Sutra atau jalur perdagangan untuk kemudian di bawa ke tiongkok dan di terjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa. semasa perjalanan nya ini lah I Ching singgah di Sriwijaya pada Tahun 671 dan menetap selama 6 bulan di sriwijaya kemudian melanjutkan perjalanan nya ke Malayu yang sekarang disebut dengan jambi menetap pula di jambi selama 2 bulan
Gambaran I Tsing tentang Sriwijaya ".... banyak raja dan pemimpin yang berada di pulau-pulau pada Lautan Selatan percaya dan mengagumi Buddha, dihati mereka telah tertanam perbuatan baik. Di dalam benteng kota Sriwijaya dipenuhi lebih dari 1000 biksu Budha, yang belajar dengan tekun dan mengamalkannya dengan baik.... Jika seorang biarawan Cina ingin pergi ke India untuk belajar Sabda, lebih baik ia tinggal dulu di sini selama satu atau dua tahun untuk mendalami ilmunya sebelum dilanjutkan di India".
Tahun 683 M - Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti kedukan bukit yang ditemukan oleh M. Batunburg pada tanggal 29 November 1920 di kebun Pak H. Jahri tepi sungai Tatang, desa Kedukan Bukit di kaki Bukit Siguntang sebelah barat daya Palembang. Prasasti yang berbentuk batu kecil berukuran 45 × 80 cm ini ditulis dalam aksara Pallawa, menggunakan bahasa Melayu Kuno adalah sebuah Prasasti yang memperjelas adanya Kerajaan Sriwijaya. Prasasti ini Sangat Jelas Menggambarkan Kejadian yang terjadi pada saat itu.
Isi prasasti kedukan bukit yang telah di terjemahkan:
tanggal 23 April 683 dapunta hiyang naik ke perahu untuk melakukan penyerangan dan sukses dalam Penyerangannya. 19 Mei 683 Dapunta Hiyang berlepas dari minanga membawa 20.000 bala tentara dengan perbekalan 200 peti di perahunya. Rombongan pun tiba di Mukha Upang dengan suka cita. 17 Juni 683 Dapunta Hyang datang membuat wanua
Tahun 684 M - Prasasti Talang Tuo
Prasasti ini ditemukanpada tanggal 17 November 1920 di kaki bukit siguntang oleh Louis Constant Westenenk. Prasasti yang memiliki bidang datar berukuran 50cmX80cm ini juga dipahat menggunakan Aksara Palawa dalam bahasa melayu kuno. Dalam prasasti Talang Tuo yang bertarikh 684 M, disebutkan mengenai pembangunan taman oleh Dapunta Hyang Sri Jayanasa untuk semua makhluk berisi pohon pohon yang buahnya dapat dimakan, Taman tersebut diberi nama Sriksetra.
Tahun 686 M - Prasasti kota kapur
Prasasti yang ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak ditemukan di pesisir Barat Pulau Bangka, dinamakan Prasasti Kota Kapur karna sesuai dengan Tempat di temukan nya yaitu di dusun kecil di Pesisir barat Pulau Bangka yang bernama kota Kapur. Prasasti yang ditemukan oleh J.K Van Der Meulen pada bulan Desember 1892 dan di terjemahkan oleh George Coedes orang yang sama yang telah menerjemahkan Prasasti Kedukan Bukit ini berisi tentang Kutukan bagi siapapun yang memberontak kepada Sriwijaya serta berisi Hal hal baik untuk yang setia kepada Sriwijaya, dalam Prasasti Kota Kapur ini juga jelas di ucapkan tanggal 28 Februari 686 Bala tentara Sriwijaya berangkat untuk Menyerang Bumi jawa yang tidak takluk kepada Sriwijaya
Tahun 718 M - Sri Indrawarman Raja Sriwijaya masuk islam
Hal ini di dasari oleh Surat yang dikirimkan Sri Indrawarman yang saat itu berstatus sebagai Maharaja Sriwijaya kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz dari bani Umayyah. dalam surat itu disebutkan dari seorang Maharaja, yang memiliki ribuan gajah, memiliki rempah-rempah dan wewangian serta kapur barus, dengan kotanya yang dilalui oleh dua sungai sekaligus untuk mengairi lahan pertanian mereka. Bersamaan dengan surat itu juga dikirimkan Hadiah untuk Khalifah
Tahun 717-720 M - Surat kedua Ke Suriah meminta Da'i ke Sriwijaya
Surat kedua yang dikirimkan Raja Sriwijaya ini di dokumentasikan oleh Adb Rabbih dalam karya Al-Iqdul farid. isi potongan surat tersebut berbunyi : Dari Raja di raja... yang adalah keturunan seribu raja.. kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya. Tahun 724 M - Sri Indrawarman mengirim hadiah ke Cina Sama hal nya dengan yang di lakukan Raja Sri Indrawarman kepada Raja Arab pada kisaran Tahun 717-720 M. Raja Sri Indrawarman juga mengirimkan hadiah kepada kaisar Cina berupa ts'engchi
Tahun 775 -787 M - Dharanindra Mengusasi Sriwijaya
Hal ini di dasari oleh sebuah Prasasti yang ditemukan di sebuah tempat yang bernama Ligor saat ini tempat tersebut bernama Nakhon Si Thammarat, selatan Thailand. Prasasti Ligor memiliki 2 Sisi. Sisi Pertama disebut sebagai Ligor A dan Sisi sebaliknya disebut Ligor B. Ligor A ditulis pada tahun 775 oleh raja Kerajaan Sriwijaya, sedangkan Ligor B ditulis oleh Wangsa Sailendra setelah Menaklukkan Sriwijaya
Tahun 792 - 835 M - Samaratungga Memerintah Sriwijaya
di kisaran Tahun ini lah di perkirakan Samaratungga menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya dengan mengedepankan Agama dan Budaya, terbukti di bangunnya candi Borubudur pada tahun 825 M oleh Samaratungga. Pernikahan Samaratungga dengan Dewi Tara Lahirlah Balaputradewa sebagai Pewaris Tahta Kerajaan Sriwijaya
Tahun 860 M - Balaputradewa Naik Tahta
Prasasti Nalanda berangka tahun 860 ditemukan di Nalanda, Bihar, India. adalah bukti bahwa Balaputradewa pernah menjadi Raja di Kerajaan Sriwijaya, Penafsiran Manuskrip Prasasti Nalaya berbunyi : " Sri Maharaja di Suwarnadwipa, Balaputradewa anak Samaragrawira, cucu dari sailendravamsatilaka (mustika keluarga sailendra) dengan julukan sriviravairimathana (pembunuh pahlawan musuh), raja Jawa yang kawin dengan Dewi Tara, anak Dharmasetu"
Tahun 990 M - Serangan dari raja Dharmawangsa Teguh dari Jawa
Serangan raja Dharmawangsa ini di dasari oleh berita cina dari dinasti song, di kisahkan dalam berita cina bahwa Sriwijaya terlibat persaingan dengan Kerajaan Medang untuk menguasai Asia tenggara, kedua Kerajaan ini saling mengirimkan duta ke cina, utusan Sriwijaya berangkat pada tahun 988 tertahan di kanton ketika hendak pulang, karna negri Sriwijaya di serang tentara Kerajaan Medang, Pada Tahun 992 duta Sriwijaya mencoba pulang kembali namun tertahan di Campa karna negri Sriwijaya belum aman, duta ini meminta Kaisar Song untuk menyatakan bahwa Sriwijaya berada dalam perlingdungan cina, untusan Kerajaan Medang tiba di cina tahun 992 M, dikirim setelah Dharmawangsa berhasil menaklukkan Sriwijaya.
Tahun 1006 / 1016 - Wafatnya Dharmawangsa Teguh
dalam Prasasti Pucangan disebutkan sebuah peristiwa Mahapralaya yaitu peristiwa hancurnya Kerajaan Medang. Tentara Aji Wurawari dari Lwaram yang di perkirakan sekutu Sriwijaya menyerang Istana raja Dharmawangsa Teguh di Wwatan. Dharmawangsa Teguh meninggal pada peristiwa tersebut.
Tahun 1003 M - Sri Cudamaniwarmadewa
keterangan ini di dapat dari sebuah manuskrip nepal pada abad ke 11 yang memuji negara Sriwijaya sebagai pusat kegiatan utama agama budha, dan memiliki area indah lokananantha di sriwayapura. Dan sebuah kronik Tibet yang ditulis pada abad ke 11 bernama durbodhaloka menyebutkan pula nama maharaja sri Cudamanirwarman dari sriwijayanagara di suwardawipa.
Tahun 1008 M - Sri Mara-Vijayottunggawarman
Penemuan Prasasti Leiden yang tertulis pada lempengan tembaga berangka tahun 1005 yang terdiri dari bahasa Sansekerta dan berbahasa Tamil. sesuai dengan tempat di temukan nya yaitu di KITLV Leiden, Belanda. maka Prasasti ini dinamakan Prasasti Leiden.
Nama Sri Mara-Vihayottunggawarman di sebutkan dalam Prasasti Leiden sebagai anak dari Sri Cudamaniwarmadewa yang memiliki hubungan baik dengan dinasti Chola dari Tamil, selatan India Terjemahan Prasasti Leiden : Raja Sriwijaya, Sri Mara-Vijayottunggawarman putra Sri Cudamani Warmadewa di Kataha telah membangun sebuah vihara yang dinamakan dengan Vihara Culamanivarmma
Tahun 1025 M - Kehancuran Kerajaan Sriwijaya
Sriwijaya Hancur Diserang oleh Rajendra Chola dari Kerajaan Chola serangan Rajendra Chola I dari Koromandel India selatan, didasarkan pada bait akhir prasasti Tanjoreyang menceritakan tentang penaklukan yang dilakukan Kerajaan Chola atas beberapa kawasan termasuk beberapa kawasan di nusantara serta penawanan raja Sangrama-Vijayottunggawarman dari Sriwijaya.
Semoga bermanfaat,
DK
DK
Sumber:
Wikipedia Kerajaan Sriwijaya