Saad bin Abi Waqqash adalah salah seorang sahabat yang paling pertama memeluk Islam (Assabiqunal Awwalun). Hanya beberapa orang sahabat saja yang mendahuluinya. Abu Bakar ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu ajma’in merekala orangnya. Laki-laki Quraisy ini mengucapkan dua kalimat syahadat ketika berusia 27 tahun. Di masa kemudian, ia menjadi tokoh utama di kalangan sahabat. Dan termasuk 10 orang yang diberi kabar gembira sebagai penghuni surga.
Saad dilahirkan di Mekah, 23 tahun sebelum hijrah. Ia tumbuh dan terdidik di lingkungan Quraisy. Bergaul bersama para pemuda Quraisy dan pemimpin-pemimpin Arab. Sejak kecil, Saad gemar memanah dan membuat busur panah sendiri. Kedatangan jamaah haji ke Mekah menambah khazanah pengetahuannya tentang dunia luar. Dari mereka ia mengenal bahwa dunia itu tidak sama dan seragam. Sebagaimana samanya warna pasir gurun dan gunung-gunung batu. Banyak kepentingan dan tujuan yang mengisi kehidupan manusia.
Nasab Saad bin Abi Waqqash
Merupakan bagian penting dalam rekam jejak seseorang adalah nasab keluarga. Keluarga memiliki peran penting dalam pembentukan karakter seseorang. Ayah Saad adalah anak dari seorang pembesar bani Zuhrah. Namanya Malik bin Wuhaib bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Amir bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan.
Adnan adalah keturunan dari Nabi Ismail bin Ibrahim ‘alaihimassalam.
Malik, ayah Saad, adalah anak paman Aminah binti Wahab, ibu Rasulullah ﷺ. Malik juga merupakan paman dari Hamzah bin Abdul Muthalib dan Shafiyyah binti Abdul Muthalib. Sehingga nasab Saad termasuk nasab yang terhormat dan mulia. Dan memiliki hubungan kekerabatan dengan Nabi ﷺ.
Ibunya adalah Hamnah binti Sufyan bin Umayyah al-Akbar bin Abdu asy-Syams bin Abdu Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Amir bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan. Ibunya ini berasal dari kalangan orang berada (anak kepala suku Quraisy).
Ketika Rasulullah ﷺ sedang duduk-duduk bersama para sahabatnya, beliau memuji dan mencandai Saad dengan mengatakan,
هَذَا خَالِي فَلْيُرِنِي امْرُؤٌ خَالَهُ
“Ini pamanku, maka hendaklah seseorang memperlihatkan pamannya kepadaku.” (HR. al-Hakim 6113 dan at-Tirmidzi 3752. At-Tirmidzi mengatakan hadist ini hasan).
Masa Pertumbuhan
Saad dilahirkan di Mekah, 23 tahun sebelum hijrah. Ia tumbuh dan terdidik di lingkungan Quraisy. Bergaul bersama para pemuda Quraisy dan pemimpin-pemimpin Arab. Sejak kecil, Saad gemar memanah dan membuat busur panah sendiri.
Kedatangan jamaah haji ke Mekah menambah khazanah pengetahuannya tentang dunia luar. Dari mereka ia mengenal bahwa dunia itu tidak sama dan seragam. Sebagaimana samanya warna pasir gurun dan gunung-gunung batu. Banyak kepentingan dan tujuan yang mengisi kehidupan manusia.
Memeluk Islam
Mengenal Islam sejak lahir adalah sebuah karunia yang besar. Karena hidayah yang mahal harganya itu, Allah beri tanpa kita minta. Berbeda bagi mereka yang mengenal Islam di tengah jalannya usia. Keadaan ini tentu lebih sulit. Banyak batu sandungan dan pemikiran yang membingungkan.
Pada suatu hari, Abu Bakar Ash-Shiddiq mendatangi Sa'ad di tempat kerjanya dengan membawa berita dari langit tentang diutusnya Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam, sebagai Rasul Allah. Ketika Sa’ad menanyakan, siapakah orang-orang yang telah beriman kepada Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam. Abu Bakar mengatakan dirinya sendiri, Ali bin Abi Thalib, dan Zaid bin Haritsah.
Seruan ini mengetuk kalbu Sa’ad untuk menemui Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam, untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia pun memeluk agama Allah pada saat usianya baru menginjak 17 tahun. Sa’ad termasuk dalam deretan lelaki pertama yang memeluk Islam selain Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar As Siddiq dan Zaid bin Haritsah.
Dipaksa Ibunya Meninggalkan Islam
Sa’ad adalah seorang pemuda yang sangat patuh dan taat kepada ibunya. Sedemikian dalam sayangnya Sa’ad pada ibunya, sehingga seolah-olah cintanya hanya untuk sang ibu yang telah memeliharanya sejak kecil hingga dewasa, dengan penuh kelembutan dan berbagai pengorbanan.
Ketika Saad bin Abi Waqqash memeluk Islam, menerima risalah kerasulan Muhammad ﷺ, dan meninggalkan agama nenek moyangnya, ibunya sangat menentangnya. Sang ibu ingin agar putranya kembali satu keyakinan bersamanya. Menyembah berhala dan melestarikan ajaran leluhur.
Ibu Sa’ad bernama Hamnah binti Sufyan bin Abu Umayyah adalah seorang wanita hartawan keturunan bangsawan Quraisy, yang memiliki wajah cantik dan anggun. Disamping itu, Hamnah juga seorang wanita yang terkenal cerdik dan memiliki pandangan yang jauh. Hamnah sangat setia kepada agama nenek moyangnya; penyembah berhala.
Ibunya mulai mogok makan dan minum untuk menarik simpati putranya yang sangat menyayanginya. Ia baru akan makan dan minum kalau Saad meninggalkan agama baru tersebut.
Setelah beberapa lama, kondisi ibu Saad terlihat mengkhawatirkan. Keluarganya pun memanggil Saad dan memperlihatkan keadaan ibunya yang sekarat. Pertemuan ini seolah-olah hari perpisahan jelang kematian. Keluarganya berharap Saad iba kepada ibunda.
Saad menyaksikan kondisi ibunya yang begitu menderita. Namun keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya berada di atas segalanya. Ia berkata, “Ibu… demi Allah, seandainya ibu mempunyai 100 nyawa. Lalu satu per satu nyawa itu dicabut oleh Allah. Aku tidak akan meninggalkan agama ini sedikit pun. Makanlah wahai ibu, jika ibu menginginkannya. Jika tidak, itu juga pilihan ibu”.
Ibunya pun menghentikan mogok makan dan minum. Ia sadar, kecintaan anaknya terhadap agamanya tidak akan berubah dengan aksi mogok yang ia lakukan. Berkaitan dengan persitiwa ini, Allah pun menurunkan sebuah ayat yang membenarkan sikap Saad bin Abi Waqqash.
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلَى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS: Luqman | Ayat: 15).
Doanya Tidak Tertolak dan Kharomahnya
Saad bin Abi Waqqash adalah seorang sahabat Rasulullah ﷺ yang memiliki doa yang manjur dan mustajab. Rasulullah ﷺ meminta kepada Allah ﷻ agar doa Saad menjadi doa yang mustajab tidak tertolak. Beliau ﷺ bersabda,
اللَّهُمَّ سَدِّدْ رَمَيْتَهُ، وَأَجِبْ دَعْوَتَهُ
“Ya Allah, tepatkan lemparan panahnya dan kabulkanlah doanya.” (HR. al-Hakim, 3/ 500).
Doa Rasulullah ﷺ ini menjadikan Saad seorang prajurit pemanah yang hebat dan ahli ibadah yang terkabul doanya.
Kharomah 1
Salah satu riwayat menceritakan ketika Sa'ad dan tentara muslim akan menaklukkan Persia di pertempuran Qadisiyyah, perjuangan mereka terpaksa ditangguhkan karena air pasang yang sangat tinggi di Sungai Tigris daerah Iraq, sehingga memisahkan mereka dengan pasukan lawan (kurang lebih 30 meter lebar sungai tersebut). Sedangkan perahu-perahu telah ditambatkan di tepian.
Setelah melewati beberapa bulan peperangan Qadisiyyah yang alhamdulillah selalu dimenangkan oleh pihak muslimin, hingga saat kaum muslimin melakukan pengejaran terhadap Raja Persia yang bernama Raja Yazdigrid (Zazdegerd III) dari kota Bahurasir ke kota Madain yang hanya dibatasi oleh sungai Tigris.
Sa'ad berkata, "Cukuplah Allah bagi kami, Dialah sebaik-baik Zat tempat memasrahkan diri. Demi Allah, Allah benar-benar akan menolong wali-Nya, memenangkan agama-Nya, dan mengalahkan musuh-Nya, jika dalam diri pasukan tidak ada kejahatan atau dosa yang mengalahkan kebaikan."
Demi Allah, lautan tunduk kepada Sa'ad dan pasukannya seperti halnya daratan tunduk kepada mereka. Mereka menyeberangi sungai, hingga air itu tidak terlihat dari tepian. Sambil terapung di sungai, mereka berbincang-bincang lebih banyak daripada ketika mereka berjalan di daratan. Mereka berhasil melintasinya, tidak ada sesuatu pun yang hilang, dan tidak ada seorang pun yang tenggelam." (Diriwayatkan oleh Abu Na'im dari Abu Bakar bin Hafsh bin `Umar)
Ketika tentara Persia melihat pemandangan menakjubkan ini, mereka melarikan diri seraya berteriak karena ketakutan, "Pasukan iblis telah datang. Mereka itu jin, bukan manusia."
Namun, satu hal yang perlu digaris bawahi. Keajaiban serupa ini bukanlah termasuk mukjizat, karena Rasulullah adalah Nabi terakhir, maka terputuslah mukjizat setelah Rasulullah wafat. Keajaiban yang ditunjukkan oleh para sahabat disebut sebagai karamah, yakni kemampuan manusia awam berupa kejadian luar biasa pada dirinya atas izin Allah.
Video Kharomah Sa'ad bin Abi Waqqash oleh Ustadz Khalid Basalamah:
Kharomah 2
Disebutkan dalam hadits Bukhâri bahwa Jâbir bin `Abdullah bin Samurah Radhiyallahu anhu berkata, “Sebagian penduduk Kufah mengeluhkan Sa`d bin Abi Waqâsh Radhiyallahu anhu kepada Umar bin khaththâb Radhiyallahu anhu. Umar Radhiyallahu anhu pun memberhentikan jabatan Sa’d Radhiyallahuanhu; dan memilih Ammâr bin Yâsir Radhiyallahu anhu sebagai penggantinya. Mereka mengeluhkan Sa`d Radhiyallahu anhu karena dia tidak bagus dalam shalatnya (dalam riwayat lain mereka mengeluhkan segala sesuatu darinya termasuk shalatnya).
Umar Radhiyallahu anhu mengutus seseorang kepadanya, kemudian sampailah utusan itu kepada Umar bersama Sa`d Radhiyallahu anhu menghadap Umar Radhiyallahu anhu.
Umar Radhiyallahu anhu berkata kepada Sa`d Radhiyallahu anhu, “Wahai Abu Ishâk (panggilan Sa`d Radhiyallahu anhu), sesungguhnya penduduk Kufah menganggap engkau tidak bagus dalam shalatmu.”
Sa`d Radhiyallahu anhu menjawab,”Adapun aku, demi Allah Azza wa Jalla aku shalat dengan mereka, sebagaimana shalat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku tidak pernah menguranginya sedikitpun. Aku mengerjakan shalat Isya`; aku panjangkan pada rakaat awalnya dan aku pendekkan pada rakaat akhirnya.”
Umar Radhiyallahu anhu berkata, “Sudah kami duga wahai Abu Ishâk.” Kemudian Umar Radhiyallahuanhu menyuruhnya kembali bersama seseorang atau beberapa orang lainnya ke Kufah. Utusan bertanya kepada penduduk Kufah tentang Sa`d bin Abi Waqâsh Radhiyallahu anhu. Tidak ada satu masjid pun yang mereka lewati, kecuali pasti ia bertanya kepada mereka (tentang Sa`d Radhiyallahu anhu). Mereka memuji tentang kebaikan-kebaikannya Sa’d Radhiyallahu anhu, hingga utusan itu masuk masjid milik Bani Abs.
Seseorang yang bernama Usâmah bin Qatâdah berdiri dan berkata, “Apabila kalian meminta kami untuk berbicara tentang Sa`d Radhiyallahu anhu, maka sesungguhnya Sa`d Radhiyallahu anhu tidak pernah ikut dalam sariyah (peperangan yang tidak di ikuti oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), tidak pernah membagi sama rata dan tidak menetapkan hukum dengan adil.”
Seseorang yang bernama Usâmah bin Qatâdah berdiri dan berkata, “Apabila kalian meminta kami untuk berbicara tentang Sa`d Radhiyallahu anhu, maka sesungguhnya Sa`d Radhiyallahu anhu tidak pernah ikut dalam sariyah (peperangan yang tidak di ikuti oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam), tidak pernah membagi sama rata dan tidak menetapkan hukum dengan adil.”
Ketika mendengar informasi tentang ucapan Usâmah itu, Sa`d Radhiyallahu anhu marah sambil berkata, “Demi Allah Azza wa Jalla, aku benar-benar berdoa untuk tiga hal ; “Ya Allah Azza wa Jalla jika hambamu ini dusta, berdiri karena riyâ` atau sum`ah, maka panjangkanlah umurnya, panjangkanlah kefakirannya dan hadapkanlah dia kepada fitnah/cobaan.”
Berkaitan dengan ucapan Sa’d Radhiyallahu anhu ini, Abdul Mâlik bin Umair berkata, “Setiap kali dia (Usâmah Bin Qatâdah) ditanya, “Bagaimana keadaanmu?” dia menjawab, “Aku adalah orang tua yang telah terkena terkena doanya Sa`d bin Abi Waqash Radhiyallahuanhu.” `Abdul Mâlik menambahkan, “Setelah itu aku melihatnya buta karena tua."
Mâlik mengatakan, “Umar Bin Khaththâb Radhiyallahu anhu melepaskan jabatan Sa`d Radhiyallahu anhu padahal Sa’d Radhiyallahu anhu adalah orang yang paling adil setelah Umar Radhiyallahuanhu yang nampak, Umar Radhiyallahu anhu melepas jabatannya dalam rangka mengantisipasi timbulnya fitnah. Jadi, bisa difahami bahwa Umar bin Khatthâb Radhiyallahu anhu melepaskan jabatan Sa`d Radhiyallahu anhu bukan karena percaya dengan informasi tentang kekurangan Sa`d Radhiyallahu anhu , tetapi merupakan langkah preventif. Umar bin khaththâb Radhiyallahu anhu berkata, “Aku melepaskan jabatannya bukan karena dia tidak mampu atau khianat”.
Kharomah 3
Dikisahkan kharomah Sa'ad yang lain di dalam kitab al-Mustadrak disebutkan bahwa: Qais bin Hâzim berkata,“ Tatkala aku keliling pasar di Madinah, aku sampai di Ahjâr Zait. Aku melihat ada suatu kaum yang berkumpul di hadapan seorang penunggang kuda yang menaiki tunggangannya. Penunggang kuda itu mencela Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu padahal banyak orang di sekelilingnya.
Tiba-tiba, datanglah Sa`d bin Abi Waqash Radhiyallahu anhu dan bertanya kepada mereka, “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Ini, ada seseorang yang mencela Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu.” Lalu Sa`d Radhiyallahu anhu maju ke hadapannya dan berkata, “Hai kisanak, atas dasar kamu yang mencela Sahabat Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu? Bukanlah dia termasuk orang yang pertama masuk Islam? Bukankah dia orang yang pertama shalat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah dia orang yang paling zuhud? Bukankah dia orang yang paling alim?” Dia bertanya terus hingga mengatakan, “Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengawinkannya dengan putrinya?” Bukankah dia pembawa panji Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa peperangannya?”
Kemudian Sa`d Radhiyallahu anhu menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah Azza wa Jalla, sesungguhnya orang ini mencela salah satu walimu, maka janganlah Engkau pisahkan kumpulan orang ini hingga Engkau menampakkan kekuasaan-Mu kepada mereka.” Qais berkata, “Demi Allah Azza wa Jalla , kami tidak berpencar hingga kudanya tersungkur dan ia terlempar darinya; kemudian kepalanya pecah dan ia pun mati.” [al-Mustadrak 3/99]
Mâlik mengatakan, “Umar Bin Khaththâb Radhiyallahu anhu melepaskan jabatan Sa`d Radhiyallahu anhu padahal Sa’d Radhiyallahu anhu adalah orang yang paling adil setelah Umar Radhiyallahuanhu yang nampak, Umar Radhiyallahu anhu melepas jabatannya dalam rangka mengantisipasi timbulnya fitnah. Jadi, bisa difahami bahwa Umar bin Khatthâb Radhiyallahu anhu melepaskan jabatan Sa`d Radhiyallahu anhu bukan karena percaya dengan informasi tentang kekurangan Sa`d Radhiyallahu anhu , tetapi merupakan langkah preventif. Umar bin khaththâb Radhiyallahu anhu berkata, “Aku melepaskan jabatannya bukan karena dia tidak mampu atau khianat”.
Kharomah 3
Dikisahkan kharomah Sa'ad yang lain di dalam kitab al-Mustadrak disebutkan bahwa: Qais bin Hâzim berkata,“ Tatkala aku keliling pasar di Madinah, aku sampai di Ahjâr Zait. Aku melihat ada suatu kaum yang berkumpul di hadapan seorang penunggang kuda yang menaiki tunggangannya. Penunggang kuda itu mencela Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu padahal banyak orang di sekelilingnya.
Tiba-tiba, datanglah Sa`d bin Abi Waqash Radhiyallahu anhu dan bertanya kepada mereka, “Ada apa ini?” Mereka menjawab, “Ini, ada seseorang yang mencela Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu.” Lalu Sa`d Radhiyallahu anhu maju ke hadapannya dan berkata, “Hai kisanak, atas dasar kamu yang mencela Sahabat Ali bin Abi Thâlib Radhiyallahu anhu? Bukanlah dia termasuk orang yang pertama masuk Islam? Bukankah dia orang yang pertama shalat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam? Bukankah dia orang yang paling zuhud? Bukankah dia orang yang paling alim?” Dia bertanya terus hingga mengatakan, “Bukankah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengawinkannya dengan putrinya?” Bukankah dia pembawa panji Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam beberapa peperangannya?”
Kemudian Sa`d Radhiyallahu anhu menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya seraya berdoa, “Ya Allah Azza wa Jalla, sesungguhnya orang ini mencela salah satu walimu, maka janganlah Engkau pisahkan kumpulan orang ini hingga Engkau menampakkan kekuasaan-Mu kepada mereka.” Qais berkata, “Demi Allah Azza wa Jalla , kami tidak berpencar hingga kudanya tersungkur dan ia terlempar darinya; kemudian kepalanya pecah dan ia pun mati.” [al-Mustadrak 3/99]
Seorang Mujahid
Saad bin Abi Waqqash adalah orang pertama dalam Islam yang melemparkan anak panah di jalan Allah. Ia juga satu-satunya orang yang Rasulullah pernah menyebutkan kata “tebusan” untuknya. Seperti dalam sabda beliau ﷺ dalam Perang Uhud:
اِرْمِ سَعْدُ … فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ
“Panahlah, wahai Saad… Tebusanmu adalah ayah dan ibuku.”( HR. at-Tirmidzi, no. 3755).
Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aku tidak pernah mendengar Rasulullah ﷺ menebus seseorang dengan ayah dan ibunya kecuali Saad. Sungguh dalam Perang Uhud aku mendengar Rasulullah mengatakan,
اِرْمِ سَعْدُ … فِدَاكَ أَبِيْ وَأُمِّيْ
“Panahlah, wahai Saad… Tebusanmu adalah ayah dan ibuku.”( HR. at-Tirmidzi, no. 3755).
Dan Saad sangat merasa terhormat dengan motivasi Rasulullah ﷺ ini, karena saat itu hanya Saad yang berada di dekat Rasulullah ﷺ untuk melindungi Beliau dari serbuan pasukan Quraish.
Di antara keistimewaan lain, yang ada pada diri Saad bin Abi Waqqash termasuk seorang penunggang kuda yang paling berani di kalangan bangsa Arab dan di antara kaum muslimin. Ia memiliki dua senjata yang luar biasa; panah dan doa.
Peperangan besar yang pernah ia pimpin adalah Perang Qadisiyah. Sebuah perang legendaris antara bangsa Arab Islam melawan Majusi Persia. 30,000 pasukan kaum muslimin yang hanya rakyat biasa dengan keterbatasan persenjataan beradapan dengan 120.000 lebih pasukan negara adidaya Persia bersenjata lengkap, yang kalau ditotal dengan pembantu serta dayang-dayangnya sekitar 200,000 orang Persia. Prajurit Persia dipimpin oleh palingma mereka yang bernama Rustum. Melaui Saad lah, Allah memberi kemanangan kepada kaum muslimin atas negara adidaya Persia.
Umar Mengakui Amanahnya Dalam Memimpin
Umar bin al-Khattab radhiallahu ‘anhu pernah mengamanahi Saad jabatan gubernur Irak. Sebuah wilayah besar dan penuh gejolak. Suatu ketika rakyat Irak mengadukannya kepada Umar. Mereka menuduh Saad bukanlah orang yang bagus dalam shalatnya. Permasalahan shalat bukanlah permsalahan yang ringan bagi orang-orang yang mengetahui kedudukannya. Sehingga Umar pun merespon laporan tersebut dengan memanggil Saad ke Madinah.
Mendengar laporan tersebut, Saad tertawa. Kemudian ia menanggapi tuduhan tersebut dengan mengatakan, “Demi Allah, sungguh aku shalat bersama mereka seperti shalatnya Rasulullah. Kupanjangkan dua rakaat awal dan mempersingkat dua rakaat terakhir”.
Mendengar klarifikasi dari Saad, Umar memintanya kembali ke Irak. Akan tetapi Saad menanggapinya dengan mengatakan, “Apakah engkau memerintahkanku kembali kepada kaum yang menuduhku tidak beres dalam shalat?” Saad lebih senang tinggal di Madinah dan Umar mengizinkannya.
Ketika Umar ditikam, sebelum wafat ia memerintahkan enam orang sahabat yang diridhai oleh Nabi ﷺ -salah satunya Saad- untuk bermusyawarah memilih khalifah penggantinya. Umar berkata, “Jika yang terpilih adalah Saad, maka dialah orangnya. Jika selainnya, hendaklah meminta tolong (dalam pemerintahannya) kepada Saad”.
Sikap Saad Saat Terjadi Perselisihan Antara Ali dan Muawiyah
Saad bin Abi Waqqash menjumpai perselisihan besar yang terjadi pada kaum muslimin. Antara Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah bin Abi Sufyan, radhiallahu ‘anhum ajma’in. Sikap Saad pada saat itu adalah tidak memihak kelompok manapun. Ia juga memerintahkan keluarga adan anak-anaknya untuk tidak mengabarkan berita apapun kepadanya.
Keponakannya, Hisyam bin Utbah bin Abi Waqqash, berkata kepadanya, “Wahai paman, ini adalah 100.000 pedang (pasukan) yang menganggap Andalah yang berhak menjadi khalifah”. Saad menjawab, “Aku ingin dari 100.000 pedang tersebut satu pedang saja. Jika aku memukul seorang mukmin dengan pedang itu, maka ia tidak membahayakan. Jika dipakai untuk memukul orang kafir (berjihad), maka ia mematikan”. Mendengar jawaban pamannya, Hisyam paham bahwa pamannya, Saad bin Abi Waqqash sama sekali tidak ingin ambil bagian dalam permasalahan ini. Ia pun pergi.
Wafatnya Sa'ad bin Abi Waqqash
Sejarah mencatat, hari-hari terakhir Sa’ad bin Abi Waqqash adalah ketika ia memasuki usia 80 tahun. Dalam keadaan sakit, Sa’ad berpesan kepada anaknya agar ia dikafani dengan jubah yang terbuat dari wol (jenis kain yang dikenal murah kala itu). Ia berkata, “Kafani aku dengan kain ini, karena pakaian inilah yang aku pakai saat memerangi orang-orang musyrik di Perang Badar”. Mendengar keadaan Sa'ad yang sedang sakaratul maut tersebut, anaknya yang berada disisinya menangis sedih, disaat itupun Sa'as berkata, "wahai anakku, kenapa engkau menangis? sementara Rasulullah sudah menyatakan bahwa bapakmu ini termasuk 10 orang yang dijamin masuk surga?"
Pahlawan perkasa ini menghembuskan nafas yang terakhir pada tahun 55 H dengan meninggalkan kenangan indah dan nama yang harum. Ia adalah kaum muhajirin yang paling akhir wafatnya. Dan beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’, makamnya para syuhada.
Semoga bermanfaat,
DK
Sumber: