Makam Mahapatih Gajamada |
Kitab Nagarakretagama menuliskan bahwa pada 1285 Raja Kertanegara mengirimkan utusan ke kerajaan Sriwijaya di bawah pimpinan Kebo Anabrang (nama lainnya Mahesa Anabrang) dan Mahapatih Singosari Adityawarman (maksudnya Sri Wiswarupa Kumara atau Adwaya Brahma).
Tujuan awal Ekspedisi Pamalayu untuk menjalin kerjasama yang baik. Tetapi, penolakan Raja Dharmasraya memicu pengiriman pasukan Singosari yang dipimpin oleh Kebo Anabrang tadi yaitu seorang Melayu yang diangkat menjadi perwira Singosari.
Pertempuran pertama antara kedua kerajaan terjadi pada tahun 1268. Kemenangan Singosari ditandai dengan pengiriman Arca Amoghapasa bersama dengan 4.000 prajurit khusus Singosari. Prasasti Padangroco menyebutkan bahwa arca tersebut adalah hadiah persahabatan dari Raja Kertanagara untuk Raja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (Raja Melayu di Dharmasraya).
Kemudian, para utusan dari Kerajaan Singosari kembali ke tanah Jawa dengan membawa dua orang putri Melayu yakni Dara Petak dan Dara Jingga yang merupakan putri-putri dari Maharaja Sriwijaya (Darmasraya) Trailokya Maulibhusanawarmadewa (nama lain dari Tribuanaraja). Perjalanan ke Jawa sangat jauh dan berbahaya apalagi dua putri Maharaja tersebut dibawa oleh orang-orang yang belum dikenal dengan baik oleh mereka.
"Maharaja memerintahkan beberapa orang prajurit tangguh untuk mengawal kedua putri tersebut, di antaranya adalah Gajah Mada yang masih berusia muda," ujar budayawan Mojokerto, Dimas Cokro Pamungkas.
Dimas menuturkan bahwa Gajah Mada bukan nama yang sebenarnya, itu hanya sebuah julukan atau gelar yang diberikan kerajaan. Dahulu, Maharaja Melayu selalu memberi julukan atau nama kehormatan untuk para prajurit-prajurit terbaik mereka.
"Julukan menggunakan nama-nama binatang seperti Harimau Campo, Kucing, Kambing Hutan, Anjing Mualim, Gajah Tongga. Ada juga dengan dengan sebutan si Binuang, Si Gumarang, Si Kinantan, Si Kumbang dan banyak lainnya," ujarnya.
Pemberian gelar tersebut masih dilaksanakan sampai saat ini bagi orang-orang yang berjasa untuk negara. Nama-nama kehormatan itu selalu mempunyai arti dan makna begitu juga dengan sebutan Gajah Mada.
Mada dalam bahasa Melayu dialek Minangkabau diartikan sebagai bandel atau tidak bisa diatur. Jadi Gajah Mada itu maksudnya binatang yang berbadan besar yang tidak bisa diatur atau Gajah Bandel.
Ketangguhan dan kesetiaan Gajah Mada dan rekan-rekannya terhadap kerajaan sudah diakui sehingga mereka mendapat kepercayaan untuk mengawal putri-putri kerajaan ke tanah Jawa.
Sampai di tanah Jawa, mereka tidak menemukan lagi Kerajaan Singosari dan Kertanegara pun telah meninggal dunia. Pada saat itu, telah berdiri kerajaan baru yang bernama Majapahit yang didirikan oleh Raden (Ra Hadyahan) Wijaya (Kertajasa Jayawardhana). Raden Wijaya memperistrikan Dara Petak yang kemudian melahirkan Raja Majapahit berikutnya yakni Jayanegara dan Dara Petak mendapatkan posisi sebagai Permaisuri kerajaan Majapahit.
Sedangkan Dara Jingga diperistri oleh Mahapatih Dyah Adwayabhrahma (nama lain dari Mahesa Anabrang) yang melahirkan Adityawarman yang kelak menjadi Maharaja tanah Melayu.
Semasa Dara Petak menjadi permaisuri dan Jayanegara sebagai putra Mahkota Majapahit, Gajah Mada dipercaya sebagai prajurit istana (Bhayangkara) yang mengawal mereka. Dahulu seorang prajurit istana atau pengawal keluarga kerajaan merupakan orang terdekat dan bisa dipercaya.
Gajah Mada sejak awal sudah dipercaya oleh Kerajaan Melayu atau Sriwijaya (Darmasraya) untuk mengawal putri Dara Petak. Maka hingga pada masa di Majapahit dipercaya untuk memimpin prajurit Bayangkara yang mengawal Dara Petak beserta putranya.
Terdapat berbagai versi tentang asal usul Gajah Mada. Satu di antara versi itu menduga Gajah Mada lahir di Desa Modo, Kabupaten Lamongan. Di tempat itu ada petilasan yang dipercaya sebagai tempat kelahiran Gajah Mada.
Bahkan beberapa waktu yang lalu Bupati Lamongan memerintahkan pembentukan tim penulusuran sejarah Mahapatih Gajah Mada di Lamongan. Tim itu bertugas menyusun bukti-bukti eksistensi Gajah Mada di Lamongan. Tim ini beranggotakan sejumlah budayawan dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Kabupaten Lamongan.
Salah seorang budayawan Lamongan Viddy AD Daeru, pada Seminar dan Rembug Budaya di Lamongan menyebutkan ada sejumlah cerita rakyat (folklore) yang umum dikisahkan di wilayah pedalaman Lamongan mengenai keberadaan Gajah Mada. Cerita rakyat itu menuturkan bahwa Gajah Mada adalah anak kelahiran Desa Mada, sekarang Kecamatan Modo, Kabupaten Lamongan.
Di era Kerajaan Majapahit, wilayah Lamongan bernama Pamotan. Di wilayah Ngimbang-Bluluk ada situs kuburan Ibunda Gajah Mada, yakni Nyai Andongsari. Di dekat ada situs kuburan yang diyakini sebagai kuburan Gajah Mada namun dalam posisi "Islam", karena kuburannya menghadap ke arah yang persis sebagaimana kuburan orang Islam. Tapi tidak ada bukti sejarah yang dapat meyakinkan bahwa kuburan tersebut adalah kuburan Gajah Mada.
Ibu Gajah Mada diduga asal desa Modo. Ayahnya adalah Raja Majapahit yang menikah secara tidak sah, istri simpanan atau istilahnya lembu peteng dengan gadis cantik anak seorang Demung (kepala desa) desa Modo, wilayah Kali Lanang, Lamongan. Anak itu dinamai Jaka Mada atau jejaka dari Desa Mada. Diperkirakan kelahirannya sekitar tahun 1300.
Selanjutnya, oleh kakek Gajah Mada yang bernama Empu Mada, Jaka Mada dibawa pindah ke desa Cancing, kecamatan Ngimbang. Wilayah yang lebih dekat dengan Biluluk, salah satu Pakuwon di Pamotan, benteng Majapahit di wilayah utara. Sementara benteng utama berada di Pakuwon Tenggulun, kec. Solokuro.
Ketika Gajah Mada menyelamatkan Raja Jayanegara dari amukan pemberontak Ra Kuti, dibawanya Jayanegara ke arah Lamongan, yakni Badander, mungkin Badander Bojonegoro, Badander Kabuh, Jombang, dua-duanya rutenya ke arah Lamongan (Pamotan-Modo-Bluluk dan sekitarnya). Kronik sejarah lain menerangkan bahwa Bedander adalah Blitar lama.
"Daerah Modo adalah ibukota sejak zaman kerajaan Kahuripan, Airlangga, bahkan anak-cucunya juga mendirikan ibukota di situ, dekat dengan Kali Lamongan yang merupakan cabang utama sungai Brantas,” ujar budayawan Mojokerto, Dimas Cokro Pamungkas.
Ibukota ini baru digeser oleh cicit Airlangga ke arah Kertosono-Nganjuk, dan baru di zaman Jayabaya digeser lagi ke Mamenang, Kediri. Selanjutnya oleh Ken Arok digeser masuk lagi ke Singosari. Baru oleh Raden Wijaya dikembalikan ke arah muara, yaitu ke Tarik.
Namun anaknya, yakni Tribuana Tunggadewi, diratukan di daerah Lamongan-Pamotan-Bluluk lagi, yaitu Kahuripan. Jadi Tribuana Tunggadewi sebelum jadi Ratu Majapahit adalah Bre Kahuripan alias Rani Kahuripan, Lamongan.
Semoga bermanfaat,
DK
Sumber Oleh:
Syahrul Ansyari, Dody Handoko, Kamis, 4 Juni 2015 | 06:02 WIB
Nice post
ReplyDelete