“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Monday, May 15, 2017

Tata Cara Berwudhu Rasulullah


Secara syari’at wudhu’ ialah menggunakan air yang suci untuk mencuci anggota-anggota tertentu yang sudah diterangkan dan disyari’at kan Allah subhanahu wata’ala. Allah memerintahkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ 

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak melakukan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan , kedua mata-kaki..." (QS. Al-Maaidah 5 ayat 6).

"Allah tidak akan menerima shalat seseorang sebelum ia berwudhu" (HR. Bukhari di Fathul Baari, I/206; Muslim, no.255 dan imam lainnya).

Rasulullah juga mengatakan bahwa "wudhu’ merupakan kunci diterimanya shalat". (HSR. Abu Dawud, no. 60).

Utsman bin Affan ra berkata: “Barangsiapa berwudhu’ seperti yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu, dan perjalanannya menuju masjid dan shalatnya sebagai tambahan pahala baginya” (HSR. Muslim, I/142, lihat Syarah Muslim, III/13).

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Barangsiapa menyempurnakan wudhu’nya, kemudian ia pergi mengerjakan shalat wajib bersama orang-orang dengan berjama’ah atau di masjid (berjama’ah), niscaya Allah mengampuni dosa-dosanya” (HR. Muslim, I//44, lihat Mukhtashar Shahih Muslim, no. 132).

Maka wajiblah bagi segenap kaum muslimin untuk mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam dalam segala hal, lebih-lebih dalam berwudhu’. Al-Hujjah kali ini memaparkan secara ringkas tentang tatacara wudhu’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam melakukan wudhu’:


1. Memulai wudhu’ dengan niat.
Niat artinya menyengaja dengan kesungguhan hati untuk mengerjakan wudhu’ karena melaksanakan perintah Allah subhanahu wata’ala dan mengikuti perintah Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Salam.
Ibnu Taimiyah berkata: “Menurut kesepakatan para imam kaum muslimin, tempat niat itu di hati bukan lisan dalam semua masalah ibadah, baik bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya. Karena niat adalah kesengajaan dan kesungguhan dalam hati". (Majmu’atu ar-Rasaaili al-Kubra, I/243)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menerangkan bahwa "segala perbuatan tergantung kepada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya". (HR. Bukhari dalam Fathul Baary, 1:9; Muslim, 6:48).

Tidak disyari’atkan untuk mengucapkan niat, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengerjakannya.


2. Tasmiyah (membaca bismillah)
Beliau memerintahkan membaca bismillah saat memulai wudhu’. Beliau bersabda:
"Tidak sah/sempurna wudhu’ sesorang jika tidak menyebut nama Allah, (yakni bismillah)" (HR. Ibnu Majah, 339; Tirmidzi, 26; Abu Dawud, 101. Hadits ini Shahih, lihat Shahih Jami’u ash-Shaghir, no. 744).

Abu Bakar, Hasan Al-Bashri dan Ishak bin Raahawaih mewajibkan membaca bismillah saat berwudhu’. Pendapat ini diikuti pula oleh Imam Ahmad, Ibnu Qudamah serta imam-imam yang lain, dengan berpegang pada hadits dari Anas tentang perintah Rasulullah untuk membaca bismillah saat berwudhu’. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah!” (HR. Bukhari, I: 236, Muslim, 8: 441 dan Nasa’i, no. 78)

Dengan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam: ”Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah” maka wajiblah tasmiyah itu. Adapun bagi orang yang lupa sebaiknya mengulangnya kembali dengan membaca bismillah kembali karena sesuai hadits Bukhari dan Mustlim diatas. “Berwudhu’lah kalian dengan membaca bismillah!”. Wallahu a’lam.


3. Mencuci kedua telapak tangan

Gambar 3. Mencuci kedua telapak tangan

Bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam mencuci kedua telapak tangan saat berwudhu’ sebanyak tiga kali. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam juga membolehkan mengambil air dari bejana dengan telapak tangan lalu mencuci kedua telapak tangan itu. Tetapi Rasulullah melarang bagi orang yang bangan tidur mencelupkan tangannya ke dalam bejana kecuali setelah mencucinya. (HR. Bukhari-Muslim)


4. Berkumur-kumur dan menghirup air ke hidung

Gambar 4.1. Mengambil air menggunakan telapak tangan kanan
Gambar 4.2. Memencet hidung dengan tangan kiri


Setelah mencuci tangan, dilanjutkan dengan berkumur-kumur atau madh-madhah dan beristinsyak. Asal sunnah sudah tercapai dengan memasukkan air ke dalam mulut, baik air tersebut diputar di dalam mulutnya atau membuangnya ataukah tidak membuangnya (hal ini dilakukan hanya jika tidak berpuasa). Jika mau yang lebih sempurna, air tersebut dikeluarkan.

Cara lengkapnya yaitu dengan mengambil air sepenuh telapak tangan kanan lalu berkumur-kumur (madh-madhah) dan langsung  memasukkan air kedalam hidung dengan cara menghirupnya (beristinsyak) dengan sekali nafas sampai air itu masuk ke dalam hidung yang paling ujung, kemudian menyemburkannya (istinsyar) dengan cara memencet hidung dengan tangan kiri. (Lihat Zaad Al-Ma’ad, 1:185.)

Hal ini berdasarkan hadits dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا اسْتَيْقَظَ أَحَدُكُمْ مِنْ مَنَامِهِ فَتَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ ثَلاَثًا ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ يَبِيتُ عَلَى خَيْشُومِهِ

“Jika salah seorang di antara kalian bangun dari tidurnya, maka hendaklah berwudhu lalu beristintsar (mengeluarkan air dari hidung, pen.) sebanyak tiga kali karena setan bermalam di batang hidungnya.” (HR. Bukhari, no. 3295 dan Muslim, no. 238)

Selanjutnya  hadits yang diriwayatkan oleh semua pemilik kitab Sunan (Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah) ini dan disahihkan oleh Ibnu Khuzaimah sebagaimana dalam kitab Bulugh Al-Maram:

عن لقيط بن صبرة رضي الله عنه قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : (أسبغ الوضوء، وخلل بين الأصابع، وبالغ في الاستنشاق، إلا أن تكون صائما)

Laqith Ibnu Shabirah Radliyallahu ‘Anhu berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sempurnakanlah dalam berwudhu, usaplah sela-sela jari, dan isaplah air ke dalam hidung dalam-dalam kecuali jika engkau sedang berpuasa,” (HR. Abu Daud, no. 142; Tirmidzi, no. 38; An-Nasai, 1:66; Ibnu Majah, no. 448; Ibnu Khuzaimah, 150, 168. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih, disahihkan pula oleh Ibnu Al-Qaththan. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:175).

Cara berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu,
فَمَضْمَضَ وَاسْتَنْشَقَ مِنْ كَفٍّ وَاحِدَةٍ فَفَعَلَ ذَلِكَ ثَلاَثًا

“Kemudian ia berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung melalui satu telapak tangan dan hal demikian dilakukan sebanyak tiga kali.” ‘Abdullah bin Zaid mengatakan itulah cara wudhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Muslim, no. 235)

Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam menganjurkan untuk bersungguh-sungguh menghirup air ke hidung, kecuali dalam keadaan berpuasa, berdasarkan hadits Laqith bin Shabrah. (HR. Abu Dawud, no. 142; Tirmidzi, no. 38, Nasa’i )

Hukum berkumur-kumur (madh-madhah) ini terjadi ikhtilaf (perbedaan) diantar ulama. Mayoritas ulama (jumhur ulama) seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Nawawi dan Abu Hurairah menyatakan hukum berkumur-kumur tersebut adalah sunah.

Imam Malik dan Imam Syafi'i menyatakan berkumur dan istinsyak adalah sunah dilakukan saat berwudhu karena sesuai dengan firman Allah:

﴿ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ ﴾

“Wahai orang-orang yang beriman apabila kalian hendak berwudhu maka basuhlah wajah kalian.” (Al-Maidah ayat 6)

Imam Syafi'i menafsirkan Surat Al Maidah ayat 6 diatas bahwa ayat ini merupakan dalil sunahnya berwudhu, karena di dalamnya terdapat penyebutan membasuh wajah, tetapi tidak ada penyebutan berkumur dan istinsyaq. Jika dikatakan keduanya termasuk bagian wajah, maka kurang tepat, karena wajah tidaklah dinamakan dengan wajah kecuali untuk muwaajahah (berhadapan), sedangkan yang ada di dalam mulut dan hidung bukanlah untuk muwaja hah, maka tidak bisa dinamakan wajah.

Imam Syafi’i juga mengklaim bahwa hal ini adalah suatu yang disepakati dan tidak ada perselisihan, walaupun beliau sangat menyukai berkumur dan istinsyaq:

وَلَمْ أَعْلَمْ الْمَضْمَضَةَ وَالِاسْتِنْشَاقَ عَلَى الْمُتَوَضِّئِ فَرْضًا وَلَمْ أَعْلَمْ اخْتِلَافًا فِي أَنَّ الْمُتَوَضِّئَ لَوْ تَرَكَهُمَا عَامِدًا أَوْ نَاسِيًا وَصَلَّى لَمْ يُعِدْ وَأَحَبُّ إلَيَّ أَنْ يَبْدَأَ الْمُتَوَضِّئُ بَعْدَ غَسْلِ يَدَيْهِ أَنْ يَتَمَضْمَضَ وَيَسْتَنْشِقَ ثَلَاثًا

“Aku tidak mengetahui wajibnya berkumur dan istinsyaq bagi orang yang berwudhu, aku juga tidak mengetahui ada perselisihan bahwa orang yang berwudhu jika meninggalkannya secara sengaja dan lupa kemudian shalat maka tidak perlu mengulangi. Dan lebih aku sukai orang yang berwudhu untuk memulai dengan berkumur dan istinsyaq setelah membasuh kedua telapak tangannya” (Al-Umm 1/39)

Kalau kita pahami dari perkataan imam Syafi'i tersebut, yang menyatakan bahwa beliau lebih menyukai orang yang berwudhu dengan berkumur dan beristinsyaq, walaupun beliau menganggapnya sunah.

Berkata Ibnu Hajar Al Asqalani tentang perkataan Imam Syafi’i dari hadits tersebut diatas:

“وهذا دليل قوي، فإنه لا يُحْفَظ ذلك عن أحدٍ من الصحابة ولا التابعين، إلاَّ عن عطاء، وثبَت عنه أنه رجَع عن إيجاب الإعادة”

“Ini adalah dalil yang kuat, karena hal tersebut tidak diketahui dari satupun dari kalangan sahabat dan tabi’in, kecuali dari ‘Atho. Yang benar, beliau rujuk dari pendapat wajibnya mengulang wudhu (jika meninggalkan berkumur dan istinsyaq)”. (Fathul Bari 1/262)

Pendapat Ibnu Hajar ini menyatakan bahwa berkumur dan istinsyak adalah wajib saat berwudhu, bahkan kita harus mengulangnya jika meninggalkannya.

Sementara Abu Khurairrah menyatakan berkumur-kumur adalah sunah sementara beristinsyak adalah wajib berdasarka hadits riwayat Imam Muslim dibawah ini:

«إِذَا تَوَضَّأَ أَحَدُكُمْ فَلْيَسْتَنْشِقْ بِمَنْخِرَيْهِ مِنَ الْمَاءِ ثُمَّ لِيَنْتَثِرْ»

“Jika salah satu di antara kalian berwudhu maka masukkan air ke dalam hidungnya kemudian keluarkan” (HR. Muslim No. 1/212)

Pendapat Imam Ahmad bin Hanbali muridnya Imam Syafi'i menjelaskan penafsiran surat Al Maidah ayat 6 tersebut berbeda dengan gurunya, Imam Ahmad menyatakan bahwa kedua antara berkumur dan istinsyak adalah wajib saat berwudhu, beliau menafsirkan: "Allah Ta’ala berfirman (Dan basuhlah wajah-wajah kalian), sedangkan mulut dan hidung termasuk wajah, sehingga termasuk dalam keumuman perintah Allah ta’ala. Sebagaimana yang dijelaskan di atas, bahwa wajah pada asalnya adalah “bagian yang hanya digunakan untuk berhadap-hadapan” hanya saja Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan dengan perbuatan beliau bahwa wajah dalam berwudhu tidak seperti wajah yang dipahami sesuai makna asal, akan tetapi sudah berubah dan mencakup berkumur dan istinsyaq."

Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa Rasulullah shalallahualaihi wassalam berkata:

مَنْ تَوَضَّأَ فَلْيَسْتَنْثِرْ

“Siapa yang berwudhu maka beristintsarlah.”  (HR Ahmad no. 10718)

Imam Ahmad menegaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa melakukan keduanya dan tidak pernah meninggalkan keduanya, kalau memang hanya sunnah, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan meninggalkan keduanya walau hanya sekali untuk menunjukkan akan bolehnya. Perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hal ini adalah bentuk penjelasan dari perintah Allah dalam berwudhu, maka perintah membasuh wajah di dalam ayat yang masih mujmal (global), dijelaskan dengan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa membasuh wajah termasuk juga berkumur dan istinsyaq.

Dan juga hadits yang diriwayatkan dari Laqith bin Sobiroh, bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَوَضَّأْتَ فَمَضْمِضْ

“Jika engkau berwudlu maka berkumur-kumurlah” (HR Abu Daud no 144 dan Al-Baihaqi no 237, dan dishahihkan oleh Mugholthoy di Syarh Sunan Ibni Maajah 1/270 dan Al-Albani)

Sisi pendalilan semua dalil-dalil diatas menggunakan kata perintah, sedangkan perintah menunjukkan hukum wajibnya sesuatu yang diperintahkan, kecuali ada sesuatu yang memalingkannya. Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan agar berwudhu sesuai dengan perintah Allah azza wa jalla, sedangkan termasuk dalam perintah Allah azza wa jalla adalah mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka perintah-perintah di atas bisa dipahami makna wajib inilah pendapat yang lebih kuat walaupun jumhur ulama menyatakannya sunah.

Akan tetapi sesuatu yang wajib tersebut bisa berubah menjadi sunah tatkala ada suatu penghalang untuk melakukannya, seperti contoh saat berhaji dan umrah, dimana apabila suasana ramai dan padat para jamaah, tatkala kita batal wudhu dan akan berwudhu kembali, seandainya lokasi wudhu jauh, dan kita khawatir akan tertinggal sholat, maka yang kita lakukan adalah kita bisa menggunakan botol air dengan spray yang kita semprotkan ke tangan untuk berwudhu, disaat itu kita bisa abaikan aktifitas berkumur dan istinsyak dikarenakan kita tidak mau mengotori lantai masjidil haram dengan ludah dan istinsyar kita. Wallahua'lam bissawab.


5. Membasuh muka sambil menyela-nyela jenggot.
Gamber 5. Membasuh muka dan menyela jenggot

Yakni mengalirkan air keseluruh bagian muka. Batas muka itu adalah dari tumbuhnya rambut di kening sampai jenggot dan dagu, dan kedua pipi hingga pinggir telinga. Sedangkan Allah memerintahkan kita:

”Dan basuhlah muka-muka kamu.” (Al-Maidah: 6)

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Humran bin Abaan, bahwa "cara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam membasuh mukanya saat wudhu’ sebanyak tiga kali”. (HR Bukhari, I/48), Fathul Bari, I/259. no.159 dan Muslim I/14)

Setalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam membasuh mukanya beliau mengambil seciduk air lagi (di telapak tangan), kemudian dimasukkannya ke bawah dagunya, lalu ia menyela-nyela jenggotnya, dan beliau bersabda bahwa hal tersebut diperintahkan oleh Allah subhanahu wata’ala. (HR. Tirmidzi no.31, Abu Dawud, no. 145; Baihaqi, I/154 dan Hakim, I/149, Shahih Jaami’u ash-Shaghir no. 4572).


6. Membasuh kedua tangan sampai siku
Gambar 6. Membasuh kedua tangan sampai siku
Menyiram air pada tangan sampai membasahi kedua siku, Allah subhanahu wata’ala berfirman:

”Dan bashlah tangan-tanganmu sampai siku” (Al-Maidah: 6)

Rasulullah membasuh tangannya yang kanan sampai melewati sikunya, dilakukan tiga kali, dan yang kiri demikian pula, Rasulullah mengalirkan air dari sikunya (Bukhari-Muslim, HR. Daraquthni, I/15, Baihaqz, I/56)

Rasulullah juga menyarankan agar melebihkan basuhan air dari batas wudhu’ pada wajah, tangan dan kaki agar kecemerlangan bagian-bagian itu lebih panjang dan cemerlang pada hari kiamat (HR. Muslim I/149)


7. Mengusap kepada, telinga dan sorban
Gambar 7.1. Menyusap kepala dari depan ke belakang dan kedepan lagi
Gambar 7.2. Membasuh telinga dari bawah ke atas

Mengusap kepala, haruslah dibedakan dengan mengusap dahi atau sebagian kepala. Sebab Allah subhanahu wata’ala memerintahkan:

”Dan usaplah kepala-kepala kalian…” (Al-Maidah: 6).

Rasulullah mencontohkan tentang caranya mengusap kepala, yaitu dengan kedua telapak tangannya yang telah dibasahkan dengan air, lalu ia menjalankan kedua tangannya mulai dari bagian depan kepalanya ke belakangnya tengkuknya kemudian mengambalikan lagi ke depan kepalanya. (HSR. Bukhari, Muslim, no. 235 dan Tirmidzi no. 28 lih. Fathul Baari, I/251)

Setelah itu tanpa mengambil air baru Rasulullah langsung mengusap kedua telingannya. Dengan cara memasukkan jari telunjuk ke dalam telinga, kemudian ibu jari mengusap-usap kedua daun telinga. Karena Rasulullah bersabda: ”Dua telinga itu termasuk kepala.”(HSR. Tirmidzi, no. 37, Ibnu Majah, no. 442 dan 444, Abu Dawud no. 134 dan 135, Nasa’i no. 140)

Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ahadits adh-Dha’ifah, no. 995 mengatakan: “Tidak terdapat di dalam sunnah (hadits-hadits nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam) yang mewajibkan mengambil air baru untuk mengusap dua telinga. Keduanya diusap dengan sisa air dari mengusap kepala berdasarkan hadits Rubayyi’:

Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengusap kepalanya dengan air sisa yang ada di tangannya. (HR. Abu Dawud dan lainnya dengan sanad hasan)

Dalam mengusap kepala Rasulullah melakukannya satu kali, bukan dua kali dan bukan tiga kali. Berkata Ali bin Abi Thalib ra : “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengusap kepalanya satu kali. (lihat _Shahih Abu Dawud, no. 106). Kata Rubayyi bin Muawwidz: “Aku pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam berwudhu’, lalu ia mengusap kepalanya yaitu mengusap bagian depan dan belakang darinya, kedua pelipisnya, dan kedua telinganya satu kali.“ (HSR Tirmidzi, no. 34 dan Shahih Tirmidzi no. 31)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam juga mencontohkan bahwa bagi orang yang memakai sorban atau sepatu maka dibolehkan untuk tidak membukanya saat berwudhu’, cukup dengan menyapu diatasnya, (HSR. Bukhari dalam Fathul Baari I/266 dan selainnya) asal saja sorban dan sepatunya itu dipakai saat shalat, serta tidak bernajis.

Adapun peci/kopiah/songkok bukan termasuk sorban, sebagaimana dijelaskan oleh para Imam dan tidak boleh diusap diatasnya saat berwudhu’ seperti layaknya sorban. Alasannya karena: Peci/kopiah/songkok diluar kebiasaan dan juga tidak menutupi seluruh kepala. Tidak ada kesulitan bagi seseorang untuk melepaskannya.

Adapun Kerudung, jilbab bagi wanita, maka dibolehkan untuk mengusap diatasnya, karena ummu Salamah (salah satu isteri Nabi) pernah mengusap jilbabnya, hal ini disebutkan oleh Ibnu Mundzir. (Lihat al-Mughni, I/312 atau I/383-384).


8. Membasuh kedua kaki sampai kedua mata kaki
Gambar 8. Membasuh kedua kaki sampai mata kaki

Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam surat Al-Maidah ayat 6:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ…

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kalian hendak mendirikan shalat, maka basuhlah wajah-wajah kalian, basuhlah kedua tangan kalian sampai ke sikunya dan usaplah kepala-kepala kalian, setelah itu basuhlah kedua kaki kalian sampai ke mata kakinya.” (QS. Al-Maidah[5]: Ayat 6)

Rasulullah shalallahu alaihi wassalam bersabda:
"Rasulullah menyuruh umatnya agar berhati-hati dalam membasuh kaki, karena kaki yang tidak sempurna cara membasuhnya akan terkena ancaman neraka, sebagaimana beliau mengistilahkannya dengan tumit-tumit neraka. Beliau memerintahkan agar membasuh kaki sampai kena mata kaki bahkan beliau mencontohkan sampai membasahi betisnya. Beliau mendahulukan kaki kanan dibasuh hingga tiga kali kemudian kaki kiri juga demikian. Saat membasuh kaki Rasulullah menggosok-gosokan jari kelingkingnya pada sela-sela jari kaki." (HR. Bukhari; Fathul Baari, I/232 dan Muslim, I/149, 3/128)

Imam Nawai di dalam Syarh Muslim berkata. “Maksud Imam Muslim berdalil dari hadits ini menunjukkan wajibnya membasuh kedua kaki, serta tidak cukup jika dengan cara mengusap saja.”
Sedangkan pendapat menyela-nyela jari kaki dengan jari kelingking tidak ada keterangan di dalam hadits. Ini hanyalah pendapat dari Imam Ghazali karena ia mengqiyaskannya dengan istinja’.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “…barangsiapa diantara kalian yang sanggup, maka hendaklahnya ia memanjangkan kecermerlangan muka, dua tangan dan kakinya.” (HR. Muslim, 1/149 atau Syarah Shahih Muslim no. 246)

Jadi buat sobat blogger yang susah untuk menyela jari kaki, khususnya maaf bagi sobat blogger yang berbadan gemuk atau dikarenakan suatu udzur seperti cacat kaki, maka cukup dengan membasuh kedua kakinya, maksudnya adalah memasukkan kakinya kedalam air atau dengan menyiramkan air secara merata keseluruh permukaan telapak kaki, jari-jemari kaki, tumit hingga mata kaki itupun sudah sah tanpa harus menyela jari-jemari, karena pada dasarnya menyela jemari kaki adalah supaya air terkena merata di sela-sela jari jemari kaki.

Akan tetapi apabila kita tidak bisa melakukannya dikhawatirkan menjadi mudhorat akan terpeleset jatuh, maka sebaiknya menyela jari-jemari tidak perlu dilakukan. Dengan syarat semua telapak kaki, jari-jemari hingga tumit dan mata kaki harus terendam air atau tersiram air merata, karena apabila tidak terendam sebaiknya mengulang kembali wudhu kita agar wudhu kita sempurna seperti yang dijelaskan pada hadits riwayat Imam Muslim dibawah ini:

Dalam riwayat Imam Muslim, disebutkan bahwa ‘Abdullah bin ‘Amr berkata,

رَجَعْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- مِنْ مَكَّةَ إِلَى الْمَدِينَةِ حَتَّى إِذَا كُنَّا بِمَاءٍ بِالطَّرِيقِ تَعَجَّلَ قَوْمٌ عِنْدَ الْعَصْرِ فَتَوَضَّئُوا وَهُمْ عِجَالٌ فَانْتَهَيْنَا إِلَيْهِمْ وَأَعْقَابُهُمْ تَلُوحُ لَمْ يَمَسَّهَا الْمَاءُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « وَيْلٌ لِلأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ أَسْبِغُوا الْوُضُوءَ »

“Kami pernah kembali bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Makkah menuju Madinah hingga sampai di air di tengah jalan, sebagian orang tergesa-gesa untuk shalat ‘Ashar, lalu  mereka berwudhu dalam keadaan terburu-buru. Kami pun sampai pada mereka dan melihat air tidak menyentuh tumit mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Celakalah tumit-tumit dari api neraka. Sempurnakanlah wudhu kalian.” (HR. Muslim no. 241).

وَعَنْ أَنَسٍ – رضي الله عنه – قَالَ: – رَأَى اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – رَجُلًا, وَفِي قَدَمِهِ مِثْلُ اَلظُّفُرِ لَمْ يُصِبْهُ اَلْمَاءُ. فَقَالَ: “اِرْجِعْ فَأَحْسِنْ وُضُوءَكَ” – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالنَّسَائِيّ

Dari Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang laki-laki yang pada tumit kakinya ada bagian sebesar kuku yang belum terkena air, maka beliau bersabda, ‘Ulangilah wudhumu lalu perbaguslah.’” (Dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasai) [HR. Abu Daud, no. 173; Ibnu Majah, no. 655; Ahmad, 19:471]


9. Tertib

Semua tata cara wudhu’ tersebut dilakukan dengan tertib (berurutan) muwalat (menyegerakan dengan basuhan berikutnya) dan disunahkan taya amun (mendahulukan yang kanan atas yang kiri) [Bukhari-Muslim]

Dalam penggunaan air hendaknya secukupnya dan tidak berlebihan, sebab Rasulullah pernah mengerjakan dengan sekali basuhan, dua kali basuhan atau tiga kali basuhan [Bukhari]

Sementara saat berwudhu pun kita tidak dilarang tuntuk berbicara selama air yang ada di anggota tubuh kita belum mengering.  Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah ditegaskan:

ولم يحرم الحديث أثناء الوضوء أحد، فهو جائز مع الكراهة وتركه أولى

“Tidak ada satupun ulama yang mengharamkan berbicara ketika wudhu. Karena itu, berbicara pada saat wudhu dibolehkan, hanya saja hukumnya makruh, kurang utama.” (Fatawa Syabakah, no. 14793)


10. Berdoa

Berdasarkan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Tidaklah seorang di antara kalian berwudhu, lalu menyempurnakan wudhunya, kemudian berdo’a:
"Ashadu alla ilaaha illallah, wahdahu laa syarikalah, wa ashhadu anna Muhammadan 'Abduhu warosuluhu"
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.

“Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak dibadahi dengan benar kecuali Allah. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Melainkan dibukakan baginya delapan pintu Surga. Dia memasukinya dari arah mana saja yang ia kehendaki.” Shahiih Muslim (no. 143)] dan Shahiih Muslim (I/209 no. 234)

Imam At-Tirmidzi menambahkan doa:
"Allahummaj'alnii mitattawwaabiina waj'alnii minal mutathohhiriin"

اَللّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ.


“Ya Allah, jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bertaubat. Dan jadikanlah aku termasuk orang-orang yang bersuci.” [Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 48) dan Sunan at-Tirmidzi (I/38 no. 55)]

Dari Abu Sa’id, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berwudhu lalu mengucap:
"Subhanakallahumma wa bihamdika, asy-hadu alla ilaaha illa anta, astaghfurika wa atuubu ilaik"

سُبْحَانَكَ اللّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ.

“Mahasuci dan Terpuji Engkau ya Allah. Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Engkau. Aku memohon ampunan dan bertaubat kepada-Mu.” Niscaya ditulislah dalam lembaran putih, lalu dicap dengan sebuah stempel yang tidak akan rusak hingga hari Kiamat.” [Shahih: [At-Targhiib (no. 220)], Mustadrak al-Hakim (I/564). Do'a ini sama seperti do'a kafaratul masjid yaitu do'a saat setelah menghadiri kajian di masjid.

Sementara do'a ketika wudhu (saat membasuh anggota tubuh) tidak ada riwayat yang shahih yang menjelaskannya.

Berdoa setelah wudhu kedudukannya merupakan sama halnya dengan dzikir yang sifatnya rutinitas, jadi tidak perlu mengangkat tangan. Sama halnya dengan doa masuk WC, doa berjimak, dan doa lainnya yang merupakan dzikir rutinitas.

Mengenai berdoa menghadap kiblat, sampai saat ini penulis belum menemukannya riwayat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam apakah menghadap kiblat atau tidak? Akan tetapi sebaiknya kita usahakan untuk selalu menghadap kiblat, karena tuntunan cara berdoa yang baik adalah menghadap kiblat, sebaliknya apabila kita terpaksa dalam keadaan tidak menghadap kiblatpun diperbolehkan.

Mengenai apakah setelah berwudhu boleh atau tidaknya dikeringkan menggunakan handuk, hal tersebut pernah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah, beliau berkata mengenai hadits riwayat Muslim No. 317 yang berbunyi: "Maimunah radhiyallahu ‘anha ketika menggambarkan tata cara mandi wajib (mandi janabah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam". Dalam hadits tersebut Maimunah radhiyallahu ‘anha mengatakan,
ثُمَّ أَتَيْتُهُ بِالْمِنْدِيلِ فَرَدَّهُ

“Kemudian aku ambilkan kain untuk beliau, namun beliau menolaknya” (Muttafaq ‘alaihi. Lafadz hadits ini milik Muslim no. 317).

Sebagian besar orang memahami dari hadits tersebut bahwa tidak di syariatkan untuk menyeka atau mengeringkan air wudhu tersebut yang menempel di kulit kita. Akan tetapi Ibnu Taimiyah berangapan bahwa hal tersebut adalah pemahaman yang salah, kenapa? Karena, apabila kebiasaan Rasulullah itu tidak pakai handuk maka sudah tentu Maimunah tidak akan bawakan handuk, justru karena kebiasaan nabi yang biasanya menggunakan handuk, makanya dibawakan handuk. Akan tetapi pada saat itu Beliau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menolaknya untuk menggunakan handuk. Sehingga tidak bisa dijadikan dalil bahwa Rasulullah tidak mengeringkannya menggunakan handuk.

Di dalam hadits lain yang menerangkan bahwa Rasulullah mengeringkan air wudhunya dengan handuk, berikut penjelasannya: diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

كَانَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِرْقَةٌ يُنَشِّفُ بِهَا بَعْدَ الوُضُوءِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kain yang beliau gunakan untuk mengeringkan anggota badan setelah berwudhu” (HR. At-Tirmidzi no. 53, dan beliau mendha’ifkan hadits ini. Namun yang lebih tepat, hadits ini memiliki penguat sehingga dinilai hasan oleh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ hadits no. 4706).

Juga hadits yang diriwayatkan oleh Salman Al-Farisi radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَوَضَّأَ، فَقَلَبَ جُبَّةَ صُوفٍ كَانَتْ عَلَيْهِ، فَمَسَحَ بِهَا وَجْهَهُ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu, kemudian membalik jubah wol beliau dan mengusap wajahnya dengannya (bagian dalam jubahnya, pen.)” (HR. Ibnu Majah no. 468 dengan sanad yang hasan).

Jadi kesimpulan untuk mengeringkan air wudhu ini, adalah boleh mengeringkan dan boleh juga tidak dikeringkan, tergantung keyakinan kita masing-masing, akan tetapi untuk menjaga kesehatan sebaiknya dikeringkan, karena apabila tidak dikeringkan maka memungkinkan akan timbul bau dan tumbuh jamur pada pakaian kita.


11. Shalat dua raka’at setelahnya

Berdasarkan hadits ‘Utsman Radhiyallahu anhu setelah mengajari mereka tata cara wudhu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu sebagaimana wudhuku ini. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوُ وُضُوْئِـي هذَا، ثُمَّ قَـامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيْهِمَا نَفْسُهُ، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.

“Barangsiapa berwudhu sebagaimana wudhuku ini, lalu shalat dua raka’at, sedang dia tidak berkata-kata dalam hati (tentang urusan dunia) ketika melakukannya, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.”

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Bilal ketika hendak shalat Shubuh, “Wahai Bilal, beritahulah aku amalan yang paling engkau harapkan (pahalanya) yang engkau kerjakan dalam Islam. Karena sesungguhnya aku mendengar suara kedua sandalmu di hadapanku di Surga.” Dia menjawab, “Tidaklah aku melakukan amalan yang paling aku harapkan (pahalanya). Hanya saja, aku tidaklah bersuci, baik saat petang maupun siang, melainkan aku shalat (sunnah) dengannya apa-apa yang sudah dituliskan (ditakdir-kan) tentang shalatku.” [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (III/34 no. 1149)] dan Shahiih Muslim (IV/1910 no. 2458)]


Semoga tulisan ini menjadi risalah dalam berwudhu’ yang benar serta merupakan pedoman kita sehari-hari.

Wassalam,
DK

Video Cara berwudhu:



Maraji’:
Sifat Wudhu’ Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam, Syaikh Fadh asy Syuwaib.
At-Tadzkirah, Syaikh Ali Hasan al-Halabi al-Atsari
Al-Hujjah Risalah No: 27 / Thn IV / 1422H


Sumber :