“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Wednesday, May 3, 2017

Watu Kendil Desa Candirejo, Magelang


Watu Kendil adalah batu berbentuk kendil (belanga tanah liat) sebesar rumah yang menempel kokoh di tepi jurang. Padahal bagian yang menempel di tanah diameternya tak lebih dari tiga meter, tapi dia tetap aman tak begerak, bahkan ketika gempa melanda Yogyakarta, beberapa tahun lalu. 

Berlokasi di Desa Candirejo, Magelang, traveler dapat menemukan objek wisata Watu Kendil yang masih belum populer. Akses masuknya dapat dilalui via jalan utama.


Lokasi jalan masuk ke Watu kendil
Berhubung Watu Kendil masih belum populer, akses berupa papan penanda menuju objek wisata ini masih cukup minim. Pastikan Anda bertanya pada penduduk sekitar jika merasa tidak yakin.

Dalam bahasa Jawa, Watu berarti batu dan kendil berarti periuk. Ya, batu ini memang tampak seperti periuk sejenis alat masak tradisional terbuat dari batu. 

Arah jalan menuju Watu Kendil
Ajaibnya, batu di Watu Kendil ini terletak persis di tepi jurang. Namun walau tampak ringkih, batu itu tetap stabil dan tetap berpijak pada posisinya.

Umumnya wisatawan datang ke sini pada pagi hari untuk melihat sunrise. Sekedar informasi, batu ini juga terletak di lahan warga. Pemandangan Magelang serta jajaran pegunungan dari Watu Kendil. Sungguh indah dan mempesona.

Penduduk meyakini Watu Kendil berfungsi sebagai batu sumpal dan dijaga seekor ular siluman hitam besar. Watu Kendil menyumpal mata air besar yang ada di bawahnya, sehingga jika batu itu berhasil menggelinding, akan keluar air berkekuatan sangat besar dari bumi. Tak ayal, Watu Kendil jadi lambang stabilitas kawasan Candirejo.

Posisi dudukan Watu Kendil dari dekat
Di salah satu lekuk bukit yang lebih tinggi dari posisi Watu Kendil, terdapat tiga gua yang dinamakan Gondopurowangi, berarti gua pura yang beraroma wangi. Gua-gua ini adalah gua buatan, dulunya sebagai tempat berlindung sekaligus mengintai tentara Belanda. Tidak diketahui berapa usia gua ini dan siapa yang membuat, mungkin saja dibuat pasukan Diponegoro. Dari tempat yang tinggi begitu, bisa melepas pandang jauh tanpa terhalang.


Posisi dudukan Watu Kendil dari dekat
Satu dari tiga gua itu bernama Gua Gantung. Inilah yang paling dikeramatkan. Untuk mencapainya harus menaiki tangga kayu vertikal setinggi tujuh meter. Tak heran kalau hanya sedikit yang pernah (atau punya nyali) untuk ke sana. Menurut cerita di dalam Gua Gantung terdapat singgasana dari batu, dan gua ini dipercaya memiliki jalan gaib menuju Gunung Merapi dan Pantai Selatan.

Sarwono, laki-laki berusia 30-an yang bermukim persis di samping kelokan Kali Progo. Pada tahun 2003, tebing di dekat rumahnya longsor. Dia menemukan arca Dewa Syiwa setinggi 50 sentimeter serta dua lingga, masing-masing setinggi 30 sentimeter yang sebelumnya tertimbun tanah.

Kepala arca ditemukan terpisah dari tubuhnya. Sarwono tetap menjaga seperti ketika ditemukan, tidak dia rekatkan. Ketika gelap, menurut Sarwono, kepala arca ini memancarkan sinar hijau, badannya tidak bersinar. Orang tua-tua di kampung bilang kharisma arca Dewa Syiwa ini setara dengan sepuluh kerajaan. Saya tidak tahu persis apa maksudnya.

Dua tahun lalu, dengan menggunakan katrol, Sarwono mengangkat batu berbentuk yoni yang sebelumnya berada di tengah-tengah Kali Progo. Masyarakat menyebutnya batu gong, karena mengeluarkan bunyi gamelan yang, anehnya, hanya terdengar di seberang sungai. Tahun lalu, dari halaman rumahnya dia temukan juga bata-bata candi yang punya ukuran lebar tiga kali bata sekarang.
Seluruh temuan itu dia laporkan ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pemkab Magelang yang kemudian datang memeriksa. Diperkirakan arca Syiwa dan lingga berasal dari abad ke-6 atau 7, masa pra-Mataram. Lebih tua dari usia Candi Borobudur yang dibangun pada abad ke-9, masa Mataram Kuno.

Temuan-temuan tersebut disimpan Sarwono di dalam rumah dan di halaman rumahnya, tidak diserahkan ke Museum Karmawibhangga di kompleks Candi Borobudur. Besar keinginan Sarwono agar pemerintah setempat membangun museum di Candirejo untuk menyimpan artefak bersejarah yang digali dari bumi Candirejo. Pasalnya Desa Candirejo ini berdiri di atas reruntuhan candi.

Kalau diletakkan di sana, masyarakat sini tidak punya kebanggaan lagi. Kalau di Candirejo dibangun museum, orang dari tempat lain bisa melihat peninggalan yang didapat dari Desa Candirejo langsung di Candirejonya sendiri. Orang-orang jadi tahu bahwa tempat ini bersejarah. 


Sumber: