Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuhu,
Hai sobat blogger, hari ini berita hangat dari dunia diramaikan dengan memuncaknya invasi militer besar-besaran Rusia ke Ukraina. Jadi untuk berita susahnya dapetin minyak goreng, ricuhnya aturan JHT, ribetnya persyaratan BPJS, dan tingginya harga tahu tempe kita skip dulu yah. Selaku orang Indonesia kita pasti bertanya tanya kenapa sih Rusia melakukan invasi ke Ukraina? Apa tidak nunggu abis lebaran saja invasinya, kan kasihan tentara yang belum dapet THR sudah keburu mati.
Kalau melihat dari berita, disisi lain pihak Amerika yang membawa bendera NATO, sudah pasti mendukung Ukraina, karena dari sejarah perang dunia I dan II, Amerika dan sekutunya berperang dengan Uni Soviet dan China.
Mengutip perkataan dari Presiden Rusia Vladimir Putin pada tanggal 15 Februari beberapa waktu sebelum melakukan invasi militer besar-besaran ke Ukraina, dia mengatakan sudah memberikan lampu hijau kepada mesin-mesin perangnya dengan alasan untuk melakoni demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina dari rezim sayap kanan pengikut neo-Nazi dan “Banderites”.
Putin juga mengatakan tujuannya adalah untuk melindungi orang-orang yang menjadi sasaran pelecehan dan genosida dari rezim Kiev selama delapan tahun di daerah Donbas dan Ukraina timur.
Untuk itu perlu kita kupas tuntas kebenaran sejarah yang disampaikan oleh Presiden Putin tersebut. Dan yang jelas kita harus tahu dahulu sejarah kenapa Rusia melakukan invasi terhadap Ukraina saat ini, jangan terpengaruh oleh provokasi oleh pihak manapun.
Siapa Banderites atau Neo-Nazi?
“Banderites” merupakan istilah neo-Nazi yang dipakai Kremlin sejak era Uni Soviet. Istilah tersebut merujuk pada tokoh fasis di era Perang Dunia II, Stepan Bandera. Tokoh perlawanan yang pernah berkolaborasi dengan Jerman Nazi untuk melawan Soviet dan di kemudian hari justru berontak pada Nazi itu dinobatkan sebagai pahlawan nasional Ukraina oleh Presiden Ukraina Viktor Yushchenko pada 2010. Namun, setahun berselang status itu dicabut lagi atas desakan Polandia, Rusia, dan Uni Eropa karena Bandera dianggap terlibat dalam holocaust di Ukraina dan Polandia.
Abad 8-9 (Awal Berdiri Kerajaan Rus Kiev)
Diawali dari orang-orang Varangia (Varyags) yang berasal dari bangsa Viking suku Swedes (keturunan Swedia) hijrah dari kawasan Baltik menuju Eropa Timur Laut dan menetap menetap di Novgorod pada tahun 862M (abad ke 8). Varangia tersebut merupakan nama yang diberikan oleh bangsa Yunani dan Slavia Timur.
Bangsa Varangia tersebut kemudian mendirikan sebuah kerajaan di Slavia Timur pada abad ke-9 dibawah kepemimpinan raja Rurik. Selanjutnya penerus raja Rurik, yaitu pangeran Oleg, yang kemudian menaklukan Kiev (sekarang ibukota Ukraina) dan mendirikan kerajaan Rus Kiev (Kievan Rus). Raja Oleg kemudian menaklukan seluruh bangsa di wilayah Slavia Timur dan menghancurkan Kekhaganan Khazar (kerajaan dari Turki hingga Mongolia).
Pusat kekuatan Rus Kiev berada di lembah sungai Dnieper yang sekarang ada di ibukota Ukraina yaitu Kiev. Negeri ini juga mencakup daerah Belarus di barat, dan sebagian Rusia di timur.
Jadi dari awal sejarah berdirinya Rusia, sebenarnya Ukraina sudah merupakan bagian dari kerajaan Rus Kiev yaitu awal mula Rusia, sejak raja Oleg mendirikan kerajaan Rus Kiev.
Abad 10-11 (Masa Keemasan Rus Kiev)
Pada abad ke-10 dan ke-11, Rus Kiev merupakan salah satu kerajaan terbessar dan paling sejahtera di Eropa. Rezim Vladimir the Great (980-1015) dan Yaroslav the Wise (1019-1054) disebut-sebut sebagai masa-masa keemasan bagi kerajaan Rus Kiev. Di masa tersebut juga dilakukan kodifikasi hukum pertama kalinya di kawasan Slavia Timur yang diberi nama Russkaya Pravda.
Abad 12-13 (Kehancuran Kerajaan Rus Kiev)
Kematian Yaroslav menjadi awal kemunduran Rus Kiev ketika anak-anak Yaroslav saling berebut tahta kerajaan. Konflik internal yang terjadi secara terus-menerus mengakibatkan melemahnya kekuatan Rus Kiev. Kerajaan Rus Kiev kemudian hancur ketika Bangsa Mongol melakukan invasi pada tahun 1237-1240.
Tepatnya pada abad ke-13 kerajaan Rus Kiev menderita kekalahan atas bangsa Mongol dalam sebuah pertempuran di Sungai Kalka. Kerajaan Rus Kiev kemudian digantikan oleh sejumlah negara kecil, seperti Vladimir-Suzdal yang dipimpin Pangeran Agung Kiev dan Republik Novgorod yang dipimpin Pangeran Agung Novgorod.
Abad 14-15 (Berdirinya Kekaisaran Rusia)
Bangsa Rusia yang terpecah menjadi negara kecil terus berjuang mencapai kemerdekaan mereka dari Mongol dan benar-benar menjadi negara berdaulat pada masa Ivan III. Pada tahun 1547, Ivan IV menyatakan dirinya sebagai tsar (kaisar), menjadikan dia sebagai Pangeran Agung Moskwa terakhir dan Tsar Rusia pertama.
Kekaisaran Rusia sudah dimulai ketika Ivan III menaklukkan Novgorod dan dilanjut ketika Ivan IV menaklukkan Kazan.
Ivan IV yang semula dinyatakan sebagai Pangeran Agung Moskwa sejak 1533 menyatakan dirinya sebagai tsar (царь) pada 16 Januari 1547. Dengan dimahkotai sebagai tsar (kaisar), Ivan mengirimkan pesan kepada Rusia pada khususnya dan dunia pada umumnya bahwa dia sekarang adalah satu-satunya pemimpin tertinggi di negara tersebut. Gelar ini melambangkan penyandang gelar tersebut memegang kedudukan dan kekuatan yang setara dengan Kaisar Romawi (Timur) dan Khan Tatar.
Abad 17 (Kembali Masuknya Ukraina ke Kaisaran Rusia)
Mulai pertengahan abad ke-17, wilayah Ukraina secara perlahan kembali masuk ke Kekaisaran Rusia, karena memiliki kesamaan budaya, bahasa, dan agama.
Abad 18 (Seluruh Ukraina menjadi Bagian Kekaisaran Rusia)
Menjelang akhir abad ke-18, seluruh wilayah Ukraina telah menjadi bagian dari Kekaisaran Rusia. Sehingga pada tahun 1866, wilayah Kekaisaran Rusia membentang dari Eropa Timur ke Asia hingga Amerika Utara.
Abad 19 (Daerah Kekaisaran Rusia)
Pada awal abad ke-19, kekaisaran Rusia adalah monarki terbesar di dunia yang membentang dari Samudra Arktik di utara ke Laut Hitam di selatan dan dari Laut Baltik di barat hingga Samudra Pasifik di timur. Dengan penduduk sebanyak 176,4 juta jiwa, kekaisaran ini memiliki penduduk terbesar ketiga di dunia pada masanya setelah Dinasti Qing di Tiongkok dan Imperium Britania.
Abad 20 (Runtuhnya Kekaisaran Rusia & Berdirinya Uni Soviet)
Kekaisaran Rusia runtuh pada tahun 1917, setelah peristiwa Revolusi Bolshevik atau Revolusi Oktober yang berhasil menggulingkan Kekaisaran Rusia menuju ke pendirian Republik Uni Soviet.
Sebenarnya revolusi yang terjadi di Rusia terjadi dalam dua fase, yaitu fase pertama atau dikenal sebagai Revolusi Februari, dan gerakan kedua yang disebut sebagai Revolusi Oktober.
Revolusi Februari yang dipimpin oleh Alexander Kerensky telah menggulingkan Tsar Nicholas II dari Kekaisaran Rusia dan menggantikan pemerintahannya dengan Pemerintahan Rusia Sementara.
Selanjutnya Revolusi Oktober atau Revolusi Bolshevik adalah revolusi yang dilakukan oleh golongan Bolshevik yang dipimpin oleh Vladimir Lenin membuat kekaisaran Rusia berganti nama menjadi Uni Soviet tahun 1917.
Ukraina Merdeka Yang Pertama
Karena kondisi Rusia saat itu sedang terjadi perpecahan, sehingga membuat Ukraina kemudian membentuk pemerintahan sementara dan memproklamirkan dirinya sebagai republik dalam struktur Federasi Rusia. Setelah Vladimir Lenin naik ke tampuk kekuasaan pada 25 November 1917, Ukraina mendeklarasikan kemerdekaannya pada 25 Januari 1918.
Ukraina Kembali Menjadi Bagian Uni Soviet
Setelah memproklamasikan kemerdekaannya, pemerintahan Ukraina mengalami kesulitan serius. Mereka harus menghadapi oposisi Bolshevik dan aktivitas kontra-revolusioner di dalam negeri. Jerman dan Austria sempat memberikan batuan, tetapi kedua negara ini terpaksa enyah setelah kekalahan Blok Sentral.
Alhasil, setelah terjadinya perang saudara sejak 1918-1920, Ukraina akhirnya kembali menjadi bagian dari Uni Soviet tahun 1922.
Warisan sejarah ini menciptakan garis patahan yang bertahan lama. Karena Ukraina timur berada di bawah kekuasaan Rusia jauh lebih awal daripada Ukraina barat, orang-orang di timur memiliki ikatan yang lebih kuat dengan Rusia dan cenderung mendukung para pemimpin yang condong ke Rusia.
Sebaliknya, Ukraina barat menghabiskan waktu berabad-abad di bawah kendali pergeseran kekuatan Eropa seperti Polandia dan Kekaisaran Austro-Hungaria, salah satu alasan mengapa Ukraina di barat cenderung mendukung lebih banyak politisi yang condong ke Barat. Populasi timur cenderung lebih berbahasa Rusia dan Ortodoks, sementara bagian barat lebih berbahasa Ukraina dan Katolik.
Sejarah Neo Nazi ke Ukraina
Tahun 1929, Republik Soviet Ukraina sudah dirambah kelompok ultranasionalis sayap kanan yang bernama Organisasi Nasionalis Ukraina (OUN) dibawah kuasa Nazi Jerman.
Tahun 1939, saat Jerman mulai menginvasi Polandia, dua pentolan OUN, Andriy Melnyk dan Stepan Bandera, ditugaskan sebagai mata-mata wilayah timur Polandia oleh Dinas Intelijen Militer Jerman (Abwehr) .
Tahun 1940, terjadi dualisme karena Melnyk dan Bandera “bercerai” kendati keduanya masih dimanfaatkan Abwehr. Melnyk dengan UON-M tetap dengan aktivitas mata-mata, sementara Bandera dengan UON-B yang lebih radikal diarahkan untuk membentuk pasukan “Legiun Ukraina” yang berkekuatan 800 personil ini terbentuk pada musim semi 1941, terdiri dari Batalyon Nachtigall dan Batalyon Roland.
Tahun 1941, ketika pasukan Nazi yang dipimpin Adolf Hitler menghantam Uni Soviet, kedua batalyon itu turut mengiringi divisi-divisi lapis baja Jerman merebut Lviv hingga Vinnytsia. Karena merasa pasukannya berjasa, Bandera memproklamasikan negara Ukraina merdeka di Lviv, akan tetapi gerakan Bandera ini tidak direstui Jerman, sehingga Jerman akhirnya mendirikan pemerintahan boneka lewat Reichskommissariat Ukraine (RKU) dengan menunjuk Erich Koch sebagai Gubernur Distrik, sementara Bandera ditangkap.
Tahun 1943, ketika Jerman mulai terdesak oleh Uni Soviet, akhirnya Bandera dibebaskan dan bergabung dengan RKU, sementara bekas pasukan Bandera yang terdiri dari Batalyon Nachtigall dan Batalyon Roland bernasip suram, sebagian direorganisasi ke dalam Batalyon Polisi Schutzmannschaft 201 di Belarusia, sebagian masuk Tentara Pemberontak Ukraina (UPA) dan sisanya lantas direkrut ke dalam pasukan Schutzstaffel (SS).
Pasukan UPA pada masa puncaknya memiliki 200 ribu personil yang seluruhnya dipimpin oleh pejuang/kombatan Ukraina. UPA memilih emblem dan panji merah-hitam sebagai simbol darah merah orang Ukraina dan hitamnya tanah Ukraina, berbeda dari SS Divisi Galicia yang menyematkan emblem kuning-biru.
UPA melakukan pembantaian berskala besar terhadap populasi Polandia di Volhynia pada Februari 1943, hingga Kowel, Horochów, dan Włodzimierz Wolyński pada Januari 1944. “Populasi desa dibakar hidup-hidup. Para pastur Katolik Roma dipenggal atau disalib. Gereja-gereja dibakar dengan para jamaah di dalamnya. Sejumlah pertanian terpencil juga acap diserang. Pemiliknya digorok. Para perempuan hamil dibayonet,” tulis sejarawan Norman Davies dalam Europe at War 1939-1945: No Simple Victory.
Jumlah korban pembantaian UPA dilaporkan mencapai 100 ribu jiwa meski pembantaian itu baru dinyatakan sebagai pembersihan etnis oleh parlemen Polandia pada 2016. Usai Perang Dunia II, UPA tetap melawan rezim Soviet dengan sejumlah aksi teror hingga “petualangan” mereka diakhiri Soviet pada 1953.
Disisi lain pasukan SS ini terbentuk atas gagasan Gubernur Distrik Galicia yaitu Dr. Otto von Wächter pada 28 April 1943. Pasukan ini dinamai 14 Waffen-Grenadier-Division der SS “Galizische” atau pasukan Sukarelawan SS “Divisi Galicia” ke-14. Sekira 82 ribu personil pilihan yang di pimpin oleh perwira Jerman, pasukan ini memulai pertempuran pertengahan Februari 1944 untuk menghadapi partisan-partisan Soviet dan Polandia.
Tahun 1944, RKU dibawah Bandera kemudian bertanggungjawab atas holocaust berskala besar yang terjadi di seantero Ukraina. Menilik catatan Paul Robert Magocsi dalam A History of Ukraine, pendudukan Ukraina yang dilakukan oleh tentara RKU berujung pada pembantaian sekira 1,6 juta Yahudi, serta tiga hingga empat juta untermeschen (ras inferior lain). Angka itu di luar 5,2 juta warga sipil Ukraina yang tewas karena penyakit, kelaparan, dan musim dingin yang membekukan.
Pada 17 Maret 1945, semua sisa personil Divisi Galicia membentuk Tentara Nasional Ukraina (UNA) dibawah pimpinan Jenderal Pavlo Shandruk. UNA kemudian dilikuidasi usai menyerahkan diri ke pasukan Sekutu pada 10 Mei 1945.
Seiring kemerdekaan Ukraina pada 1991, para tokoh Divisi Galicia dan UPA diakui sebagai pahlawan nasional. Status itu kemudian dicabut atas desakan Polandia, Rusia, dan Uni Eropa pada 2011.
Ukraina Merdeka Yang Kedua
Usai Perang Dunia II (1939-1945), Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet muncul sebagai dua kekuatan besar yang berbeda ideologi. AS menganut paham liberal, sementara Uni Soviet komunis. Perbedaan inilah yang kemudian memicu terjadinya konflik yang disebut Perang Dingin (1947-1989). Perang Dingin berakhir dengan kemenangan di tangan AS. Hal ini berbuntut pada runtuhnya Uni Soviet pada 1991. Setelah itu, Ukraina mendeklarasikan kemerdekaannya pada 24 Agustus 1991.
Setelah Uni Soviet runtuh, Rusia dan Ukraina berdiri sendiri menjadi negara yang merdeka. Kemudian, pada 14 Februari 1992, Rusia dan Ukraina bersama-sama mendirikan hubungan diplomatik yang berujung dengan kesepakatan Perjanjian Persahabatan, Kerjasama, dan Kemitraan antara Rusia dan Ukraina tahun 1997. Lewat kesepakatan itu, hubungan bilateral dalam bidang sosial, militer, ekonomi, dan politik terjalin di antara keduanya.
Berdirinya Batalyon Azov (Awal Perseteruan Rusia vs Ukraina)
Tahun 1982, berdiri batalyon Azov yang berawal dari kelompok pendukung beraliran ultras FC Metalist Kharkiv yang bernama "Sect 82" yang juga mempunyai relasi baik dengan ultras FC Spartak Moskwa.
Akhir Februari 2014, selama krisis Ukraina tahun 2014 ketika gerakan separatis aktif di Kharkiv, yang menamakan "Sect 82" menduduki gedung administrasi regional Oblast Kharkiv di Kharkiv dan bertindak sebagai pasukan "pertahanan" lokal.
Pada 13 April 2014 Menteri Dalam Negeri Arsen Avakov mengeluarkan dekrit yang mengizinkan pembentukan pasukan paramiliter baru dari warga sipil. Sehingga pada tanggal 5 Mei 2014 secara resmi terbentuklah Batalyon Azov di daerah Berdyansk dengan nama "Sect 82" dibentuk menjadi korps Polisi Patroli Khusus yang disebut "Korps Timur". Banyak anggota Patriot Ukraina (organisasi ultranasionalis yang beraliran politik neo-Nazi dan sudah mati sejak 2014) bergabung dengan Azov.
Di antar pendukung awalnya adalah anggota Verkhovna Rada, Oleh Lyashko, seorang ultra-nasionalis Dmytro Korchynsky, dan politisi Serhiy Taruta. Batalyon itu kemudian mendapat pelatihan di dekat Kiev oleh para instruktur yang berpengalaman dari Angkatan Bersenjata Georgia. Kemudian, Batalyon Azov dikerahkan dan terlibat pertempuran di Mariupol.
Pada tanggal 11 Agustus 2014, batalyon Azov, yang didukung oleh pasukan terjun payung Ukraina, merebut Marinka dari pemberontak pro-Rusia dan memasuki pinggiran kota Donetsk untuk bertempur melawan pejuang Republik Rakyat Donetsk.
Pada bulan September 2014, batalyon Azov diubah dari batalion menjadi resimen dan didaftarkan ke Garda Nasional Ukraina (National Guard). Pada saat ini, unit tersebut mendepolitisasi dirinya sendiri: pemimpin sayap kanannya pergi dan mendirikan partai politik Korps Nasional, yang bekerja dengan organisasi aktivis terkait, Korps Sipil Azov.
Kira-kira pada bulan September 2014 itu juga, mereka mulai menerima pasokan senjata berat. Batalyon Azov menerima dana dari Menteri Dalam Negeri Ukraina dan sumber lain (diyakini oligarki Ukraina). Para sukarelawan secara resmi dibayar 6.000 hryvnia ($316) per bulan, mereka yang benar-benar tergabung menerima sekitar 10.000 hryvnia ($526) per bulan. Situs sosialis nasional "Patriot Ukraina" ditutup atau dibatasi aksesnya.
Pada 11 November 2014 Batalyon Azov secara resmi dimasukkan ke dalam Garda Nasional Ukraina.
Azov merilis publikasi di situsnya pada 20 November 2017 bahwa pada 16 November, mereka bertemu dengan delegasi asing perwira Angkatan Bersenjata Amerika Serikat dan Angkatan Bersenjata Kanada.
Pada tahun 2018, sebuah rancangan undang-undang (RUU) yang disahkan oleh Kongres Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk memblokir bantuan militer ke Batalyon Azov dengan alasan ideologi supremasi kulit putihnya. Anehnya, pada tahun 2015, larangan serupa atas bantuan kepada kelompok tersebut dibatalkan oleh Kongres AS.
Pada Oktober 2019, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat dari Partai Demokrat meminta agar Batalyon Azov dan dua kelompok sayap kanan lainnya diklasifikasikan sebagai Organisasi Teroris Asing oleh Departemen Luar Negeri AS. Hal ini memicu protes pendukung Azov di Ukraina.
Laporan yang diterbitkan oleh Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) menghubungkan Batalyon Azov dengan kejahatan perang seperti penjarahan massal, penahanan yang tidak sah, dan penyiksaan. Laporan OHCHR dari Maret 2016 menyatakan bahwa organisasi tersebut telah:
"collected detailed information about the conduct of hostilities by Ukrainian armed forces and the Azov regiment in and around Shyrokyne (31km east of Mariupol), from the summer of 2014 to date. Mass looting of civilian homes was documented, as well as targeting of civilian areas between September 2014 and February 2015."
Laporan OHCHR lainnya mendokumentasikan contoh pemerkosaan dan penyiksaan, yang tertulis:
"A man with a mental disability was subject to cruel treatment, rape and other forms of sexual violence by 8 to 10 members of the 'Azov' and 'Donbas' (another Ukrainian battalion) battalions in August–September 2014. The victim's health subsequently deteriorated and he was hospitalized in a psychiatric hospital."
Sebuah laporan dari Januari 2015 menyatakan bahwa seorang pendukung Republik Donetsk ditahan dan disiksa dengan listrik dan waterboarding, yang mengharuskan dia mengaku mata-mata untuk militan pro-Rusia.
Dengan adanya batalyon Azov inilah yang membuat Presiden Putin ingin menyelamatkan rakyat Donetsk, Luhans, dan Krimea dari pembantaian / genosida yang dilakukan oleh pasukan Garda Nasional Ukraina yang sudah didominasi oleh neo nazi dari batalyon Azov.
Sumber:
Abad 21 (Semakin Memanas Hubungan Rusia dan Ukraina)
Demonstrasi Korupsi di Ukraina
Pada akhir 2004 hingga Januari 2005, mulai terjadi aksi protes di Ukraina. Demonstrasi yang terjadi di Ukraina didasari oleh masalah korupsi yang terus terjadi selama bertahun-tahun sejak Presiden Ukraina Leonid Kuchma memimpin. Alhasil, Presiden Leonid memutuskan melepas jabatannya dan digantikan oleh Presiden Viktor Yuschenko. Sejak pergantian kepemimpinan, hubungan antara Rusia dan Ukraina mulai mengalami pasang surut.
Pasalnya, Presiden Ukraina Viktor lebih membawa hubungannya ke arah Barat, sehingga peran Rusia mulai berkurang. Ketegangan pun kian terjadi setelah Presiden Viktor mulai menerapkan beberapa kebijakan, salah satunya keinginan agar Ukraina menjadi anggota Uni Eropa.
Sengketa Pasokan Gas
Pada 2006, terjadi sengketa terkait pasokan gas antara Rusia dan Ukraina. Rusia diketahui merupakan produsen minyak dan gas alam untuk Eropa, termasuk Ukraina. Rusia bahkan memberikan harga di bawah pasar bagi negara-negara Eropa dan Ukraina. Ukraina, yang begitu menggantungkan pasokan gas Rusia, menjadi jalur transit gas antara Rusia dengan Eropa. Namun, hubungan kerja sama keduanya meretak ketika perusahaan gas asal Rusia, Gazprom, pada 1 Januari 2006 menghentikan pasokan mereka kepada Ukraina karena kenaikan harga.
Dari situ, permasalahan terus berlanjut. Gazprom mulai memangkas jumlah pengirimannya, karena Ukraina tidak sanggup membayar utang dan dendanya. Berhentinya pengiriman pasokan gas ke Ukraina tentu juga memengaruhi pada terhambatnya ekspor gas ke Eropa.
Penolakan Perdagangan dengan Uni Eropa
Hubungan Rusia dan Ukraina mulai memanas pada 2013 yang disebabkan oleh kesepakatan politik dan perdagangan penting dengan Uni Eropa.
Demi hubungan yang lebih dekat dengan Moskow, Presiden Ukraina yang pro-Rusia, Viktor Yanukovych, menolak perjanjian asosiasi dengan Uni Eropa. Penolakan tersebut memicu protes massa hingga Viktor Yanukovych digulingkan dari jabatannya pada 2014. Penggulingan tersebut direspon Rusia dengan menganeksasi wilayah Krimea.
Aneksasi Krimea
Pada Maret 2014, Rusia melakukan pencaplokan (Aneksasi) terhadap daerah Krimea, sebuah semenanjung otonom di Ukraina selatan dengan loyalitas Rusia yang kuat. Pencaplokan ini dilakukan dengan dalih membela kepentingan warga negara yang berbahasa Rusia.
Dalam waktu beberapa hari, Rusia selesai mencaplok Krimea. Pencaplokan di Semenanjung Krimea ini mendorong pecahnya pemberontakan separatis pro-Rusia di wilayah Donetsk dan Luhansk, tempat pendeklarasian kemerdekaan dari Ukraina. Pemberontakan ini memicu pertempuran sengit berbulan-bulan. Tercatat, lebih dari 14.000 orang tewas akibat konflik tersebut.
Latihan militer Rusia dan Belarusia
Pasukan Rusia mulai tiba di Belarusia yang berbatasan dengan utara Ukraina pada tanggal 17 Januari 2022, untuk latihan militer. Belarusia menjadi sekutu Rusia dalam aksi militer ke Ukraina. Belarusia menggelar latihan perang bersama Rusia hingga memberi jalur pasukan militer Rusia ke Ukraina.
Rusia dan Belarusia sudah menggelar latihan militer bersama sejak Kamis (10 Februari), di tengah kekhawatiran negara-negara Barat bahwa Moskow sedang merencanakan eskalasi besar konflik di Ukraina. Bahkan kesepatan latihan gabungan yang semula berakhir pada akhir pekan kemarin itu diperpanjang oleh Belarusia dan Rusia.
Persiapan NATO di Eropa Timur
Tanggal 24 Januari 2022 NATO mempersiapkan dan memperkuat pasukan di Eropa timur dengan lebih banyak kapal dan pesawat jet. Selanjutnya tanggal 2 Feb 2022, AS mengatakan akan mengirimkan 3.000 pasukan tambahan ke Polandia dan Rumania untuk membantu melindungi sekutu-sekutu NATO di Eropa timur dari dampak krisis Ukraina.
Rusia mengerahkan pasukan ke perbatasan Ukraina
Hubungan antara Rusia dan Ukraina belum membaik hingga saat ini. Bahkan, di bulan November 2021 diketahui bahwa Rusia mengerahkan sekitar 100.000 tentaranya di dekat perbatasan Ukraina.
Rusia juga memperingatkan NATO, untuk tidak menjadikan Ukraina sebagai negara anggotanya. Namun, AS dan NATO menolak tuntutan Rusia. Barat mendukung Ukraina dan berjanji akan menyerang Rusia secara finansial jika pasukannya maju ke Ukraina.
Kemerdekaan Donetsk dan Luhansk
Vladimir Putin, Presiden Rusia, menandatangani dekrit pada 21 Februari yang mengakui dua wilayah di Ukraina, yaitu Donetsk dan Luhansk sebagai entitas independen yang dimiliki. Dia lebih lanjut memerintahkan pasukan Rusia untuk menjaga perdamaian di dua wilayah yang memisahkan diri.
Pengumuman itu muncul setelah Barat berulang kali memperingatkan Rusia untuk tidak mengakui dua wilayah separatis di Ukraina Timur karena akan merusak upaya perdamaian di wilayah tersebut.
Rusia Mulai Invasi militer ke Ukraina
Ukraina menyatakan bahwa Rusia mulai menyerang negaranya dari tiga sisi, membuat perang kian membara pada hari ini, Kamis (24 Februari 2022).
Layanan perbatasan Ukraina melaporkan bahwa pasukan Rusia datang dari perbatasan di timur, Belarus di utara, dan Crimea yang terletak di selatan negaranya.
"Sekitar pukul 05.00 pagi ini, perbatasan Ukraina di dekat Federasi Rusia, Republik Belarus, diserang oleh tentara Rusia yang didukung Belarus," Mereka kemudian menjabarkan bahwa di perbatasanUkraina dan Rusia, serangan terjadi di Luhansk, Sumy, Kharkiv, Chernihiv, dan Zhytomyr.
Sejauh ini, Rusia telah melancarkan serangan ke beberapa fasilitas militer Ukraina yang tersebar di beberapa titik. Termasuk di ibu kota negara itu, Kiev, dan kota besar lainnya seperti Mariupol, Kharkiv, dan juga Dnipro. "Rusia mengatakan menargetkan fasilitas militer Ukraina dengan senjata 'presisi',"
"Selain itu, serangan juga terjadi dari sisi Republik Otonomi Crimea," demikian pernyataan badan itu. Pasukan Ukraina lantas menyerang balik tentara-tentara Rusia itu untuk mengendalikan situasi di lapangan.
Pengepungan ini terjadi tak lama setelah Presiden Vladimir Putin resmi mengumumkan operasi militer khusus di Donbas, wilayah di Ukraina yang dikuasai kelompok separatis pro-Moskow. Sebelumnya, Presiden Rusia Vladimir Putin sendiri telah memperingatkan bahwa pihak asing manapun yang ikut serta dalam eskalasi ini akan mendapatkan ganjaran yang berat.
"Saya punya beberapa kata untuk mereka yang merasa tergoda untuk mengganggu perkembangan yang sedang berlangsung: siapa pun yang mencoba menghalangi kita, apalagi menciptakan ancaman bagi negara kita dan rakyatnya harus tahu bahwa tanggapan Rusia akan segera dan mengarah pada konsekuensi yang tak pernah Anda alami sebelumnya," tegasnya pada saat mendeklarasikan serangan.
Presiden Chechnya kirim 12 Ribu Pasukan mendukung Rusia
Pada tanggal 27 Februari 2022 Presiden Republik Chechnya, Ramzan Kadyrov, yang dikenal muslim taat malah mendukung total invansi Rusia ke Ukraina. Ramzan juga mempersiapkan 12 ribu pasukan. Kadyrov adalah putra Akhmad Kadyrov, presiden pertama Republik Chechnya.
Suku asli Chechnya adalah Suku Chenchen dengan mayoritas penduduknya Muslim. Pada abad ke-19, wilayah tersebut berhasil direbut Rusia, yang membuat warga Chenchen dan Ingush harus mengungsi ke Timur Tengah.
Lalu ketika Uni Soviet runtuh pada abad ke 20, masyarakat Chechnya berusaha mendapatkan kembali kemerdekaan dari Rusia. Hal tersebut menyebabkan pecah Perang Chechnya pertama pada tahun 1994. Chechnya berhasil mengalahkan Rusia dan mendapatkan kemerdekaan de facto pada 1995. Namun, Rusia kembali menyerbu Chechnya pada tahun 1999. Mereka menduduki Ibu Kota Grozny. Hingga pada 2003, diterbitkan konstitusi di mana Rusia sepakat memberikan kekuasaan penuh atas Chechnya, dengan syarat negara tersebut tetap berada dalam lingkup Federasi Rusia.
Pada tahun 2000, setelah Rusia menguasai Chechnya, Putin mengangkat Akhmad Kadyrov sebagai kepala administrasi Republik Chechnya, lalu resmi menjadi presiden Chechnya pertama pada tahun 2003. Setelah ayahnya meninggal akibat serangan bom tahun 2004, lalu Putin berinisiatif mengangkat Ramzan Kadyrov menggantikan ayahnya sebagai presiden.
Ramzan Kadyrov yang sering tampil memakai kopiah hitam ini memamerkan 12 ribu personel pasukan nasionalnya yang terdiri atas angkatan militer dan relawan. Ramzan menyetujui bahwa menyerbu Ukraina adalah keputusan yang tepat dan siap melaksanakan perintah Presiden Rusia Vladimir Putin dalam keadaan apa pun. Karena Ramzan berpikir sesungguhnya tidak akan ada Chechnya tanpa bantuan Putin.
Ramzan juga mendesak Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky meminta ampun kepada Presiden Rusia Vladimir Putin.
“Saya ingin memberikan nasihat kepada Presiden Ukraina saat ini, Zelensky, sebelum dia menjadi mantan Presiden Ukraina, agar dia bergegas dan memanggil presiden kita, panglima tertinggi Vladimir Putin,” kata Ramzan.
KESIMPULAN
Dari awal berdirinya Rusia, sejarah mencatat bahwa Ukraina merupakan bagian dari Rusia, sejak raja Oleg mendirikan kerajaan Rus Kiev. Akan tetapi dikarenakan pergolakan politik di dalam Rusia membuat wilayah bawahan Rusia melakukan pemberontakan untuk memerdekakan diri.
Dari sejarah mencatat bahwa Batalyon Azov yang beraliran neo nazi saat ini menguasai Garda Nasional Ukraina. Seperti kita ketahui bahwa Amerika dan sekutunya NATO pada awalnya ingin menjadikan Ukraina sebagai bagian dari anggota NATO, Amerika memberi dukungan penuh kepada militer Ukraina dengan mensuply persenjataan untuk melawan Rusia, dalam hal ini secara otomatis Amerika dan sekutunya sudah mendukung batalyon Azov yang beraliran neo-nazi, meskipun pada akhirnya Amerika dan NATO menyatakan tidak akan ikut campur dalam peperangan Rusia dengan Ukraina tersebut, dikarenakan ketakutan terjadi korban yang lebih banyak lagi.
Bulan Maret 2016 Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) menghubungkan Batalyon Azov dengan kejahatan perang seperti penjarahan massal, penahanan yang tidak sah, dan penyiksaan kepada rakyat Donetsk. Atas dasar inilah yang membuat presiden Putin mengatakan dia akan melakukan invasi ke Ukraina dengan tujuan demiliterisasi dan denazifikasi Ukraina dari rezim sayap kanan pengikut neo-Nazi dan “Banderites”.
Selain itu Presiden Putin tidak akan membiarkan Ukraina lepas begitu saja. Putin juga menyebut Ukraina sebagai jantung bersejarah orang Slavia dan memperingatkan Barat untuk tidak mencoba mengubahnya untuk melawan Rusia.
Dari sejarah dan history kejahatan pasukan Ukraina tersebutlah Presiden Chechnya yang penduduknya 95% muslim mendukung invasi Rusia dengan mengirimkan 12,000 pasukan yang bersiap di perbatasan Ukraina. Bantuan dari preseiden Ramzan Kadyrov ini juga adalah balas budi atas kemerdekaan Chechnya yang diberikan oleh presiden Putin kepada rakyat Chechnya.
Dari peristiwa perselisihan Rusia dan Ukraina ini terbayang oleh kita disaat sejarah Timor Timur memisahkan diri dari Indonesia. Dari sejarah mencatat bahwa Timor Timur merupakan bagian dari Indonesia sejak jaman kerajaan Majapahit dulu. Dikarenakan penjajahan oleh bangsa Portugis, Belanda, Inggris, Jepang, maka Timor Leste lepas dari Indonesia.
Portugis menjajah Timor Timur tercatat terakhir sampai tahun 1975, dimana tahun 1976, Indonesia menyerbu Portugis ke Timor Timur dan hingga akhirnya bisa merebut kembali Timor Timur kepangkuan bumi pertiwi yang menjadikannya sebagai provinsi ke 27.
Masih kita ingat disaat pergolakan politik di negara kita dengan runtuhnya presiden Suharto tahun 1998, dan kemudian digantikan presiden BJ Habibie? Disaat itu Timor Timur bergejolak dengan pemimpin separatis Xanana Gusmao yang berambisi untuk memerdekakan diri ditambah dengan desakan dari Amerika yang meminta Indonesia untuk mengesahkan referendum (jajak pendapat) kepada rakyat Timor Timur, sehingga dari hasil referendum yang diatur sedemikian rupa sehingga mayoritas 4/5 menghendaki timor Timur merdeka. Dari hasil referendum tahun 1999 dari akhirnya Timor Timur lengser dari Indonesia, dan resmi merdeka pada tahun 2002.
Dari sejarah ini, bisa kita lihat siapa dalang perpecahan kedua negara baik antara Rusia dan Ukraina maupun antara Indonesia dan Timor Timur. Semoga bisa kita ambil hikmahnya.
Wassalam,
DK
Sumber:
No comments:
Post a Comment