Di zaman sekarang apabila kita sholat di masjid, sering kali kita melihat kebanyakan jamaahnya yang menggunakan celana panjang (bantholun/sarowil) dibandingkan menggunakan sarung (izar) atau jubah (gamis), bahkan ada juga yang menggunakan celana jeans yang terlihat ketat (membentuk aurat) atau celana bahan yang isbal (menutupi mata kaki).
Terlintas pertanyaan di benak penulis, di zaman Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dulu apakah Beliau pernah sholat menggunakan celana seperti kebanyakan kita di zaman sekarang? Ataupun para sahabat Beliau pun pernah menggunakan hal serupa? Karena apabila kita ingin benar-benar menjalankan sunah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam maka sebaiknya kita ikut mana yang sebenarnya dilakukan Rasulullah dan supaya kita terhindar dari perbuatan tasyabbuh (menyerupai perbuatan orang kafir).
Terlintas pertanyaan di benak penulis, di zaman Rasulullah shalallahu alaihi wassalam dulu apakah Beliau pernah sholat menggunakan celana seperti kebanyakan kita di zaman sekarang? Ataupun para sahabat Beliau pun pernah menggunakan hal serupa? Karena apabila kita ingin benar-benar menjalankan sunah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam maka sebaiknya kita ikut mana yang sebenarnya dilakukan Rasulullah dan supaya kita terhindar dari perbuatan tasyabbuh (menyerupai perbuatan orang kafir).
Pakaian Saat Sholat
يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا ۚ إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ
“Wahai anak Adam! Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid.” (Al A’raf: 31).
Maksud dari ayat tersebut, adalah apabila kita hendak beribadah sholat ke masjid, maka gunakanlah pakaian terbaik yang kita miliki. Terbaik bukannya yang mahal, akan tetapi yang sesuai syar'i yaitu tidak transparant (tembus pandang) tidak ketat (membentuk aurat), tidak isbal (menutup mata kaki), tidak sobek, tidak kotor dan tidak bau yang kurang sedap.
Bolehnya Menggunakan Celana Saat Sholat
Pakaian yang dianjurkan Rasulullah shalallahu alaihi wasallam, baik dalam beraktivitas, atau dalam beribadah bagi laki-laki.
عن أبي أمامة رضي الله عنه قَالَ: فَقُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَتَسَرْوَلَونَ وَلْا يَأْتَزِرُونَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «تَسَرْوَلُوا وَائْتَزِرُوا وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ» (أخرجه أحمد في مسنده (36/613)) صححه الأرناؤوط والهيثمي. وحسنه الألباني وابن حجر. حديث حسن).
Artinya:Dari Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu Anhu berkata: "Wahai Rasulullah, Sesungguhnya ahli kitab senantiasa memakai sirwal (celana) dan tidak pernah memakai izar (sarung)", lalu Nabi bersabda: “Pakailah sirwal (celana) dan juga pakailah izar (sarung), dan selisihilah ahli kitab (Yahudi dan Nasrani)." (HR Ahmad (36/613) di nilai shahih oleh Syeikh Syu’aib Al’Arna’ut dalam Tahqiq Musnad Ahmad, dan juga di nilai shahih oleh Imam Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawa’id (5/131), dll. Serta di nilai hasan oleh Syeikh Al-Albani dalam Jilbabul Mar’ah Al-Muslimah (1/185) dan di nilai hasan juga oleh Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam Fathul Bari (9/291)).
Syarah Hadits:
Imam Syaukani Rahimahullah berkata dalam mensyarah hadits Abu ‘Umamah: “Pada hadits ini terdapat izin untuk memakai sirwal (celana), serta bahwasanya untuk menyelisihi terhadap ahlul kitab [Yahudi dan Nasrani] bisa lakukan dengan memakai izar (Sarung) di sebagian waktu (kadang-kadang), bukan dengan meninggalkan sirwal juga di seluruh keadaan.” Referensi: Nailul Author Syarah Muntaqal Akhbar Karya Imam Asy-Syaukani.
Dari Abu Nu'aim menceritakan:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Amru dari Jabir bin Zaid dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa tidak mendapat sarung (ketika berihram), hendaknya ia mengenakan celana panjang, dan siapa yang tidak mendapatkan sandal, hendaknya ia mengenakan sepatu." (HR Bukhari dalam Kitab tentang pakaian nomor 57.21/5357)
Hadits Abu Nu'aim tersebut menjelaskan bahwa Rasulullah memperbolehkan kita menggunakan celana panjang dalam beribadah ihram dengan catatan apabila tidak ada sarung. Hal tersebut bisa kita terapkan untuk ibadah sholat, dimana kita di perbolehkan menggunakan celana panjang apabila tidak ada sarung.
Larangan Isbal (Menutupi Mata Kaki)
Dari Abdullah Ibnu Umar bercerita:
مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي إِزَارِي اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ: يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ! فَرَفَعْتُهُ. ثُمَّ قَالَ: زِدْ! فَزِدْتُ. فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ. فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ: إِلَى أَيْنَ؟ فَقَالَ: أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ
“Aku (Ibnu Umar) pernah melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kain sarungku terjurai (sampai ke tanah). Beliau pun bersabda, “Hai Abdullah, naikkan sarungmu!”. Aku pun langsung menaikkan kain sarungku. Setelah itu Rasulullah bersabda, “Naikkan lagi!” Aku naikkan lagi. Sejak itu aku selalu menjaga agar kainku setinggi itu.” Ada beberapa orang yang bertanya, “Sampai di mana batasnya?” Ibnu Umar menjawab, “Sampai pertengahan kedua betis.” (HR. Muslim no. 2086)
Dari hadits diatas terlihat Rasulullah memerintahkan Abdullah Ibnu Umar untuk menaikkan sarungnya, dalam hal ini Rasulullah menyebut sarung, yang berarti ketinggian sarung tersebut adalah sampai pertengahan betis. Apakah boleh dibawah itu atau hanya sampai tidak menutupi mata kaki? Perhatikan hadits berikut ini:
لا تسبن أحدا ، ولا تحقرن من المعروف شيئا ، ولو أن تكلم أخاك وأنت منبسط إليه وجهك ، إن ذلك من المعروف ، وارفع إزارك إلى نصف الساق ، فإن أبيت فإلى الكعبين ، وإياك وإسبال الإزار ؛ فإنه من المخيلة ، وإن الله لا يحب المخيلة
“Janganlah kalian mencela orang lain. Janganlah kalian meremehkan kebaikan sedikitpun, walaupun itu hanya dengan bermuka ceria saat bicara dengan saudaramu. Itu saja sudah termasuk kebaikan. Dan naikan kain sarungmu sampai pertengahan betis. Kalau engkau enggan, maka sampai mata kaki. Jauhilah isbal dalam memakai kain sarung. Karena isbal itu adalah kesombongan. Dan Allah tidak menyukai kesombongan” (HR. Abu Daud 4084, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan Abi Daud)
Hadits tersebut menjelaskan larangan isbal saat menggunakan sarung dengan ketinggian sarung yang diperbolehkan yaitu sampai pertengahan betis, jikalau kita tidak mau maka sampai diatas mata kaki.
Larangan Memakai Celana Transparan dan Ketat
Menurut Madzhab Hanafi
ولا يضر التصاقه ) أي : بالألية مثلا)
“Tidak mengapa memakai pakaian yang ketat yang menampakkan bentuk bokong, misalnya.” Dalam Syarh Al Maniyyah disebutkan,
أما لو كان غليظا لا يرى منه لون البشرة إلا أنه التصق بالعضو وتشكل بشكله فصار شكل العضو مرئيا ، فينبغي أن لا يمنع جواز الصلاة ، لحصول الستر
“Adapun jika pakaian yang dikenakan itu tebal dan tidak tampak warna kulit, namun pakaian tersebut ketat dan menampakkan bentuk anggota tubuh, maka seperti ini janganlah dilarang untuk shalat karena pakaian tersebut sudah menutupi aurat.” Hasyiyah Daril Mukhtar, Ibnu ‘Abidin, Mawqi’ Ya’sub, 1/441
Menurut Madzhab Syafi’i
فلو ستر اللون ووصف حجم البشرة كالركبة والألية ونحوها صحت الصلاة فيه لوجود الستر ، وحكي الدارمي وصاحب البيان وجهاً أنه لا يصح إذا وصف الحجم ، وهو غلط ظاهر
“Jika pakaian yang dikenakan telah menutupi warna kulit dan bentuk lekuk tubuh seperti bentuk paha atau bokong dan semacamnya masih tampak, maka shalatnya tetap sah karena aurat sudah tertutup. Sedangkan Ad Darimi dan penulis kitab Al Bayan memiliki pendapat lain, bahwa dalam kondisi demikian shalatnya tidak sah karena menampakkan bentuk lekuk tubuh. Namun pernyataan ini jelas keliru.” Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 3/170
Menurut Madzhab Maliki
( وَيُجْزِئُ الرَّجُلَ الصَّلاةُ فِي الثَّوْبِ الْوَاحِدِ ) وَيُشْتَرَطُ فِيهِ عَلَى جِهَةِ النَّدْبِ كَوْنُهُ كَثِيفًا بِحَيْثُ لا يَصِفُ وَلا يَشِفُّ ، وَإِلا كُرِهَ وَكَوْنُهُ سَاتِرًا لِجَمِيعِ جَسَدِهِ . فَإِنْ سَتَرَ الْعَوْرَةَ الْمُغَلَّظَةَ فَقَطْ أَوْ كَانَ مِمَّا يَصِفُ أَيْ يُحَدِّدُ الْعَوْرَةَ . . . كُرِهَتْ الصَّلاةُ فِيهِ مَعَ الإِعَادَةِ فِي الْوَقْتِ
“Dibolehkan bagi seseorang shalat dengan satu pakaian. Disyaratkan di dalamnya dengan maksud disunnahkan, yaitu pakaiannya hendaknya tebal, tidak menampakkan bentuk lekuk tubuh, dan tidak pula tipis. Jika tidak demikian, maka hal itu dimakruhkan. Jadi hendaknya seluruh aurat tertutup. Jika aurat tertutup dengan sesuatu yang tebal saja atau menampakkan bentuk lekuk tubuh …, shalat dalam keadaan seperti itu dimakruhkan dan shalatnya hendaknya diulangi ketika itu.” Al Fawakih Ad Dawani, Mawqi’ Al Islam, 2/437
Menurut Madzhab Hambali
ولا يعتبر ان لا يصف حجم العضو لأنه لا يمكن التحرز عنه
“Tidak teranggap pernyataan tidak membentuk lekuk tubuh karena ini adalah suatu hal yang sulit dihindari.” Ar Rowdhul Murbi’, Al Bahuti, Mawqi’ Umil Kitab, 1/16
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan,
وَإِنْ كَانَ يَسْتُرُ لَوْنَهَا ، وَيَصِفُ الْخِلْقَةَ ، جَازَتْ الصَّلَاةُ ؛ لِأَنَّ هَذَا لَا يُمْكِنُ التَّحَرُّزُ مِنْهُ ، وَإِنْ كَانَ السَّاتِرُ صَفِيقًا
“Jika pakaian tersebut sudah menutupi warna kulit secara sempurna, namun menampakkan bentuk lekuk tubuh (alias ketat, pen), shalatnya tetap sah karena seperti ini sulit dihindari walaupun dengan pakaian yang sempit asalkan menutupi aurat.” Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikri, 1/651
Pendapat Ulama Besar Lainnya
Sayyid Sabiq rahimahullah mengatakan,
الواجب من الثياب ما يستر العورة وإن كان الساتر ضيقا يحدد العورة
“Pakaian yang wajib dikenakan (ketika shalat) adalah yang menutupi aurat walaupun dengan pakaian yang sempit yang menampakkan bentuk lekuk tubuh.” Fiqh Sunnah, Sayyid Sabiq, Mawqi’ Ya’sub, 1/127
Tanggapan lain datang dari Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah, dia berpendapat bahwa orang yang berpakaian ketat saat shalat, shalatnya tetap sah namun ia berdosa. Beliau mengatakan,
الثياب الضيقة التي تصف أعضاء الجسم وتصف جسم المرأة وعجيزتها وتقاطيع أعضائها لا يجوز لبسها ، والثياب الضيقة لا يجوز لبسها للرجال ولا للنساء ، ولكن النساء أشدّ ؛ لأن الفتنة بهن أشدّ . أما الصلاة في حد ذاتها ؛ إذا صلى الإنسان وعورته مستورة بهذا اللباس ؛ فصلاته في حد ذاتها صحيحة ؛ لوجود ستر العورة ، لكن يأثم من صلى بلباس ضيق ؛ لأنه قد يخل بشيء من شرائع الصلاة لضيق اللباس ، هذا من ناحية ، ومن ناحية ثانية : يكون مدعاة للافتتان وصرف الأنظار إليه ، ولا سيما المرأة ، فيجب عليها أن تستتر بثوب وافٍ واسعٍ ؛ يسترها ، ولا يصف شيئًا من أعضاء جسمها ، ولا يلفت الأنظار إليها ، ولا يكون ثوبًا خفيفًا أو شفافًا ، وإنما يكون ثوبًا ساترًا يستر المرأة سترًا كاملاً
“Pakaian ketat yang masih menampakkan bentuk lekuk tubuh termasuk pada wanita di mana pakaian tersebut tipis dan terpotong pada beberapa bagian, seperti ini tidak boleh dikenakan. Pakaian semacam ini tidak boleh dikenakan pada laki-laki maupun pada wanita, dan pada wanita larangannya lebih keras dikarenakan godaan pada mereka yang lebih dahsyat. Adapun keabsahan shalatnya tergantung bagaimana pakaiannya. Jika seseorang shalat dan auratnya tertutup dengan pakaian tersebut, maka shalatnya dalam keadaan seperti ini sah karena sudah menutupi aurat. Akan tetapi ia berdosa jika shalat dengan pakaian ketat semacam itu. Alasannya karena ia telah meninggalkan perkara yang disyari’atkan dalam shalat. Alasan lainnya, berpakaian semacam ini dapat memalingkan pandangan orang lain padanya, lebih-lebih lagi pada wanita. Maka hendaklah berpakaian dengan pakaian longgar dan tidak ketat. Janganlah sampai menampakkan bentuk lekuk tubuh sehingga dapat memalingkan pandangan orang lain padanya. Jangan pula memakai pakaian yang tipis. Hendaklah berpakaian yang menutupi aurat dan pada wanita berpakaian dengan menutupi auratnya secara sempurna.” Al Muntaqo min Fatawa Al Fauzan, Asy Syamilah, 61/2
KESIMPULAN
Dari Al Qur'an Surat Al A’raf: 31 sudah disebutkan, pakailai pakaian yang terbaik saat ke masjid, yang artinya gunakanlah pakaian yang terbaik baik itu berupa gamis atau sarung adalah lebih baik dibandingkan celana panjang. Mengingat celana panjang terlalu banyak celahnya, meskipun diperbolehkan dengan berbagai syarat.
Perlu digarisbawahi, seluruh penjelasan di atas berlaku bagi setiap orang yang memiliki kemampuan dalam pakaian, ia berkecukupan dalam berpakaian dan mampu mengusahakan untuk memiliki pakaian yang longgar dan tidak ketat. Adapun orang yang tidak berkemampuan untuk berpakaian yang longgar, misalnya orang miskin yang hanya memiliki sebuah pakaian saja, atau orang yang berada dalam kondisi darurat sehingga tidak mendapatkan pakaian yang longgar, maka shalatnya sah dan ia tidak berdosa. Berdasarkan hadits dari Jabir bin Abdillah yang menceritakan dirinya ketika hanya memiliki sehelai kain untuk shalat, maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعاً فَالْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ كَانَ ضَيِّقاً فَأتَّزِرْ بِهِ
“Jika kainnya lebar maka gunakanlah seperti selimut, jika kainnya sempit maka gunakanlah sebagai sarung” (HR. Bukhari no.361)
Allah Ta’ala juga berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah kalian semampu kalian” (QS. At-Taghabun 16 )
Semoga bermanfaat,
Wassalam,
DK
Sumber:
https://muslim.or.id/20883-apakah-sah-shalat-dalam-keadaan-isbal.html
https://rumaysho.com/1578-hukum-shalat-dengan-bantholun-celana-panjang.html
https://rumaysho.com/1558-hukum-memakai-celana-ketat-dalam-shalat.html
No comments:
Post a Comment