“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Tuesday, December 25, 2018

Hukum Anak Angkat Sesuai Ajaran Rasulullah

Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuhu,

Artikel ini penulis angkat karena sehubungan dengan ada saudara dari penulis yang menitipkan anaknya kepada keluarga adik kandung penulis. Dari kejadian tersebut penulis berusaha mencari bagaimana tuntunan yang pernah diajarkan Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, apakah kita diperbolehkan atau tidaknya kita dalam mengasuh anak orang lain?


Pengertian Mengangkat Anak (Tabanni)

Pada dasarnya, praktek Tabanni atau pengangkatan anak (adopsi) di dalam islam itu tidak diperbolehkan. Yaitu ketika seseorang menjadikan anak orang lain sebagai anak kandungnya dan menisbatkan anak tersebut kepada dirinya, bukan kepada orang tua kandungnya. Yang berarti disitu ada unsur merubah atau mempengaruhi keturunan anak angkat tersebut seoalah-olah menjadi anak kandung dari orang tua angkatnya itu.

Praktek tabanni ini pada awalnya dilakukan oleh orang arab pada zaman jahiliyah. Pada waktu itu terjadi kebiasaan dimana seseorang mengakui anak orang lain sebagai anak kandungnya, menisbatkan namanya kepada dirinya dan memberikannya bagian dari harta waris sebagaimana anak kandungnya.

Cara adopsi tersebut sudah dilarang oleh Allah subahallahu wa ta'ala dengan turunnya Qur'an Surat Al-Ahzaab 33: 4. yang artinya:

"Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu. Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja."

Tapi, dalam kasus dimana seseorang mengangkat anak orang lain untuk tujuan mengasuh, merawat, memberikan nafkah dan memberikannya kasih sayang sebagaiamana orang tua kandungnya tanpa menganggapnya sebagai anaknya sendiri dan tetap menisbatkan keturunannya kepada orang tua aslinya, maka itu sah-sah saja. Bahkan hal tersebut dianjurkan dalam islam apalagi jika anak tersebut sudah tidak mempunyai keluarga atau yatim piatu.

Jadi yang menjadi poin penting dalam keharaman praktek tabanni ini adalah adanya unsur mempengaruhi atau merubah nasab anak angkat tersebut. Ketika tidak ada unsur tersebut maka, hukumnya menjadi boleh, bahkan sangat dianjurkan apalagi ketika anak tersebut sudah tidak memiliki orang tua atau keluarga yang merawatnya.

Dari Sahl bin Sa’ad Radhiallahu ‘anhu dia berkata: 

عَنْ سَهْلِ بَْنِ سَعْدٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : أَنَا وَكَافِلُ الْيَتِيمِ فِى الْجَنَّةِ هكَذَ، وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ وَالْوُسطَى وَفَرَّجَ بَيْنَهُمَا شَيْئاً

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini”, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan jari telunjuk dan jari tengah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta agak merenggangkan keduanya.[HR al-Bukhari no. 4998 dan 5659]

Syarah hadits diatas yaitu:
Arti “menanggung anak yatim” adalah mengurusi dan memperhatikan semua keperluan hidupnya, seperti nafkah (makan dan minum), pakaian, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan Islam yang benar. Sementara yang dimaksud dengan anak yatim adalah seorang anak yang ditinggal oleh ayahnya sebelum anak itu mencapai usia dewasa. Keutamaan hadits ini berlaku bagi orang yang meyantuni anak yatim yang punya hubungan keluarga dengannya atau anak yatim yang sama sekali tidak punya hubungan keluarga dengannya.

Selain mengurus anak yatim piatu, kita diperbolehkan juga untuk mengurus anak yang masih ada orang tuanya, misalnya karena orang tuanya bercerai, atau anak hasil perbuatan zina seorang perempuan yang ditinggal laki-lakinya, atau anak jalanan yang orang tuanya tidak mampu, semuanya diperbolehkan akan tetapi dengan syarat yang sudah diajarkan Rasulullah shalallahu alaihi wa salam.


Adopsi di Zaman Rasulullah

Adopsi anak sudah dikenal sejak zaman jahiliyah sebelum ada risalah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam. Dahulu anak adopsi dinasabkan kepada ayah angkatnya, bisa menerima waris, dapat menyendiri dengan anak serta istrinya, dan istri anak adopsi haram bagi ayah angkatnya (pengadopsi). Secara umum anak adopsi layaknya anak kandung dalam segala urusan. 

Rasulullah sendiri pun pernah mengadopsi Zaid bin Haritsah bin Syarahil Al-Kalbi sebelum beliau menjadi Rasul, sehingga dipanggil dengan nama Zaid bin Muhammad. Tradisi ini berlanjut dari zaman jahiliyah hinga tahun ketiga atau ke empat Hijriyah. Hingga akhirnya Zaid pun kembali dipanggil Zaid bin Haritsah.

Kemudian Allah Ta’ala menurunkan larangan tentang perbuatan tersebut dalam firman-Nya,

{وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ}

“Dan Allah tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)” (QS Al-Ahzaab 33: 4).

Dalam ayat tersebut di atas Allah Ta’ala mengisyaratkan makna ini:

“Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja”, artinya: perbuatanmu mengangkat mereka sebagai anak (hanyalah) ucapan kalian (semata-mata) dan (sama sekali) tidak mengandung konsekwensi bahwa dia (akan) menjadi anak yang sebenarnya (kandung), karena dia diciptakan dari tulang sulbi laki-laki (ayah) yang lain, maka tidak mungkin anak itu memiliki dua orang ayah.

Selain itu Allah juga menegaskan kembali didalam firmanNya:

{مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ وَكَانَ اللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا}

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup para nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” (QS Al-Ahzaab 33: 40)”.


Beberapa Syarat Wajib Adopsi Anak

1. Larangan menisbatkan anak angkat/anak asuh kepada selain ayah kandungnya
Maksud menisbatkan disini adalah mengakui sebagai anak (terhadap) orang yang bukan anak kandung, yaitu anak angkat.
Berdasarkan firman Allah:
ادْعُوهُمْ لِآَبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ فَإِنْ لَمْ تَعْلَمُوا آَبَاءَهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ

“Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak (kandung) mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu” [Al-Ahzaab 33: 5].

2. Anak angkat (anak asuh) tidak berhak mendapatkan warisan dari orang tua yang mengasuhnya
Berbeda dengan kebiasaan di zaman Jahiliyah yang menganggap anak angkat seperti anak kandung yang berhak mendapatkan warisan ketika orang tua angkatnya meninggal dunia. Hadits Riwayat Imam Bukhari (No. 3778), lihat juga kitab “Tafsir al-Qurthubi” (14/119)

Praktek mengangkat anak dengan kriteria seperti di atas itu boleh, tetapi ketika orang tua angkatnya meninggal, dia tetap tidak mempunyai hak untuk mendapatkan bagian dari harta warisan orang tua angkatnya tersebut.

Karena salah satu sebab adanya hak penerimaan waris itu adalah adanya hubungan darah atau kekerabatan antara orang yang meninggal dan ahli warisnya. Maka anak angkat itu, seberapa pun dekatnya hubungan dia dengan orang tua angkatnya, tetap tidak dapat bagian dari harta warisannya. Karena di antara keduanya tidak ada hubungan darah atau kekerabatan.

Tapi tetap ada solusi agar anak angkat tersebut bisa mendapatkan bagian dari harta waris orang tua angkatnya. Yaitu dengan cara wasiat. Di mana sebelum meninggal orang tua angkatnya berwasiat untuk memberikan sebagian dari harta warisnya untuk anak angkatnya. Tetapi dengan syarat tidak boleh lebih dari sepertiga harta warisan. Karena jumlah maksimal untuk wasiat itu adalah sepertiga dari harta waris.

3. Anak angkat (anak asuh) bukanlah mahram
Sehingga wajib bagi orang tua yang mengasuhnya maupun anak-anak kandung mereka untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak tersebut, sebagaimana ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram, berbeda dengan kebiasaan di masa Jahiliyah. Apabila orang tua angkatnya tidak menggunakan hijab, maka selamanya akan haram perbuatannya didepan anak angkat tersebut.

Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Salim maula (bekas budak) Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu yang tinggal bersama Abu Hudzaifah dan keluarganya di rumah mereka (sebagai anak angkat), maka (ketika turun ayat yang menghapuskan kebolehan adopsi anak) datanglah Sahlah bintu Suhail radhiyallahu ‘anhu istri Abu Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dia berkata: "Sesungguhnya Salim telah mencapai usia laki-laki dewasa dan telah paham sebagaimana laki-laki dewasa, padahal dia sudah biasa (keluar) masuk rumah kami (tanpa kami memakai hijab), dan sungguh aku menduga dalam diri Abu Hudzaifah ada sesuatu (ketidaksukaan) akan hal tersebut". Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya,”Susukanlah dia agar engkau menjadi mahramnya dan agar hilang ketidaksukaan yang ada dalam diri Abu Hudzaifah". HR Muslim (no. 1453) dan HR Bukhari (No. 3778).


Solusi Agar Anak Angkat Menjadi Mahram

Pertama,
Ambil anak yang ada hubungan mahram (kekerabatan dekat) dengan orang tua angkat yang lawan jenis. Misalnya, kalau anak perempuan, maka hendaknya ia ada hubungan mahram dengan bapak angkat, contoh: anak tersebut adalah anak perempuan dari adik atau kakak kandungnya bapak angkat. Kalau yang akan diadopsi itu anak laki-laki, maka hendaknya ia mahram dengan ibu angkatnya, contoh: anak tersebut anak laki-laki dari adik atau kakak kandungnya ibu angkat. Dengan demikian maka tidak ada penghalang untuk khalwat dan membuka sebagian aurat di depan anak angkat.

Jadi apabila yang bukan mahram sebagai contoh: anak perempuan dari saudara sepupu ibu angkat atau bapak angkat, maka anak perempuan tersebut bukan mahram dari bapak angkatnya. Atau anak laki-laki dari saudara sepupu bapak angkat atau ibu angkat, maka anak laki-laki tersebut bukan mahram dari ibu angkatnya.

Alternatif Kedua
Adalah menjadikan anak tersebut sebagai anak susuan (radha'ah) dengan cara ibu angkat menyusui anak tersebut saat bayi (sebelum usia 2 tahun). Apabila demikian, maka ia menjadi mahram bagi ibu dan bapak angkatnya.

Semoga bermanfaat,
Wassalamualaikum warrahmatullahi wa barakatuhu
DK

Sumber:

No comments:

Post a Comment