Dunia beberapa hari yang lalu tepatnya Hari Rabu tanggal 6 Desember 2017 mengalami suatu kejutan besar yang datang dari pernyataan seorang pemimpin negara adikuasa saat ini yaitu President Donald Trump Presiden Amerika Serikat di Gedung Putih. Keputusan Trump mengumumkan pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel tersebut, telah memicu kutukan, kecaman, dan penentangan dari berbagai pihak. Lalu muncul pertanyaan tentang apa yang mendasari keputusan Trump tersebut dan apa dampaknya bagi dunia?
Dalam pidatonya di Gedung Putih, Rabu (06/12), Presiden Trump mengatakan "sudah saatnya untuk mengakui secara resmi Yerusalem sebagai ibu kota Israel".
Mengapa Trump mengambil keputusan itu? Apa alasannya?
Menurut berbagai laporan, Trump merasa frustrasi dengan penentangan yang terus-menerus dari tim keamanan nasionalnya, yang berkumpul Senin (04/12) untuk membahas opsi pengabaian kedutaan besar. Isu ini muncul setiap enam bulan saat AS diwajibkan oleh aturan untuk memindahkan kedutaan besar AS dari Tel Aviv atau mengabaikan tuntutan Kongres atas alasan keamanan.
Pejabat AS mengatakan bahwa mereka setuju untuk menandatangani pengabaian itu dengan janji mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan membuka proses memindahkan kedutaan besar. "Sementara beberapa presiden sebelumnya menjadikan ini sebagai janji utama kampanye mereka, mereka gagal memenuhinya. Hari ini, saya memenuhi janji itu," kata Trump dengan penuh kemenangan dalam pidatonya.
Wakil Presiden Pence disebut sebagai 'suara berpengaruh' dalam meyakinkan Trump untuk memenuhi janji kampanyenya itu, dan ini menggambarkan kekuatan politik dari Evangelis Kristen garis keras yang mendukung penuh Israel. Dan pengaruh Pence ini tak lepas dari pengamatan legislator Palestina dan penganut Kristen, Hanan Ashrawi. "Tuhan saya tidak memberi tahu apa yang disampaikan oleh Tuhannya," kata Ashrawi dalam wawancara dengan wartawan BBC.
"Kami adalah Kristen yang asli, kami pemilik tanah itu, kami adalah orang-orang yang sudah di sana selama berabad-abad. Berani-beraninya mereka datang ke sini dan memberikan ayat Injil dan posisi absolutis!" lanjut Ashrawi.
Mungkinkah Trump mengubah keputusan?
Bisa saja, tapi tampaknya sulit. Keputusan Trump ini memang berbeda dari presiden-presiden AS sebelumnya, mendapat kecaman dunia, dan mengejutkan banyak orang dan sepertinya Trump memang ingin berbeda dari presiden AS lain.
Status Yerusalem sebagai tempat yang suci, yang berarti bahwa pemimpin Arab tidak akan terlalu tergerak untuk mengambil pendekatan pragmatis yang akan mereka pakai dalam isu penting lain terkait konflik Israel-Palestina.
Yordania dan Arab Saudi, sebagai penjaga situs suci Islam, telah mengeluarkan peringatan bahwa langkah ini bisa membuat marah dunia Islam. Namun revolusi Arab kini memindahkan prioritasnya dari isu Palestina ke isu soal Iran, terutama di kalangan negara-negara Teluk. Karena mereka telah membentuk kerja sama intelijen diam-diam dengan Israel, dan membutuhkan Trump.
Jika pemimpin Arab mengeluarkan banyak pertanyaan soal Yerusalem tapi tak mengambil aksi apa-apa, ini menjadi bukti bahwa ada Timur Tengah yang baru. Pada akhirnya, pertanyaan besarnya bukan pada apakah ibu kota Israel adalah Yerusalem Barat, tapi apakah Yerusalem Timur yang diduduki Israel akan menjadi ibu kota negara Palestina.
Trump membuka kemungkinan itu dengan mengatakan bahwa pemerintahnya tidak mengambil posisi final mengenai status kota suci, "termasuk soal batasan spesifik akan kedaulatan Israel di Yerusalem, atau resolusi dari perbatasan yang diperdebatkan". Ini mengindikasikan bahwa klaim Palestina terhadap Yerusalem Timur akan tetap ada dalam agenda negosiasi.
Meski begitu, Trump tidak memperjelas pernyataan ini, atau bahwa dia menyatakan dengan jelas bahwa tujuannya adalah solusi dua negara. Namun dia menyatakan bahwa AS akan mendukung solusi tersebut jika disepakati oleh dua belah pihak: dan ini bukanlah dukungan yang diharapkan oleh Palestina. Pada akhirnya, Trump tidak menawarkan apa-apa bagi Palestina, dan pidatonya terasa seperti dukungan hanya kepada Israel.
Apa ada sisi positif dari pengakuan Trump?
Trump telah mengklaim bahwa pengakuan atas Yerusalem ini akan memajukan proses perdamaian. Dan keputusan ini, akan menyulitkan Presiden Palestina Mahmoud Abbas untuk melakukan perundingan.
Pejabat pemerintahan Trump mengindikasikan bahwa mereka akan melanjutkan rencana perundingan damai dan menunggu sampai keadaan tenang. Karena belum siap, maka ada waktu bagi Palestina untuk menolak proses tersebut dan mempertimbangkan ulang.
Melalui perbincangan dengan banyak orang di Ramallah, BBC News memperoleh tanggapan bahwa keputusan Washington telah merusak peluang Palestina meraih kemerdekaan sebagai negara dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota.
"Kami mengecam keputusan Amerika yang mengakhiri mimpi kami, warga Palestina. Keputusan itu menyudahi solusi dua negara," ujar Abed Jayussi, warga Ramallah lainnya.
Sebenarnya Yerusalem itu wilayah siapa?
Israel telah menduduki Yerusalem Timur sejak perang Timur Tengah selama enam hari di tahun 1967. Mereka mencaplok wilayah itu pada tahun 1980 dan menganggapnya sebagai wilayah mereka. Menurut hukum internasional, Yerusalem timur termasuk wilayah pendudukan. Sementara bagian barat kota suci ini direbut Israel dalam perang Israel-Arab pada 1948.
Setelah kependudukan, Israel mengklaim seluruh wilayah Yerusalem Timur dalam wilayah kendalinya secara de-facto. Langkah ini tidak diakui oleh komunitas internasional, termasuk Amerika Serikat, dulu. Meski kecaman terus datang dari seluruh dunia, Israel tetap pada posisinya menduduki wilayah. Solusi dua negara kemudian muncul sebagai harapan untuk mengakhiri okupasi.
Ini karena Yerusalem adalah situs suci tiga kepercayaan, yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Pada perang 1948, Zionis Israel menekan untuk pengendalian bagian barat kota. Hingga akhirnya mereka berhasil mendeklarasikan wilayah tersebut sebagai bagian kekuasaan.
Pemerintah AS sejak tahun 1948 bersikap bahwa status Yerusalem diputuskan oleh negosiasi dan bahwa mereka tidak akan melakukan tindakan yang mungkin dianggap sebagai upaya mengarahkan hasil dari negosiasi tersebut.
Pada 1967, saat wilayah timur dibawah kendali Yordania, Israel kembali menekan. Langkah itu dilanjutkan dengan memperpanjang hukum Israel hingga wilayah timur.
Pada 1980, Israel meloloskan Hukum Yerusalem yang menyebut kota suci tersebut sudah bersatu menjadi ibu kota Israel. Ini merupakan langkah formal mereka dalam menguasai Yerusalem Timur secara penuh.
Sebagai respons, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan Resolusi 478 di tahun yang sama. Dengan keras PBB mendeklarasikan klaim Israel batal demi hukum. Komunitas internasional, termasuk AS dulu sepakat Yerusalem timur adalah wilayah jajahan (Status Quo). Tidak ada negara mana pun yang mengakui bagian Yerusalem mana pun adalah ibu kota Israel.
Berdasarkan kesepakatan damai Israel-Palestina tahun 1993, status akhir atas Yerusalem akan dibahas dalam tahap perundingan lebih lanjut di kemudian hari. Namun sejak tahun 1967, Israel sudah membangun belasan kawasan permukiman -untuk menampung 200.000 warga Yahudi- di Yerusalem Timur. Langkah itu dianggap melanggar hukum internasional walau posisi ini selalu diabaikan oleh Israel.
Dengan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, maka Amerika Serikat akan memperkuat posisi Israel bahwa permukiman di kawasan timur kota itu merupakan komunitas Israel yang sah. Pusat -bahkan inti- Yerusalem adalan bagian Kota Tua, suatu labirin gang-gang sempit dan arsitektur bersejarah yang menandai empat penjuru kota: kawasan Kristen, Muslim, Yahudi dan Armenia.
Siapa Negara yang Pro dan yang Kontra ?
Amerika menjadi negara pertama di dunia yang secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, dan selain sambutan gembira dari PM Israel Benjamin Netanyahu yang mengatakan bahwa pengumuman ini adalah sebuah 'monumen bersejarah', tampaknya tak ada lagi yang setuju. Yang muncul adalah gelombang kecaman dan kritik dari berbagai penjuru dunia.
Presiden Joko Widodo menyebut "pengakuan sepihak itu melanggar berbagai resolusi Dewan Keamanan PBB" dan "bisa mengguncang stabilitas keamanan dunia." Ia juga menyerukan PBB dan Organisasi Konferensi Islam (OKI) untuk segera membahas dan menentukan sikap.
Para pemimpin dari dunia Muslim dan masyarakat internasional lain melontarkan kemarahan mereka, dan sebagian memperingatkan bahwa langkah itu menimbulkan potensi kekerasan dan pertumpahan darah.
Paus Fransiskus mengatakan, "Saya tidak dapat membungkam keprihatinan saya yang mendalam atas situasi yang muncul dalam beberapa hari ini. Pada saat yang sama, saya sangat mengharapkan semua orang untuk menghormati status quo kota, sesuai dengan resolusi PBB yang relevan."
Korea Utara ( Korut), yang notabene merupakan musuh AS, tidak ketinggalan mengecam langkah politik presiden 71 tahun itu. Melalui kantor beritanya KCNA, seperti dilansir AFP, Sabtu (9/12/2017), Pyongyang menyatakan tidak terkejut dengan aksi Trump yang mereka sebut sebagai dotard atau "orang tua yang punya penyakit mental". "Orang tua berpenyakit mental ini sudah sering menyerukan kehancuran di negara anggota PBB yang berdaulat," sindir KCNA.
Korut melanjutkan, pengakuan ini telah menunjukkan siapa sesungguhnya yang bisa dianggap sebagai penghancur kedamaian dan keamanan dunia. Pyongyang menegaskan dukungannnya bahwa Yerusalem bukanlah milik Israel, dan mereka bersama rakyat Palestina yang tengah memperjuangkan legitimasi negara mereka. "Selamanya, dunia bakal mengingat keputusan AS yang sangat gegabah dan jahat ini," kata KCNA.
Presiden Turki, Tayyip Erdogan mengatakan, Amerika Serikat (AS) telah bergabung dengan geng pembunuh karena mengakui Yerusalem sebagai Ibu Kota Israel. Ini adakah protes tebaru yang dilontarkan Erdogan terkait dengan keputusan AS tersebut.
"AS telah menjadi mitra dalam pertumpahan darah karena keputusan Presiden AS Donald Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel," kata Erdogan dalam sebuah pernyataan. "Pernyataan Presiden Trump tidak mengikat kita, juga tidak mengikat Yerusalem," sambungnya, seperti dilansir Sputnik pada Senin (11/12).
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa, Antonio Guterres, mengatakan pernyataan Presiden Trump "akan membahayakan prospek perdamaian bagi Israel dan Palestina".
Uni Eropa meminta "dimulainya kembali proses perdamaian yang berarti menuju solusi dua negara" dan mengatakan "harus ditemukan suatu cara, melalui negosiasi, untuk menyelesaikan status Yerusalem sebagai ibu kota masa depan kedua negara, sehingga aspirasi dari kedua belah pihak bisa terpenuhi".
Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan keputusan Trump untuk mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel "sangat disesalkan".
Cina dan Rusia juga menyatakan keprihatinan mereka bahwa langkah itu dapat menyebabkan peningkatan ketegangan di wilayah tersebut.
Perdana Menteri Inggris Theresa May mengatakan pemerintah Inggris tidak setuju dengan keputusan AS itu, yang disebutnya 'tidak membantu dalam hal prospek perdamaian di kawasan itu.'
Juru bicara Kanselir Jerman Angela Merkel mengatakan di Twitter bahwa Berlin "tidak mendukung sikap (Trump) ini karena status Yerusalem hanya dapat dirundingkan dalam kerangka solusi dua negara".
Semoga bermanfaat,
DK
Sumber:
No comments:
Post a Comment