“Maa
kanalinabiyi waladzi na’amanu ayastaghfirulil musrikin, walau kaanu uli qurba
mimba’ dimaa tabayyana lahum annahum ashabul jahiim” Ama ba’du.
Maasyirol
Muslimin Rakhimakumullah,
Pada
kesempatan ini kita akan berbicara tentang Kisah Abu Thalib, siapakah Abu
Thalib ini? Al Imam Al Hafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa namanya Abu Thalib
adalah Abdul Manaf, jadi Ali bin Abi thalib, adalah Ali bin Abdul Manaf. Abu
Thalib adalah kun-yah beliau, kita tau bahwasannya kun-yah termasuk panggilan kehormatan
yang itu bukan hanya di Arab, sampai di negeri kitapun kun-yah ini ada
sebenarnya. Biasanya kalau kita melihat di Jawa sini, mereka itu kalau
memanggil orang tua, biasa dipanggil dengan nama anaknya yang besar.
Sebagai
contoh nama bapaknya Pak Inkan dan nama ibunya Bu Inkan, ternyata Inkan itu
adalah nama anak terbesar dari mereka. Jadi panggilan Pak Inkan itu artinya
Bapaknya Inkan.
Begitulah
kun-yah yang ada didalam bahasa Arab itu, ditekankan atau disunahkan
sebagaimana Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam memiliki kun-yah dan
sebagimana istri-istri Beliau, sebagian juga memiliki kun-yah radiallahu ta’ala
anhum.
Jadi
nama Abu Thalib adalah Abdul Manaf, Abu Thalib ini adalah saudara kandugnya
Abdullah Bapaknya Rasulullahu Salallahu’alaihi wassalam. Jadi Ayahnya
Rasulullah itu memiliki 13 bersaudara yang disebutkan, dan Abu Thalib adalah
saudara Abdullah yang satu kandung. Rasulullah memanggil Abu Thalib ini sebagai
Pamannya.
Oleh
karna itu tatkala Abdul Muthalib kakeknya Rasulullahu salallahu’alaihi wassalam
telah masuk usia senja dan sudah sepuh (tua renta), kakeknya Rasulullah ini
mewasiatkan kepada Abu Thalib untuk merawat dan menjaga Nabi Muhammad Salallahu’alaihi wassalam ketika beliau masih
kecil. Ketika kakeknya wafat, umur Rasulullah sekitar 8 tahun, lalu Beliau
dirawat dan dibesarkan oleh Pamannya Abu Thalib.
Al
Imam Bukhari ketika menyebutkan hadits ini, beliau ingin menjelaskan dan
menerangkan kepada kita, bagaimana posisi Abu Thalib, dia sebagai sosok seorang
paman yang membela keponakannya, yang memberikan segala apa yang dimiliki, untuk menyelamatkan keponakannya, kemudian
beliau wafat. Abu Thalib meninggal setelah keluarnya Nabi Muhammad Salallahu
‘alaihiwassalam dari boikot orang-orang kafir Quraisy.
Al
Imam Bukhari berkata: “telah mengajarkan kepada kami Al Abbas Ibnu Abdul
Muthalib, siapa dia? Saudaranya Abu Thalib, pamannya Rasulullah
salallahi’alaihi wassalam. Abbas berkata: wahai Nabi, apa manfaat yang bisa kau
berikan kepada pamanMu Abu Thalib? Dia senantiasa menjagamu, marah untuk
diriMu, jadi kalau kita lihat perjalanan hidup Rasulullah sampai Beliau
menikah, sampai beliau menjadi Rasul, kemudian beliau berdakwah, itu paman Nabi
Abu Thalib senantiasa melindungi dan menjaga Rasulullah Salallahi’alaihi
wassalam.
Bahkan
diantara syair-syair yang diucapkan oleh Abu Thalib sebagai pertanda dia akan
memberikan loyalitas dia kepada Muhammad, Abu Thalib berkata: Demi Allah mereka
tidak akan bisa menyentuhmu semua, sampai aku ditidurkan di tanah, sampai aku
mati baru mereka menyentuh diriMu.
Dan
Rasulullah merasakan perjuangan Abu Thalib membela Nabi ‘alaihitu wassalam, itu
tatkala Abu Thalib sudah meninggal dunia. Karena disebutkan bagaimana
orang-orang kafir quraisy itu bisa menyakiti Nabi Muhammad Salallahu’alaihi
wassalam yang sebelumnya tidak bisa seperti itu. Sampai setelah wafatnya Abu
Thalib ada yang melemparkan Rasulullah dengan debu dan pasir yang mana
sebelumnya tidak pernah terjadi.
Maasyirol
Muslimin Rakhimakumullah,
Ini
pertanyaan Paman Nabi (Al Abbas) kepada keponakannya, tentang paman keponakan
yang lainnya, yang telah membantu dan menolong dia. Apa kata Rasulullah
sallallahu’alaihi wassalam, dia berada diatas api neraka, dimana sampai mata
kakinya berada didalam api neraka, tapi tubuhnya tidak. Rasulullah lanjut
berkata: andaikata bukan karena saya, maka niscaya dia berada di keraknya api
neraka.
Jadi
Abu Thalib bisa naik dari dasar api neraka menuju atas api neraka, itu karena
syafa’at Rasulullah salallahu ‘alaihi wassalam. Ini adalah syafaat khusus, yang
dikhususkan untuk Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wassalam, dimana pada
hakikatnya, seorang tidak dapat memberikan syafaat kepada orang kafir, karena
syafaat Allah itu akan diberikan kepada orang yang di ridhoi oleh Allah dan kepada
orang yang diberi izin untuk memberikan syafaat kepada orang lainnya.
Kita
ketahui orang-orang yang musrik adalah orang-orang yang dimurkai oleh Allah
subhanallahi wata’ala. Namun syafa’at yang diberikan oleh Nabi Muhammad
Sallallahu ‘alaihi wassalam, tidak bisa mengeluarkan Abu Thalib dari api
neraka. Dia tetap dineraka walaupun tubuhnya diluar. Tapi kita akan membaca
hadits selanjutnya. Bahwa ini adalah azab yang paling ringan untuk penghuni
neraka.
Hadits
selanjutnya Imam Bukhari mengatakan: telah mengajarkan kepada kami Mahmud,
ketika Paman Nabi Muhammad, Abu Thalib ini mau meninggal, Nabi masuk kedalam
rumahnya dan ternyata ditempat itu ada Abu Jahal dan Abu Umayyah, kita dapat
mengambil sebuah faedah indah, bahwa Rasulullah Salallahu’alaihi wassalam tidak
pernah berhenti berdakwah.
Tatkala
pamannya sakit parah, Beliau datang mengunjunginya, ternyata ditempat itu ada
Abu Jahal. Rasulullah berkata: wahai pamanKu, katakana “laa illahaillallah”.
Kalau
kita pikir apasih beratnya mengatakan “laa
illahaillallah”? Apalagi orang Arab bisa mengatakannya dengan fasih. Nabi
mengatakan pamanku katakan “laa
illahaillallah” sebuah kata-kata yang akan aku jadikan argumentasi
membelamu kelak disisi Allah Subhanallahu wata’ala.
Karena
dengan “laa illahaillallah” ini,
seorang pindah meninggalkan agamanya terdahulu, agama kekufuran dia, kesyirikan
dia, dan Abu Thalib tau dengan konsekwensi ucapan itu. Jadi ucapan “laa illahaillallah” bukan hanya sebuah
slogan, bukan hanya sebuah wiridan, yang dibaca tanpa makna, tanpa ada
konsekwensi dari yang mengucapkannya.
Maasyirol
Muslimin Rakhimakumullah,
Kalau
kita melihat di negeri kita ini, banyak orang yang mengatakan “laa illahaillallah” tapi masih
memberikan sesajian untuk selain Allah, lantas dimana “laa illahaillallah” yang dia ucapkan? Dia mengatakan tiada “illa” tiada “Rob” yang berhak disembah kecuali Allah subhanallahi wata’ala, kok
kemudian setelah dia mengucapkan hal itu, dia memberikan ibadah dia kepada
selain Allah. Lalu kemana ucapan dia “qul
inna sholawati, wanusuki, wamahyahya, wamahmati, lillahirobbil ‘alamin”.
Kita
lihat ucapan Nabi meminta kepada pamannya untuk mengatakan “laa illahaillallah”, karena kalimat “laa illahaillallah” adalah kalimat yang sangat mulia, bahkan di
afdholul dzikir.
Kata
Abu Jahal, wahai Abu Thalib, apakah engkau benci dengan agama nenek moyangmu?
Disini kita melihat, salah satu yang membuat orang itu, tidak beranjak dari
kesesatan dia, tidak mendapatkan hidayah dari Allah Subhanallahu wata’ala,
tatkala dia merasa kalau mengikuti kebenaran itu, akan menimpakan kehinaan,
celaan, aib, kepada nenek moyang.
Tatkala
meninggalkan tradisi, naudzubilla kalau kita lihat di Indonesia ini kita
memiliki banyak tradisi, dan ada tangan-tangan tersembunyi, yang berusaha
membuat tradisi-tradisi Hindu, tradisi-tradisi Budha sebelum Islam itu tetap ada. Dengan dalih inikan tradisi,
inikan budaya. Subhanallah, kita harus tau bahwa kita adalah hamba sang
pencipta, kita bukan hamba alam, kita bukan hamba tradisi, kita bukan budak
siapapun, kita hanya budak Allah Subhanallahi wata’ala.
Maka
yang harus menjadi tolok ukur dalam kehidupan seorang muslim adalah “laa illahaillallah”. Itulah yang
menjadi tolok ukur kita. Usai segala tradisi, segala kebiasaan, segala tingkah
laku yang bertentangan dengan “laa
illahaillallah” maka itu kubur. Karna jauh sebelum tradisi itu ada, kita
ini semua tidak ada, orang-orang juga tidak ada. Yang ada hanya Allah jala
jalalu. Dialah yang memberikan rizki kepada kita, jadi yang memberikan makan
kepada kita ini bukan presiden, bukan gubernur, bukan perusahaan, bukan
orangtua kita, bukan semua.
Memang
kita bekerja, berusaha, tapi yang member makan kita ini Allah jala jalalu,
Allah yang member rizki kepada kita, maka kita harus sadar bahwa kita adalah
hamba Allah Subhanallahi wata’ala bukan hamba siapa-siapa.
Maasyirol
Muslimin Rakhimakumullah,
Maka
disini Abu Jahal, berusaha untuk menyesatkan pamanya Nabi yang sudah mau mati,
tapi Abu jahal tidak ingin Abu Thalib ikut mati dalam kondisi Islam. Dia hadir
disana, menghalangi Abu Thalib dari keimanan, diingatkan dia dengan tradisi,
dengan nenek moyang. Subhanallah.
Akan
tetapi Rasulullah terus berdakwah, tidak bosan dan tidak jenuh, beliau tetap
mengharap selama hayat masih di kandung badan, masih ada harapan. Dan seorang
muslim tidak boleh berhenti berdakwah.
Mungkin
Orang tua kita masih ada yang dalam kondisi musrik / kafir, ketika dia sakit,
datanglah ke kepadanya ajak dia untuk mengatakan “laa illahaillallah” jangan cuma membelikan obat untuk orang tua,
jangan hanya memberikan fasilitas kepada kedua orang tua. Karena itu semua akan
hilang, tapi berikan hidayah kepada orang tua kita, kalau Allah berkehendak,
semoga Allah membukakan pintu hatinya.
Akhirnya
terus Abu Jahal dan Abu Umayyah menyesatkan Abu Thalib, hingga Abu Thalib wafat
dalam keadaan Non muslim, maka Rasulullah berkata: aku akan beristighfar
untukmu sebelum aku dilarang. Rasulullah diutus sebagai rahmatan lil ‘alamin,
beliau ingin, semuanya mendapatkan kasih sayang Allah Subhanallahi wata’ala.
Kemudian
datanglah firman Allah didalam Surat At Taubah 113: “Maa kanalinabiyi waladzi na’amanu ayastaghfirulil musrikin, walau
kaanu uli qurba mimba’ dimaa tabayyana lahum annahum ashabul jahiim” Tidak boleh bagi seorang Nabi dan tidak
boleh bagi orang-orang yang beriman untuk beristighfar dan untuk memohonkan
ampun bagi orang-orang musrik walaupun mereka kerabat, orang tuanya atau
siapapun, sesudah jelas bagi mereka bahwasannya orang-orang musrik itu adalah
penghuni neraka jahannam.
Jadi,
seorang anak tidak boleh mengatakan “Robighfirli
waliwalidayya warhamhuma kama Robayani soghiroh” kalau orangtuanya kafir.
Tapi selama dia hidup kita boleh memohonkan hidayah bagi mereka, tapi setelah
wafat, sudah selesai “mimba’ dimaa
tabayyana lahum annahum ashabul jahiim” telah
tampak bagi mereka kalau mereka itu mati dalam kondisi kafir dan mereka
termasuk penghuni neraka jahiim.
Maka
selesailah Rasulullah tidak memohonkan ampun buat pamannya, tapi Nabi berusaha
memberikan syafaat sebagaimana dalam hadits Al Abbas bahwasannya Pamannya ada
didasar Api Neraka, dengan syafaatnya maka naik Pamannya tersebut dipermukaan
api neraka.
Dan
juga turun firman Allah dalam Surat Al Qasas ayat 56: “innaka laa tahdi man ahbabta walaa kinnallaha yahdi mayyasaa’. Wahuwa
‘alamu bil muhtadiin.” Disini kita harus mendudukkan diri kita sebagai
seorang hamba yang lemah, sebagai hamba yang tidak memiliki apa-apa, sebagai
hamba yang keinginannya tidak akan terlaksana kecuali apabila bersamaan dengan
keinginan sang pencipta, Allah mengatakan: Engkau
Muhammad tidak akan dapat member petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
Itulah
Abu Thalib, mati dalam kondisi kafir, mati dalam kondisi tidak beriman, dan kalau
dikatakan: mana mungkin Nabi memiliki paman yang kafir, atau orang yang
membelai dakwah Nabi dalam kondisi kafir, apa yang tidak mungkin sebenarnya,
kalau kita melihat Allah Subhanallahu wata’ala “fa’alu lima yurid” Allah
melakukan apa yang Dia kehendaki.
Khutbah
Kedua
Maasyirol
Muslimin Rakhimakumullah,
Di
hadits selanjutnya, Al Imam Bukhari mengatakan: Disaat ada perbincangan tentang
Abu Thalib Pamannya Nabi Salallahu ‘alaihi wassalam, maka Nabi berkata: semoga
dia mendapatkan syafaatku, atau semoga syafaatku bermanfaat bagi dia pada hari
kiamat nanti.
Dimana
dia yang seharusnya didasar api neraka, kemudian dia diangkat dan diletakkan di
bagian atas api neraka, dimana api neraka itu hanya sampai ke mata kakinya, akan
tetapi otaknya itu mendidih. Subhanallah, betapa azab api neraka begitu
dahsyat, itulah azab orang yang paling ringan di hari kiamat nanti.
Wallahu
‘alam bissawab, semoga Allah Subahallahu wata’ala memberikan hidayah kepada
kita semua, dan sehingga kita bisa melihat kebenaran itu.
Semoga bermanfaat,
Ded Lee
Sumber:
Ceramah Ustadz DR. Syafiq bin Riza bin Basalamah MA