“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Thursday, February 3, 2022

Hukum Pajak dalam Islam


Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuhu,

Hai sobat blogger yang di kasih sayangi Allah, artikel ini penulis angkat karena banyak diantara saudara kita kaum muslim, yang masih ragu dengan hukum bekerja di bagian pajak dan bea cukai. Dan yang membuat ragu lagi, ada beberapa ustadz yang menyalah artikan tentang hukum pajak tersebut, membuat seolah-olah pajak sama dengan jizyah. Subhanallah, semoga kita semua diberikan hidayah kebenaran dari Allah Subhanallahi wata'ala. Aamieen.

Kalau kita lihat memang bekerja di instansi pemerintah khususnya bagian pajak dan bea cukai, merupakan lahan yang sangat basah dan menjanjikan kehidupan layak, berkecukupan bahkan berlebihan. Oleh karena hal tersebut, maka untuk bisa diterima bekerja di instansi pajak tersebut sangatlah sulit, karena kita harus bersaing dengan banyak orang, sehingga dibutuhkan kepintaran dan nilai yang tinggi. Lantas bagaimanakah hukum pajak itu sendiri dalam Islam? Untuk itu kita harus mengerti dulu pengertian pajak menurut Islam.


DEFINISI PAJAK

Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama الْعُشْرُ (Al-Usyr) atau الْمَكْسُ (Al-Maks), atau bisa juga disebut لضَّرِيْبَةُ (Adh-Dharibah), yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak”. Atau suatu ketika bisa disebut الْخَرَاجُ (Al-Kharaj), akan tetapi Al-Kharaj biasa digunakan untuk pungutan-pungutan yang berkaitan dengan tanah secara khusus.

Sedangkan para pemungutnya disebut صَاحِبُ الْمَكْسِ (Shahibul Maks) atau الْعَشَّارُ (Al-Asysyar). Adapun menurut ahli bahasa, pajak adalah: “ Suatu pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran yang dilakukan dalam hal menyelenggaraan jasa-jasa untuk kepentingan umum”.

Perlu kita ingat antara pengertian pajak dengan Jizyah jauh berbeda, kalau pajak ditarik dari semua rakyat tidak mengenal apakah muslim atau non muslim, sementara Jizyah adalah harta/upeti yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya. Jadi sobat blogger jangan sampai tertipu dengan penjelasan ustadz yang menyamakan antara pajak dengan jizyah.


DALIL TENTANG PAJAK

Alqur'an menjelaskan bahwa tidak dibenarkan bagi siapapun untuk mengambil hak seseorang tanpa seizin darinya.

ا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.” (Qs. An Nisa’: 29)

Kalau kita tafsirkan ayat 29 surat An Nisa diatas, sesungguhnya pajak termasuk memakan harta orang lain dengan bathil, lantas kita berpikir apakah dengan adanya pajak lantas orang yang diberi pajak rela dan atas suka sama suka dengan petugas penarik pajak? sudah tentu jawaban tulus dari hati kecil yaitu tidak rela.

Perlu sobat blogger ketahui bahwa hukum asal tentang pajak yang pernah disampaikan oleh Rasulullah ﷺ dari beberapa hadits sahih dibawah ini:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
 إِنَّ صَاحِبَ الْمَكسِ فِيْ النَّارِ 

“Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/109, Abu Dawud kitab Al-Imarah: 7] Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani rahimahullah dan beliau berkata: ”Sanadnya bagus, para perawinya adalah perawi (yang dipakai oleh) Bukhari-Muslim, kecuali Ibnu Lahi’ah; kendati demikian, hadits ini shahih karena yang meriwayatkan dari Abu Lahi’ah adalah Qutaibah bin Sa’id Al-Mishri”

Dan hadits tersebut dikuatkan oleh hadits lain, seperti.

عَنْ أَبِيْ الْخَيْرِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ عَرَضَ مَسْلَمَةُ بْنُ مَخْلَّدٍ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى مِصْرَرُوَ ُيْفِعِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ أَنْ يُوَلِّيَهُ الْعُشُوْرَ فَقَالَ إِنِّيْ سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِيْ النَّارِ 

“Dari Abu Khair Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata; “Maslamah bin Makhlad (gubernur di negeri Mesir saat itu) menawarkankan tugas penarikan pajak kepada Ruwafi bin Tsabit Radhiyallahu ‘anhu, maka ia berkata : ‘Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diadzab) di neraka” [HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930]

Imam Muslim juga meriwayatkan sebuah hadits yang mengkisahkan dilaksanakannya hukum rajam terhadap pelaku zina (seorang wanita dari Ghamid), setelah wanita tersebut diputuskan untuk dirajam, datanglah Khalid bin Walid Radhiyallahu ‘anhu menghampiri wanita itu dengan melemparkan batu ke arahnya, lalu darah wanita itu mengenai baju Khalid, kemudian Khalid marah sambil mencacinya, maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

 مَهْلاً يَا خَالِدُ فَوَ الَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ ثُمَّ أَمَرَ بِهَا فَصَلَّى عَلَيْهَا وَدُفِنَتْ 

“Pelan-pelan, wahai Khalid. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh dia telah bertaubat dengan taubat yang apabila penarik/pemungut pajak mau bertaubat (sepertinya) pasti diampuni. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan (untuk disiapkan jenazahnya), maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menshalatinya, lalu dikuburkan” [HR Muslim 20/5 no. 1695, Ahmad 5/348 no. 16605, Abu Dawud 4442, Baihaqi 4/18, 8/218, 221, Lihat Silsilah Ash-Shahihah hal. 715-716] 

Imam Nawawi rahimahullah menjelaskan bahwa dalam hadits ini terdapat beberapa ibrah/hikmah yang agung diantaranya ialah: “Bahwasanya pajak termasuk sejahat-jahat kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat nanti” [Shahih Muslim 11/202 oleh Imam Nawawi]

Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah dalam kitabnya Syarh Ma’ani Al-Atsar (2/30-31), berkata bahwa "Al-Usyr yang telah dihapus kewajibannya oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam atas kaum muslimin adalah pajak yang biasa dipungut oleh kaum jahiliyah”. Kemudian beliau melanjutkan : “… hal ini sangat berbeda dengan kewajiban zakat..” [Lihat Nasehat Bijak Tuk Pemungut Pajak hal. 88 oleh Ibnu Saini].

Dari beberapa hadits diatas, sudah jelas bahwa Rasulullah ﷺ berkata orang memungut pajak diadzab dineraka. Maksud memungut pajak disini adalah orang yang bekerja di bagian pajak. Oleh sebab itu sejak zaman Rasulullah ﷺ, tidak pernah ada pajak, karena Rasulullah ﷺ telah menghapuskan kewajiban pajak atas kaum muslimin yang dipungut oleh kaum jahiliyah. Rasulullah ﷺ pun menegaskan kalau pajak berbeda dengan zakat. Lantas bagaimana pemasukkan negara di zaman Rasulullah saat itu kalau bukan dari pajak?


PEMASUKAN NEGARA DI ZAMAN RASULULLAH

Di zaman Rasulullah tidak pernah ada istilah pajak, lantas terpikir dibenak kita dari mana penghasilan negara kalau bukan dari pajak? Sobat blogger yang di muliakan Allah, perlu kita ketahui bahwa di zaman sekarang masih ada beberapa negara didunia yang bisa hidup tanpa pajak lho, siapa saja contohnya: kepulauan Bahama, Bermuda, Andorra, kepulauan Cayman, Vanuatu, dan Monako. Sudah pasti semua negara tersebut adalah negara non muslim dan tentu yang ada dibenak kita bahwa negara tersebut negara yang kaya !!!

Apabila kita berpikir bahwa negara tersebut kaya, lantas kenapa negara kita yang memiliki lebih banyak sumber kekayaan alam dibanding negara bebas pajak tersebut, tapi kenapa kita tidak bisa menerapkan hal serupa? bahkan ada yang menganggap kondisi kita adalah darurat sehingga terpaksa menerapkan pajak...??? Apabila kita beranggapan bahwa negara kita darurat, timbul pertanyaan kenapa dari sejak merdeka sampai sekarang selalu darurat? Sementara didalam Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 173 Allah mengkhiaskan kondisi darurat ini dengan memperbolehkan kita memakan babi selama tidak melampaui batas dikarenakan darurat. Wallahu a'lam bisshawab.

Lantas bagai mana Negara Arab Saudi dan Uni Emirate Arab (UEA) di zaman sekarang setelah Rasulullah ﷺ dan para sahabat telah tiada, perlu sobat ketahui bahwa pada mula merdeka Arab Saudi di tahun 1932 sementara Uni Emirat Arab merdeka tahun 1971 kedua negara Islam tersebut tidak menerapkan pajak sepeser pun hingga tanggal 1 Januari 2018. Akibat sering terjadinya peperangan di kawasan Arab yang menyebabkan turunnya harga minyak, sehingga kedua negara Islam tersebut sepakat menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) atau value added tax (VAT).

Kedua negara tersebut mengambil keputusan tersebut karena menganggap negaranya sudah dalam keadaan darurat, jadi terpaksa diberlakukannya pajak tersebut. Kondisi ini sama seperti Allah turunkan larangan memakan babi, kita ketahui dalam Al Qur'an Allah melarang memakan babi, akan tetapi jika dalam kondisi darurat maka diperbolehkan untuk memakannya.

Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah” (QS. Al Baqarah: 173).

Namun jika makan daging babi karena sebab tertentu yang diizinkan oleh syariat atau dimaafkan oleh syariat maka tidak ada dosa bagi pemakannya. Oleh karena itu lanjutan ayat ini:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al Baqarah: 173).

Kembali kepada penjelasan tentang sumber pemasukan negara yang pernah terjadi di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam yang perlu sobat ketahui  diantaranya adalah:

1. Zakat
Yaitu kewajiban setiap muslim yang mempunyai harta hingga mencapai nishabnya. Di samping pemilik harta berhak mengeluarkan sendiri zakatnya dan diberikan kepada yang membutuhkan, penguasa juga mempunyai hak untuk menarik zakat dari kaum muslimin yang memiliki harta, lebih-lebih apabila mereka menolaknya, kemudian zakat itu dikumpulkan oleh para petugas zakat (amil) yang ditugaskan oleh pemimpinnya, dan dibagikan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah/9: 60. Hal ini bisa kita lihat dengan adanya amil-amil zakat yang ditugaskan oleh pemimpin kaum muslimin baik yang terjadi pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salam ataupun generasi berikutnya. 

2. Harta warisan yang tidak habis terbagi.
Di dalam ilmu waris (faraidh) terdapat pembahasan harta yang tidak terbagi. Ada dua pendapat yang masyhur di kalangan para ahli faraidh. Pendapat yang pertama, harus dikembalikan kepada masing-masing ahli waris disesuaikan dengan kedekatan mereka kepada mayit, kecuali salah satu dari istri atau suami. Pendapat kedua mengatakan, semua harta yang tidak terbagi/kelebihan, maka dikembalikan ke baitul mal/kas negara. Walau demikian, suatu ketika harta yang berlebihan itu tidak bisa dikembalikan kepada masing-masing ahli waris, semisal ada seorang meninggal dan ahli warisnya seorang janda saja, maka janda tersebut mendapat haknya 1/6, dan sisanya –mau tidak mau- harus dikembalikan ke baitul mal.

3. Jizyah
Adalah harta/upeti yang diambil dari orang-orang kafir yang diizinkan tinggal di negeri Islam sebagai jaminan keamanannya.

4. Ghanimah dan Fai’. 
Ghanimah adalah harta orang kafir (al-harbi) yang dikuasai oleh kaum muslimin dengan adanya peperangan.Ghanimah sudah ditentukan oleh Allah pembagiannya dalam Al-Qur’an surat Al-Anfal/8 : 41, yaitu 4/5 untuk pasukan perang sedangkan 1/5 yang tersisa untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil. Dan penyalurannya melalui baitul mal. 

Sedangkan fai’ adalah harta orang kafir al-harbi yang ditinggalkan dan dikuasai oleh kaum muslimin tanpa adanya peperangan. Fai’ pembagiannya sebagaimana dalam Al-Qur’an surat Al-Hasyr/59 : 7, yaitu semuanya untuk Allah, RasulNya, kerabat Rasul, para yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil.

5. Kharaj
Adalah pajak bumi, Imam Ibnu Qudamah rahimahullah dalam kitabnya Al-Mughni (4/186-121) menjelaskan bahwa bumi/tanah kaum muslimin terbagi menjadi dua macam. 
  • Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir tanpa peperangan, seperti yang terjadi di Madinah, Yaman dan semisalnya. Maka bagi orang yang memiliki tanah tersebut akan terkena pajak kharaj/pajak bumi sampai mereka masuk Islam, dan ini hukumnya adalah seperti hukum jizyah, sehingga pajak yan berlaku pada tanah seperti ini berlaku hanya terhadap mereka yang masih kafir saja. 
  • Tanah yang diperoleh kaum muslimin dari kaum kafir dengan peperangan, sehingga penduduk asli kafir terusir dan tidak memiliki tanah tersebut, dan jadilah tanah tersebut wakaf untuk kaum muslimin (apabila tanah itu tidak dibagi-bagi untuk kaum muslimin). Bagi penduduk asli yang kafir maupun orang muslim yang hendak tinggal atau mengolah tanah tersebut, diharuskan membayar sewa tanah itu karena sesungguhnya tanah itu adalah wakaf yang tidak bisa dijual dan dimiliki oleh pribadi; dan ini bukan berarti membayar pajak, melainkan hanya ongkos sewa tanah tersebut.
6. Shadaqah tathawwu
Yaitu rakyat menyumbang dengan sukarela kepada negara yang digunakan untuk kepentingan bersama. 

7. Hasil tambang dan semisalnya.
Yaitu hasil tambang yang di kelola pemerintah untuk kepentingan rakyat.


KESIMPULAN

Rasulullah ﷺ menyatakan bahwa pelaku/pemungut pajak (diadzab) di neraka, pengertian pemungut pajak ini tidak dibedakan apakah dikelola dengan baik maupun tidak baik, maka dari itu sejak zaman Rasulullah tidak pernah diterapkan pajak dalam bentuk apapun. Kita jangan tertipu dengan omongan seorang ustadz yang menyamakan pajak yang di atur oleh pemerintah seperti pajak PPh, PPN, PBB, PPnBM, dan pajak persero maka itulah pajak yang di perbolehkan karena dikelola dengan baik oleh pemerintah dan digolongkan sebagai jizyah.

Jika kita pahami pengertian jizyah, itu hanya tertuju pada orang kafir yang tinggal di negeri muslim, sementara kalau kita lihat PPh, PPN, PBB dan lainya itu diterapkan pada semua orang baik muslim maupun non muslim, jadi dari pemahaman arti saja sudah jauh berbeda.

Jadi meskipun negara kita menerapkan pajak yang hukum dasarnya pelaku pemungut pajak akan diadzab di neraka, maka setiap muslim wajib mentaati pemimpinnya selama pemimpin itu masih dalam kategori muslim dan selama pemimpinnya tidak memerintahkan suatu kemaksiatan.

Memang, pajak termasuk kezhaliman yang nyata. Akan tetapi, kezhaliman yang dilakukan pemipimpin tidak membuat ketaatan rakyat kepadanya gugur/batal, bahkan setiap muslim tetap harus taat kepada pemimpinnya yang muslim, selama perintahnya bukan kepada kemaksiatan. 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menerangkan kepada para sahabatnya Radhiyallahu ‘anhum bahwa akan datang di akhir zaman para pemimpin yang zhalim. Kemudian beliau ditanya tentang sikap kaum muslimin: “Bolehkah melawan/memberontak?”. Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab; “Tidak boleh! Selagi mereka masih menjalankan shalat” [HR Muslim : 1855 dari jalan Auf bin Malik Al-Asyja’i Radhiyallahu ‘anhu].

Semoga kita bisa ambil pelajarannya.

Wassalam,
DK

Sumber:

No comments:

Post a Comment