“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Wednesday, July 14, 2021

Kisah Hancurnya Pasukan Abraha


Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuhu,
Buat sobat blogger yang dirahmati Allah, tidak lupa shalawat buat Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, kali ini penulis ingin berbagi cerita tentang bagaimana kehancuran pasukan Abraha atas kesombongannya yang akan menghancurkan rumah Allah Ka'bah. Siapa sih sebenarnya Abraha dan pasukannya tersebut? Kenapa dia berniat untuk menghancurkan Ka'bah, ikuti selengkapnya dibawah ini.

Disebutkanlah seorang Raja Najasyi yang beragama Nashrani tinggal di Habasyah (Ethiopia) dan memiliki seorang wakil yang bernama Abrahah al-Asyram yang ditugaskan di Yaman. Dari sini diketahui bahwasanya Abrahah adalah seorang Habasyi yang bermukim di Yaman. Abrahah ingin mencari muka kepada Najasyi dan kepada para pembesar Romawi. Raja Najasyi dikenal memiliki hubungan erat dengan Romawi, Karena Najasyi beragama Nashrani sedangkan pusat Kristiani berada di Romawi.

Abrahah berkeinginan membuat sebuah gereja yang sangat besar yang dapat memalingkan orang-orang Arab supaya tidak lagi berhaji ke Mekkah (Ka’bah), dan dipalingkan agar berhaji ke Shan’a (Yaman). Inilah tujuan dan tekad Abrahah ketika itu.

Karena rasa hasad dan iri saat melihat orang-orang Arab mengagungkan Ka’bah dengan cara berhaji dan berthawaf setiap tahun ke Ka’bah, maka diapun bertekad membangun sebuah gereja yang sangat besar yang dia namakan sebagai Al-Qullais. Al-Qullais disebutkan oleh sebagian ulama maknanya diambil dari qalansuah yang artinya peci. Mengapa dinamakan demikian? Kata sebagian ulama saking tingginya gereja itu sehingga jika ada seseorang yang menggunakan peci melihat puncak gereja tersebut maka  pecinya hampir jatuh. Abrahah berniat agar orang-orang meninggalkan ka’bah untuk menuju ke gereja yang dia bangun tersebut. Lalu iapun mengumumkan hal ini di negerinya. (lihat Tafsir Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 484)

Akhirnya niat busuk Abrahah terdengar sampai di Mekkah. Salah satu dari suku Kinanah (dari Quraisy) berjalan dari Arab menuju ke Shan’a, menuju ke gereja Abrahah. Saat tiba di geraja tersebut, dia buang air besar dan buang air kecil di situ, kemudian dia hambur-hamburkan kotorannya di dinding-dinding gereja.

Keesokan harinya, saat mengetahui gereja menjadi kotor dan yang melakukannya adalah orang Arab (orang Quraisy dari Kinanah), Abrahah pun murka kemudian menyiapkan pasukan yang sangat besar agar tidak ada yang mampu menghadangnya. Abrahah juga membawa seekor gajah yang sangat besar tubuhnya dan tidak pernah terlihat gajah sebesar itu. Gajah tersebut dipanggil dengan panggilan “Mahmud”. Disebutkan juga bahwa selain gajah Mahmud ada 8 ekor gajah yang lain, ada juga yang mengatakan 12 gajah yang lain. Tujuan Abrahah membawa banyak ekor gajah adalah untuk menghancurkan ka’bah dengan cara mencungkilnya sekali cungkil. Dengan menyiapkan rantai-rantai besi yang diikatkan ke leher gajah-gajah tersebut lalu rantai tersebut diikatkan ke sudut-sudut ka’bah kemudian gajah-gajah tersebut beramai-ramai mencungkil ka’bah.

Tatkala bangsa Arab mendengar kedatangan Abrahah, mereka pun mengadakan perlawanan. Namun kabilah-kabilah Arab pada saat itu tidak bersatu, sehingga tidak ada yang bisa mengalahkan Abrahah. Terlebih lagi, Abrahah membawa pasukan dalam jumlah yang besar disertai hewan gajah yang sangat besar. Sementara orang-orang Arab belum pernah melihat gajah. Hal ini semakin menimbulkan ketakutan di hati orang-orang Arab.

Ketika Abrahah sampai di dekat Makkah, tepatnya di al-Magmas, ia memerintahkan tentaranya untuk merampas ternak milik penduduk Makkah dan sekitarnya. Sebagian darinya, sekitar 200 unta milik Abdul Muttalib (wa kâna fî al-sirhi mi’atâ ba’îr li ‘abdil mutthalib). Setelah itu Abrahah mengutus Hannathah al-Himyari ke Makkah untuk membawa ke hadapannya orang yang paling terhormat di kalangan Quraisy (asyraf quraisy), sekaligus untuk menyampaikan bahwa ia datang tidak untuk memerangi bangsa Quraisy, terkecuali jika mereka menghalangi usaha mereka dari menghancurkan Ka’bah. (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, Riyadh: Dar Thayyibah, 1999, juz 8, h. 484).

Hannathah al-Himyari mendatangi Makkah dan diarahkan ke rumah Abdul Muttalib bin Hasyim. Ia menyampaikan pesan yang diberikan Abrahah kepadanya. Lalu Abdul Muttalib menjawab:

والله ما نريد حربه، وما لنا بذلك من طاقة، هذا بيت الله الحرام، وبيت خليله إبراهيم فإن يمنعه منه فهو بيته وحرمه، وإن يخلي بينه وبينه، فوالله ما عندنا دفع عنه

“Demi Allah, kami (pun) tidak berkeinginan untuk memeranginya, (lagi pula) kami tidak memiliki kemampuan untuk itu. Ini adalah rumah Allah yang disucikan (Baitullah al-Harâm), dan rumah kekasih-Nya, yaitu Ibrahim. Karena itu, jika Dia mempertahankannya (atau menjaganya) dari (penghancuran), maka (sudah sepantasnya karena) ia adalah rumah-Nya yang disucikan. Dan, jika Dia membiarkan antara rumah-Nya dan Abrahah, maka demi Allah, kami tidak (memiliki kemampuan) untuk mempertahankannya” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 484-485)

Setelah mendengar jawaban Abdul Muttalib, Hannathah al-Himyari mengajak Abdul Muttalib untuk menemui Abrahah, dan ia pergi bersamanya. Ketika Abrahah melihat Abdul Muttalib, ia terkejut atas perawakan Abdul Muttalib yang tinggi, tampan, dan penuh wibawa. Abrahah turun dari singgasananya dan duduk bersama Abdul Muttalib di permadani yang terhampar (al-bisâth). Abrahah berkata kepada penerjemahnya untuk menjelaskan keperluannya, dan Abdul Muttalib mengatakan:

إن حاجتي أن يرد علي الملك مائتي بعير أصابها لي

“Sesungguhnya keperluanku adalah (meminta agar) raja (berkenan) mengembalikan dua ratus unta milikku yang telah dirampas” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485)

Abrahah terkejut mendengarnya, lalu menyuruh penerjemahnya untuk berkata:

لقد كنت أعجبتني حين رأيتك، ثم قد زهدت فيك حين كلمتني، أتكلمني في مائتي بعير أصبتها لك، وتترك بيتا هو دينك ودين آبائك قد جئت لهدمه، لا تكلمني فيه؟

“Sungguh aku kagum (akan penampilan dan wibawamu) saat (pertama kali) melihatmu, kemudian (kesanku) padamu (berubah menjadi) meremehkan ketika (mendengar) ucapanmu. Apakah kau (hanya) berbicara kepadaku tentang dua ratus untamu yang dirampas, dan mengabaikan rumah (Baitullah) yang merupakan agamamu dan agama nenek moyangmu, (padahal) kedatanganku untuk merobohkannya, (dan kau) tidak berbicara tentang itu kepadaku?” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485)

Abdul Muttalib menjawab:
إني أنا رب الإبل، وإن للبيت ربا سيمنعه
 
“Sesungguhnya aku adalah pemilik unta itu, dan sesungguhnya untuk rumah itu (Baitullah), Pemiliknya lah yang akan mempertahankannya.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485)

Abrahah berkata, مَا كَانَ لِيَمْتَنِعَ مِنِّي“Dia tidak akan bisa menghalangiku merobohkannya.” Abdul Muttalib menjawab, أَنْتَ وَذَاكَ“anta wa dzâka” (jika begitu, [terserah] Anda). (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485)

Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa Abdul Muttalib tidak datang sendirian menemui Abrahah. Ia bersama sejumlah pembesar Arab lainnya. Para pembesar ini menawarkan sepertiga harta Tihamah pada Abrahah dengan syarat Ka’bah tidak dihancurkan. Abrahah menolak tawaran mereka, sekaligus mengembalikan dua ratus unta milik Abdul Muttalib (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485).

Kemudian Abdul Muttalib menemui orang-orang Quraisy di Makkah, dan memerintahkan mereka keluar dari kota Makkah (bil khurûj min makkata), dan berlindung di puncak perbukitan, karena takut pada serangan tentara Abrahah. Lalu, Abdul Muttalib bersama sebagian orang-orang Quraisy bergegas menuju Ka’bah dan memegang pintunya. Mereka semua berdoa dan memohon pertolongan kepada Allah dari serangan Abrahah dan tentaranya. Abdul Muttalib berujar sembari memegang pintu Ka’bah:

لاهُمَّ إن المرء يمنع رحلَه فامنع حِلَالك لا يغلبن صليبهم ومحالهم غدوا محالك

“Ya Allah, sesungguhnya seseorang (harus) mempertahankan rumahnya, karena itu pertahankanlah rumah (milik)-Mu. Jangan sekali-kali biarkan salib dan situs (ibadah yang mereka buat) menang atas rumah-Mu.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485)

Setelah selesai berdoa, Abdul Muttalib bersama orang-orang Quraisy keluar menuju daerah perbukitan. Menurut Imam Muqatil bin Sulaiman, orang-orang Quraisy meninggalkan dua ratus unta di sekitar Ka’bah untuk dikurbankan, dengan harapan ada sebagian bala tentara Abrahah yang mengambilnya tanpa hak, akibatnya Allah akan menghukum mereka (la’alla ba’dl al-jaisy yanâlu minhâ syai’an bi ghairi haqqin, fa yantaqimullah minhu). (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485).

Di pagi harinya, Abrahah bersiap memasuki Makkah dan menyiapkan gajahnya yang bernama Mahmud. Bala tentaranya pun disiapkan. Setelah semuanya siap, tentara Abrahah menghadapkan gajah ke arah Makkah. Namun, sebelum gajah disiapkan menuju Makkah, Nufail bin Habib membisikkan sesuatu ke gajah tersebut. Ia berkata:
ابرك محمود، وارجع راشدا من حيث جئت، فإنك في بلد الله الحرام

“Mahmud, menderumlah, dan kembalilah ke arah dari mana kau datang. Karena sesungguhnya kau berada di negeri Allah yang disucikan” (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485)

Nufail bin Habib al-Khas’ami adalah orang yang menghalangi laju tentara Abrahah ketika melintasi wilayah Khas’am. Ia dan pengikutnya berhasil menahan tentara Abrahah selama dua bulan, meski pada akhirnya Abrahah berhasil mengalahkannya dan menawan Nufail bin Habib. Pada mulanya, Abrahah hendak membunuhnya, tapi ia urungkan niatnya dan menjadikan Nufail sebagai penunjuk jalan. (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 484).

Setelah mendengar bisikan Nufail bin Habib, gajah itu menderum (berlutut dengan keempat kakinya), dan Nufail bergegas lari menuju perbukitan tempat orang-orang Quraisy berlindung. Para tentara memukul-mukul gajah, berusaha membuatnya berdiri, tapi tidak berhasil. Mereka pun memukul kepalanya dengan alat berat dan memasukkan tongkat di telinganya, tapi gajah itu tetap diam. Mereka mencoba mengarahkannya ke arah Yaman, gajah itu bangkit dengan sendirinya dan berjalan setengah berlari menuju ke arah Yaman. Kemudian mereka mengarahkannya ke arah Syam, dan hal yang sama pun terjadi, gajah itu bangkit dan berjalan menuju ke arahnya. Namun, jika diarahkan ke Makkah, gajah itu menderum dan tidak mau bergerak sedikit pun (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm, 1999, juz 8, h. 485).

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallāhu ‘anhumā, beliau berkata:

أَقْبَلَ أَصْحَابُ الْفِيلِ حَتَّى إِذَا دَنَوْا مِنْ مَكَّةَ اسْتَقْبَلَهُمْ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ لِمَلِكِهِمْ: مَا جَاءَ بِكَ إِلَيْنَا مَا عَنَاكَ يَا رَبَّنَا أَلَا بَعَثْتَ فَنَأْتِيكَ بِكُلِّ شَيْءٍ أَرَدْتَ؟ ” فَقَالَ: أُخْبِرْتُ بِهَذَا الْبَيْتِ الَّذِي لَا يَدْخُلُهُ أَحَدٌ إِلَّا آمَنَ فَجِئْتُ أُخِيفُ أَهْلَهُ. فَقَالَ: إِنَّا نَأْتِيكَ بِكُلِّ شَيْءٍ تُرِيدُ فَارْجِعْ” فَأَبَى إِلَّا أَنْ يَدْخُلَهُ

Pasukan bergajah pun datang. Ketika mereka mulai mendekati Mekkah, maka datanglah ‘Abdul Muththalib, kakek Nabi ﷺ menemui pasukan tersebut. ‘Abdul Muthalib berkata kepada pemimpin mereka (yaitu Abrahah): “Untuk apa engkau datang kepada kami? Tidak cukupkah engkau mengirim utusanmu sehingga kami akan membawakan kepadamu semua yang kau inginkan?”

Abrahah (dengan sombongnya-pent) berkata, “Aku dikabarkan tentang ka’bah (kota Mekah) yang tidak seorangpun memasukinya kecuali dalam keadaan aman. Maka aku datang ke mari untuk memberi ketakutan kepada penduduknya.”

Abdul Muthhalib berkata, “Kami akan memberikan semua yang kau inginkan, kembalilah engkau !”. Akan tetapi Abrahah tetap bersikeras untuk masuk Mekah (menuju ka’bah).  (HR Al-Hakim dalam Al-Mustadrok no 3974)

Dalam riwayat yang lain Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata;

فَأَتَاهُمْ عَبْدُ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ إِنَّ هَذَا بَيْتُ اللَّهِ لَمْ يُسَلِّطْ عَلَيْهِ أَحَدًا قَالُوا لَا نَرْجِعُ حَتَّى نَهْدِمَهُ فَكَانُوا لَا يُقَدِّمُونَ فِيلَهُمْ إِلَّا تَأَخَّرَ فَدَعَا اللَّهُ الطَّيْرَ الْأَبَابِيلَ فَأَعْطَاهَا حِجَارَةً سَوْدَاءَ فَلَمَّا حَاذَتْهُمْ رَمَتْهُمْ فَمَا بَقِيَ مِنْهُمْ أَحَدٌ إِلَّا أَخَذَتْهُ الْحَكَّةُ فَكَانَ لَا يَحُكُّ أَحَدٌ مِنْهُمْ جِلْدَهُ إِلَّا تَسَاقَطَ لَحْمُهُ

Abdul Muttholib mendatangi mereka dan berkata, “Sesungguhnya ini adalah rumah Allah. Allah tidak akan menyerahkannya kepada seorangpun untuk menguasai nya (menghancurkannya).” Mereka berkata, “Kami tidak akan kembali hingga kami menghancurkannya.” Maka tidaklah mereka memerintahkan gajah mereka untuk maju kecuali gajah tersebut mundur. Allah kemudian memanggil burung-burung dengan berbondong-bondong, lalu Allah memberikan batu berwarna hitam kepada burung-burung tersebut. Tatkala burung-burung itu telah sejajar dengan mereka maka burung-burung itu melemparkan batu tersebut kepada mereka. Sehingga tidak tersisa seorang pun dari mereka kecuali mengalami rasa gatal (yang luar biasa-pent). Tidaklah seorangpun dari mereka yang menggaruk kulitnya kecuali dagingnya berjatuhan.” (Disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 12/207 dan beliau menilai sanadnya hasan)

Dalam riwayat yang lain dari Ikrimah, beliau berkata:

أَنَّهَا كَانَتْ طَيْرًا خُضْرًا خَرَجَتْ من الْبَحْر لَهَا رُؤُوس كَرُءُوسِ السِّبَاعِ

“Burung-burung tersebut berwarna hijau, muncul dari laut, kepalanya seperti kepala binatang buas.” (Disebutkan oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 12/207 dan beliau menilai sanadnya shahih)

Pasukan Abrahah yang terkena lemparan batu tidak semuanya tewas seketika. Sebagian mereka tewas dengan cepat, sebagian lagi kabur dalam kondisi terputus-putus dan terlepas-lepas anggota tubuhnya hingga tewas. Adapun Abrahah, dia tidak tewas seketika namun dia termasuk yang kabur melarikan diri. Allah tidak menjadikannya langsung tewas karena Allah ingin menyiksanya. Ada yang mengatakan bahwa dia tewas di negeri Khots’am. Ada pula yang berpendapat bahwa dia berhasil kembali ke Shan’a dan mati disana. Namun selama dalam perjalanan kaburnya, badannya terlepas sedikit demi sedikit dari tubuhnya sampai akhirnya di Shan’a dadanya terbelah dan jantungnya keluar, Allāh menyiksanya dan tidak langsung mematikannya. Demikianlah kisah Abrahah dengan pasukan tentara bergajahnya yang dihancurkan oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir 8/486)

Disebutkan pula oleh Ibnu Hisyām, dengan sanad yang hasan, ‘Āisyah menceritakan bahwa "dia melihat pemimpin gajah dan pawangnya masih hidup dalam kondisi buta meminta-minta makanan di Mekah" (lihat As-Shiroh An-Nabawiyah As-Shahihah 1/98). Pasukan Abrahah tidak semuanya mati, masih ada yang hidup, namun dalam keadaan buta dengan kondisi yang sangat memprihatinkan.

Dikisahkan setelah 50 hari tragedi hancurnya pasukan bergajah tersebut, maka lahirlah Nabi Muhammad shallallāhu ‘alayhi wa sallam, yang bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul awal Tahun Gajah (20 April 570 masehi).

Itulah kisah kehancuran pasukan Abraha yang sombong dan angkuh dengan kekuatannya dan tidak takut dengan ancaman bagi seorangpun yang akan merusak rumah Allah. Semoga blogger semua sudah paham dengan cerita pasukan bergajah ini, dan bisa mengambil pelajarannya bahwa janji Allah itu adalah benar, seperti yang Allah jelaskan didalam surat Al Fiil 1-5 berikut ini:

أَلَمْ تَرَ كَيْفَ فَعَلَ رَبُّكَ بِأَصْحَابِ الْفِيلِ . أَلَمْ يَجْعَلْ كَيْدَهُمْ فِي تَضْلِيلٍ . وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْرًا أَبَابِيلَ . تَرْمِيهِمْ بِحِجَارَةٍ مِنْ سِجِّيلٍ . فَجَعَلَهُمْ كَعَصْفٍ مَأْكُولٍ 

"Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia (Allah) telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka'bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar, lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)." (QS. Al-Fiil [105]: 1-5)

Wassalam,
DK

Sumber:

No comments:

Post a Comment