Assalamualaikum Warrohmatullahiwabarokatuhu,
Buat sobat blogger yang budiman, berikut kita bahas mengenai seputar tashyahud didalam Sholat sesuai dengan hadits shahih. Ada beberapa point penting yang harus kita perhatikan saat kita tasyahud.
1. Memberikan Isyarat dengan jari telunjuk
Dari Ibnu Umar c memberitakan bahwa apabila duduk untuk tasyahud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan telapak tangan kirinya dengan terbentang di atas lutut kirinya, sedangkan telapak tangan kanan yang berada di atas lutut kanan menggenggam jari-jemarinya seluruhnya dan memberi isyarat ke kiblat dengan jari telunjuknya dalam keadaan pandangan beliau diarahkan ke telunjuk tersebut. (HR. Malik 1/111—112, Muslim no. 1311)
Dari Abdullah bin Zubeir berkata, “Jika Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam duduk dalam shalat, beliau meletakkan telapak kaki kirinya diantara pahanya dan betisnya, serta menghamparkan telapak kaki kanannya, sambil meletakkan tangan kirinya diatas lutut kirinya, dan beliau letakkan tangan kanannya diatas paha kanannya, lalu beliau memberi isyarat dengan telunjuknya.”HR. Muslim (579), HR An Nasai (1270) dan HR Abu Daud (989)
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا جَلَسَ فِى الصَّلاَةِ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ وَرَفَعَ إِصْبَعَهُ الَّتِى تَلِى الإِبْهَامَ الْيُمْنَى يَدْعُو بِهَا وَيَدُهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ بَاسِطَهَا عَلَيْهِ
“Ketika duduk dalam shalat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kanannya di paha kanannya, lalu beliau mengangkat jari di samping jari jempol (yaitu jari telunjuk tangan kanan) dan beliau berdoa dengannya. Sedangkan tangan kiri dibentangkan di paha kirinya.” (HR. Tirmidzi no. 294).
Kapan mulai memberi isyarat jari telunjuk tersebut diperdebatkan oleh beberapa ulama, akan tetapi jikalau kita memahami ketiga hadits tersebut diatas, sudah jelas ketika duduk tasyahud, Rasulullah langsung memberi isyarat dengan telunjuknya. Wallahu a'lam.
2. Cara Duduk Tasyahud
Dari Abu Humaid ketika menjelaskan tata cara shalat kepada sepuluh sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
فَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى ، وَإِذَا جَلَسَ فِى الرَّكْعَةِ الآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ
“Jika duduk di raka’at kedua, beliau duduk di kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya (baca: duduk iftirosy). Jika beliau duduk di raka’at terakhir, beliau mengeluarkan kaki kiri dan menegakkan kaki kanannya, duduk di lantai saat itu (baca: duduk tawarruk).” (HR. Bukhari no. 828).
Dalam hadits ini untuk duduk raka’at terakhir, tidak dijelaskan apakah untuk shalat yang hanya dua, tiga atau empat raka’at. Pokoknya, di raka’at terakhir, duduknya adalah tawarruk.
Hikmahnya seperti apa? Kenapa sampai tasyahud awwal dengan iftirosy sedangkan tasyahud akhir dengan tawarruk?
Sebagaimana disebutkan oleh Imam Nawawi bahwa ulama Syafi’iyah berpendapat, duduk iftirosy pada tasyahud awwal dan duduk tawarruk pada tasyahud akhir agar tidak ada kerancuan mengenai jumlah raka’at. Yang termasuk sunnah adalah memperingan tasyahud awwal dan duduknya adalah dengan iftirosy karena setelah itu lebih mudah untuk berdiri ke raka’at berikutnya. Sedangkan untuk tasyahud kedua (tasyahud akhir) yang disunnahkan adalah diperlama. Sehingga duduknya ketika itu tawarruk. Duduk tawarruk lebih memungkinkan untuk duduk lama, juga bisa memperbanyak do’a kala itu. Makmum masbuk pun akan tahu jika melihat saat itu berada di tasyahud awwal ataukah akhir. (Al Majmu’, 3: 299).
Bagaimana jika ada makmum masbuk dan mendapatkan imam berada pada raka’at terakhir, apakah ia duduk tawarruk ataukah iftirosy?
Sebagaimana tertera dalam Al Umm dari pendapat Imam Syafi’i, juga jadi pendapat yang dianut Imam Al Ghozali dan mayoritas ulama Syafi’iyah, makmum masbuk yang telat tersebut melakukan duduk iftirosy karena ia bukan berada di akhir shalat. Sedangkan ulama Syafi’iyah lainnya berpendapat, ia mengikuti duduknya imam yaitu tawarruk.
Begitu pula jika ada makmum masbuk dari shalat Maghrib yang melakukan tasyahud hingga empat kali, maka di tiga tasyahud pertama, ia lakukan duduk iftirosy. Sedangkan tasyahud akhir (yang keempatnya), ia melakukan duduk tawarruk. Demikian pendapat dari ulama Syafi’iyah.
Namun pendapat Imam Syafi'i ini dibantah oleh Abu Dawud didalam sunahnya, beliau membawakan secara lengkap yang dijadikan dalil oleh Imam Syafi'i tersebut. Ternyata riwayat yang dibawakan Imam Syafi'i itu sedang menjelaskan tentang sholat Rasulullah 4 rakaat. Makanya Abu Dawud membawakan dalil sunahnya adalah "Apabila ia duduk di rakaat terakhir yang ada padanya 2 tahiyat, maka duduknya tawarruk". Lalu beliau membawakan riwayatnya secara lengkap, bahwa dalil yang disampaikan Imam Syafi'i tersebut adalah didalam sholat 4 rakaat.
فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلاَةِ فَاطْمَئِنَّ وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ
“Maka jika engkau duduk di pertengahan shalat (rakaat kedua), maka thuma’ninahlah, dan hamparkan paha kirimu (duduk iftirasy), lalu lakukanlah tasyahhud.” (HR. Abu Dawud dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani. Lihat kitab: Ashlu Shifah Ash-Shalaah, Al-Albani: 3/831-832)
Dan juga hadits Abu Humaid As-Saidi radhiallahu anhu dia berkata:
فَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَتَيْنِ جَلَسَ عَلَى رِجْلِهِ الْيُسْرَى وَنَصَبَ الْيُمْنَى وَإِذَا جَلَسَ فِي الرَّكْعَةِ اْلآخِرَةِ قَدَّمَ رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَنَصَبَ اْلأُخْرَى وَقَعَدَ عَلَى مَقْعَدَتِهِ.
”Jika beliau duduk pada raka’at kedua, maka beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan (duduk iftirasy). Dan jika beliau duduk pada raka’at terakhir, maka beliau mengedepankan kaki kirinya dan menegakkan kaki yang lain, dan duduk di atas tanah (duduk tawarruk).”
(HR. Al-Bukhari: 2/828)
Oleh sebab itu, menurut pendapat yang rajhi dari mayoritas para jumhur ulama, seperti Syaikh Bin Baaz (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah 7/17-18 soal no 2232), Syaikh Albani (Ashl sifat sholaat An-Nabiy 3/829 dan Irwaaul Golil 2/23) dan Syaikh Al-Utsaimin (lihat Majmuu' Fataawaa wa Rosaail Syaikh Al-'Utsaimiin 14/159 no 784), bahwa untuk sholat 2 rakaat yang duduk tasyahud akhirnya adalah iftirasy, adapun kalau lebih dari 2 rakaat seperti maghrib, isya, zhuhur dan ashar maka tasyahud terakhirnya adalah tawarruk. Khusus untuk witir yang 1 rakaat atau 3 rakaat langsung, maka dikhiaskan kepada 2 rakaat yang cuma 1 tasyahud yaitu duduknya iftirasy.
3. Membaca Tasyahud Disunnahkan dengan Sirr
Abdullah ibnu Mas ’udz mengatakan, “Merupakan sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, tasyahud dibaca secara sirr.” (HR. Abu Dawud no. 986, at-Tirmidzi no. 291, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Dawud dan Shahih at-Tirmidzi)
Al-Imam Tirmidzi rahimahumallah berkata, “Inilah yang diamalkan oleh para ulama.” (Sunan at-Tirmidzi, 1/179)
An-Nawawi rahimahumallah berkata, “Ulama sepakat disirrkannya bacaan tasyahud dan dibenci membacanya dengan jahr. Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Mas’ud.” (al-Majmu’, 3/444)
4. Bacaan Tasyahud
Bacaan ketika tasyahud awal sama dengan tasyahud akhir. Bacaan tasyahud yang diajarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bermacam-macam sehingga memberikan kelapangan kepada umat beliau untuk memilih di antara bacaan-bacaan tersebut.
Bacaan tasyahud awal dan akhir:
a. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu
Ini adalah bacaan tasyahud yang paling sahih di antara bacaan-bacaan yang ada menurut para ulama.
Ibnu Mas’ud Shallallahu ‘alaihi wasallam berkata, “Rasulullah mengajariku tasyahud, dalam keadaan telapak tanganku berada di antara dua telapak tangan beliau, sebagaimana beliau mengajariku surat al-Qur’an” (HR. al-Bukhari no. 6265 dan Muslim no. 899).
Adapun bacaannya adalah sebagai berikut:
التَّحِيَّاتُ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Semua salam/keselamatan milik Allah, demikian pula shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala) dan ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu wata’ala). Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah Subhanahu wata’ala dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah yang saleh1. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” (HR. al-Bukhari no. 831 dan Muslim no. 895)
b. Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu
Menurut al-Imam asy-Syafi’i rahimahumallah, tasyahud ini paling beliau senangi karena paling sempurna. Meski demikian, beliau,tidak mempermasalahkan orang lain yang mengamalkan tasyahud selain ini selama haditsnya sahih. (al-Umm, Bab “at-Tasyahud wash Shalah ‘alan Nabi”)
Adapun bacaannya:
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ ،ِلهلِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Semua salam/keselamatan, keberkahan-keberkahan, demikian pula shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala) dan ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah l) adalah milik Allah. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” (HR. Muslim no. 900)
c. Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu
Lafadznya:
التَّحِيَّاتُ الطَّيِّبَاتُ الصَّلَوَاتُ ،ِلهلِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Semua salam/keselamatan ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu wata’ala), demikian pula shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala) adalah milik Allah. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” (HR. Muslim no. 902)
d. Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu
Lafadznya:
التَّحِيَّاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Semua salam/keselamatan milik Allah, demikian pula shalawat (doadoa= pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala) dan ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu wata’ala). Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” (HR. Abu Daud no. 971, dinyatakan sahih dalam Shahih Abi Daud)
e. Dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu
Umar mengajarkannya kepada manusia dalam keadaan beliau berada di atas mimbar.
Lafadznya:
التَّحِيَّاتُ ،ِلهلِ الزَّاكِيَاتُ ،ِلهلِ الطَّيِّبَاتُ، الصَّلَوَاتُ لهلِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ الله وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ
“Semua salam/keselamatan milik Allah, amal-amal saleh yang menumbuhkan pahala untuk pelakunya di akhirat adalah untuk Allah, demikian pula ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu wata’ala) dan shalawat (doa-doa pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala) adalah milik Allah. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hambahamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.” (HR. Malik dalam al-Muwaththa’, no. 207)
Walaupun riwayat ini mauquf sampai Umar, namun hukumnya marfu’ sebagaimana kata Ibnu Abdil Barr rahimahumallah, “Dimaklumi, dalam urusan seperti ini tidaklah mungkin (seorang sahabat) mengatakan dengan ra’yu/akal-akalan/ pendapat pribadi.” (al-Istidzkar, 4/274)
f. Dari Aisyah radhiyallahu ‘anhu
Lafadznya:
التَّحِيَّاتُ، الطَّيِّبَاتُ، الصَّلَوَاتُ، الزَّكِيَاتُ ،ِلهلِ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ
“Semua salam/keselamatan, ucapan-ucapan yang baik (yang pantas disanjungkan kepada Allah Subhanahu wata’ala), shalawat(doa-doa pengagungan kepada Allah Subhanahu wata’ala), demikian pula amal-amal saleh yang menumbuhkan pahala untuk pelakunya di akhirat adalah untuk Allah. Aku bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya. Salam kesejahteraan atasmu wahai Nabi, rahmat Allah dan keberkahan-Nya. Salam kesejahteraan atas kami dan atas hamba-hamba Allah yang saleh. Salam kesejahteraan atas kalian.” (HR. Malik no. 209)
5. Bacaan Shalawat setelah Tasyahud:
Bacaan shalawat yang bisa dibaca setelah membaca salah satu dari tasyahud di atas:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa baarokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, semoga berkah tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).” (HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Ka’ab bin ‘Ujroh).
Membaca shalawat inipun sama antara tasyahud awal dan akhir yang sebagian ulama menganggap wajib membaca shalawat ini saat tasyahud awal dan akhir.
6. Berdoa meminta perlindungan dari empat perkara setelah Tasyahud
Doa perlindungan dari empat perkara ini hendaknya dibaca saat tasyahud akhir baik shalat sendiri maupun shalat berjamaah.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الآخِرِ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Jika salah seorang di antara kalian selesai tasyahud akhir (sebelum salam), mintalah perlindungan pada Allah dari empat hal: (1) siksa neraka jahannam, (2) siksa kubur, (3) penyimpangan ketika hidup dan mati, (4) kejelekan Al Masih Ad Dajjal.” (HR. Muslim no. 588).
Do’a yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan dalam riwayat lain:
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَشَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Allahumma inni a’udzu bika min ‘adzabil qobri, wa ‘adzabin naar, wa fitnatil mahyaa wal mamaat, wa syarri fitnatil masihid dajjal [Ya Allah, aku meminta perlindungan kepada-Mu dari siksa kubur, siksa neraka, penyimpangan ketika hidup dan mati, dan kejelekan Al Masih Ad Dajjal].” (HR. Muslim no. 588)
Sebagian ulama berpendapat wajibnya doa ini. Dari sini, maka yang lebih berhati-hati dari makmum agar tidak salam dari shalat sampai menyempurnakan tasyahud dan bershalawat kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam serta memohon perlindungan kepada Allah dari empat hal ini.
Maksudnya apabila kita belum selesai membaca doa perlindungan 4 perkara ini sementara imam sudah selesai salam, maka kita hendaknya menyempurnakan doa tersebut baru salam walaupun kita salamnya sedikit terlambat dari imam.
Syekh Ibnu Baz rahimahullah ditanya, “Dalam salam shalat, imam telah salam sementara saya belum menyempurnakan kecuali sedikit sekali dari tahiyat, apakah saya mengulangi shalatku?
Maka beliau menjawab, “Anda harus menyempurnakan tasyahud meskipun anda sedikit terlambat dari imam anda. karena tasyahud akhhir termasuk rukun menurut pendapat terkuat dari para ulama’’. Di dalamnya ada shalawat kepada Nabi sallallahu alaihi wa sallam.
Maka yang wajib anda menyempurnakannya meskipun setelah salamnya imam. Diantaranya juga berlindung kepada Allah dari siksa Jahanan, siksa kubur, fitnah kehidupan dan kematian dan dari fitnah masih Dajjal. Karena Nabi sallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk berlindung dari empat hal ini dalam tasyahud akhir. Dan karena sebagian ahli ilmu berpendapat wajibnya akan hal itu.” Wallahu a’lam. Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, (11/248)
7. Berdoa meminta supaya tetap berdzikir, bersyukur dan beribadah dengan baik
Berdoa agar kita diberikan Allah untuk tetap berdzikir, bersyukur dan beribadah ini dibaca pada tasyahud akhir dan hendaknya saat shalat sendiri karena sifat doanya untuk diri sendiri. Apabila imam belum selesai salam kita diperbolehkan membaca doa ini, tapi apabila imam sudah salam maka hendaknya kita ikut imam salam.
اللَّهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ
"Allahumma a-’inniy ’ala dzikrika wa syukrika wa husni ’ibaadatika."
“Ya Allah, tolonglah aku untuk berdzikir kepada-Mu, bersyukur kepada-Mu, serta beribadah dengan baik kepada-Mu.”
Keterangan: HR. Abu Dawud no.1522, an-Nasa-i III/53, Ahmad V/245 dan al-Hakim (I/273 dan III/273) dan dishahihkannya, juga disepakati oleh adz-Dzahabi, yang mana kedudukan hadits itu seperti yang dikatakan oleh keduanya, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan wasiat kepada Mu’adz agar dia mengucapkannya di setiap akhir shalat (bukan setelah sholat). Lebih tepatnya setelah bacaan tasyahud akhir sebelum salam.
8. Berdoa dengan doa apa saja yang diinginkan
Berdoa sesuai keinginan setelah tasyahud inipun sama halnya dengan berdoa saat sujud hendaknya dilakukan saat shalat sendirian, apabila kita bermakmum maka sebaiknya ikuti imam, dan tidak diperbolehkan imam sudah selesai salam akan tapi kita masih terus berdoa.
Dalam hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَعَذَابِ الْقَبْرِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ثُمَّ يَدْعُو لِنَفْسِهِ بِمَا بَدَا لَهُ
“Jika salah seorang di antara kalian bertasyahud, maka mintalah perlindungan pada Allah dari empat perkara yaitu dari siksa Jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati dan dari kejelekan Al Masih Ad Dajjal, kemudian hendaklah ia berdoa untuk dirinya sendiri dengan doa apa saja yang ia inginkan.” (HR. An Nasai no. 1310. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dengan catatan, hendaklah dengan bahasa Arab atau yang lebih baik adalah dengan doa yang berasal dari Al Quran dan hadits. Doa yang berasal dari Al Quran dan hadits begitu banyak yang bisa diamalkan.
Alasan berdoanya dengan bahasa Arab dikatakan oleh salah seorang ulama Syafi’iyah, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini rahimahullah:
فَإِنَّ الْخِلَافَ الْمَذْكُورَ مَحَلُّهُ فِي الْمَأْثُورِ .أَمَّا غَيْرُ الْمَأْثُورِ بِأَنْ اخْتَرَعَ دُعَاءً أَوْ ذِكْرًا بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ فَلَا يَجُوزُ كَمَا نَقَلَهُ الرَّافِعِيُّ عَنْ الْإِمَامِ تَصْرِيحًا فِي الْأُولَى ، وَاقْتَصَرَ عَلَيْهَا فِي الرَّوْضَةِ وَإِشْعَارًا فِي الثَّانِيَةِ ، وَتَبْطُلُ بِهِ صَلَاتُهُ .
“Perbedaan pendapat yang terjadi adalah pada doa ma’tsur. Adapun doa yang tidak ma’tsur (tidak berasal dalil dari Al Quran dan As Sunnah), maka tidak boleh doa atau dzikir tersebut dibuat-buat dengan selain bahasa Arab lalu dibaca di dalam shalat. Seperti itu tidak dibolehkan sebagaimana dinukilkan oleh Ar Rofi’i dari Imam Syafi’i sebagai penegasan dari yang pertama. Sedangkan dalam kitab Ar Roudhoh diringkas untuk yang kedua. Juga membaca doa seperti itu dengan selain bahasa Arab mengakibatkan shalatnya batal.” (Mughnil Muhtaj, 1: 273).
Semoga bermanfaat,
DK
Sumber: