“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Tuesday, July 13, 2021

Perang Hunain


Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuhu,
Semoga Allah memberkahi kita semua meski pandemi Covid 19 masih berlalu yang membuat puluhan ribu rakyat Indonesia berpulang menghadap Allah rabbul alamin. Kali ini saya ingin membagikan cerita tentang sejarah perang Hunain disaat Makkah sudah ditaklukan Rasulullah ﷺ. Bagaimana kisah ceritanya mari ikuti penjelasan dibawah ini:

Rasulullah berangkat menuju medan perang Hunain tanggal enam bulan Syawal tahun ke-8 H, berjarak sembilan belas hari setelah penaklukan Makkah. Hunain adalah nama lembah dekat dengan Thaif. Antara Hunain dan Makkah berjarak sekitar delapan belas mil.

Penyebab terjadinya perang Hunain adalah, ketika kekuasaan berhala berhasil diruntuhkan oleh Rasulullah saat penaklukan Makkah, bangsa Arab telah tunduk pada Islam dan mereka berbondong-bondong memasuki agama tersebut.

Namun masih ada dua kabilah baduwi yang memiliki fanatisme jahiliyah, yaitu suku Hawazin dan Tsaqif. Para pembesar mereka kemudian bermusyawarah, karena menurut perkiraan mereka, setelah Muhammad selesai memerangi kaumnya sendiri, dia akan segera memerangi mereka. Sebab itu mereka ingin memerangi Muhammad terlebih dahulu.

Mereka kemudian mengangkat seorang pemimpin, yaitu Malik bin Auf an-Nashri. Malik berhasil mendapatkan dukungan dari banyak kabilah, yaitu Bani Jutsyam, Bani Sa’ad bin Bakr, dan Auza’ dari Bani Hilal. Sehingga pasukan yang turut bersamanya sebanyak 4.000 orang.

Dalam kelompok mereka ada seorang yang berpengalaman dalam perang, dia bernama Duraid bin Shimmah yang telah lanjut usia, namun pemikirannya masih dibutuhkan. Pada saat Malik ingin mengajak para wanita, anak-anak dan harta benda turut dibawa dalam peperangan, Duraid menanyakan alasan strategi tersebut pada Malik. Malik menjawab, “Aku mengajak mereka, agar setiap pasukan tidak lari dari medan perang demi mempertahankan wanita, anak-anak dan harta benda mereka.”

Di tempat lain, ketika Rasulullah mendengar Hawazin dan Tsaqif telah bersiap-siap untuk memerangi beliau, maka beliau mengutus Abdullah bin Abi Hadrad al-Aslami untuk meyelidiki kebenaran berita tersebut. Rasulullah memerintahkan Abdullah agar tinggal di perkampungan musuh, dan akhirnya Abdullah berhasil mendengar hasil musyawarah pihak musuh, mendengar beberapa statement Malik dan mengetahui langsung kondisi kabilah Hawazin. Hasil spionase itu kemudian dilaporkan pada Rasululah.

Setelah itu, Rasulullah berketapan hati untuk berangkat memerangi Hawazin dan Tsaqif. Beliau segera mengadakan persiapan, diantaranya dengan meminjam seratus baju zirah dan pedang kepada Shafwan bin Umayyah yang masih musyrik. Nabi berkata pada Shafwan, “Wahai Abu Umayyah, pinjamkakanlah pedangmu pada kami, besok akan kami gunakan untuk menghadapi musuh”. Shafwan menjawab, “Apakah engkau menggasab wahai Muhammad?” Nabi menjawab, “Bukan, melainkan pinjaman yang dijamin sampai kami mengembalikannya padamu.”

Rasulullah kemudian berangkat dengan 12.000 pasukan, yang 2.000 berasal dari Makkah, sementara yang 10.000 adalah pasukan dari Madinah. Para penduduk Makkah banyak yang turut berangkat, baik yang berkendaraan atau berjalan kaki, termasuk para wanita. Mereka mengharapkan rampasan perang. Turut juga 80 orang Musyrik, diantaranya adalah Shafwan bin Umayyah dan Suhail bin Amr.

Ketika pasukan Rasulullah sudah dekat dengan musuh, Rasulullah menertibkan barisan dan mengikatkan bendera-bendera perang. Beliau menyerahkan berdera Muhajirin pada Ali bin Abi Thalib, bendera Khazraj pada Hubab bin Mundzir, bendera Aus pada Usaid bin Khudhair, begitu pula memberikan bendera pada masing-masing kabilah Arab. Rasulullah lalu mengendarai Bighalnya, memakai baju zirah, topi baja, dan mighfar (baju besi berantai).

Pada saat itu, sebagian kaum muslimin merasa kagum dan bangga dengan jumlah mereka yang cukup besar. Salamah bin Salam bin Waqsy mengatakan, “Hari ini kita tidak akan dikalahkan oleh jumlah yang sedikit”. Mendengar perkataan ini Rasulullah sangat marah.

Pada kenyataannya jumlah yang besar tidak memberi maanfaat apa pun, sebagaimana yang difirmankan Allah:

لَقَدْ نَصَرَكُمُ اللَّهُ فِي مَوَاطِنَ كَثِيرَةٍ وَيَوْمَ حُنَيْنٍ إِذْ أَعْجَبَتْكُمْ كَثْرَتُكُمْ فَلَمْ تُغْنِ عَنْكُمْ شَيْئًا وَضَاقَتْ عَلَيْكُمُ الْأَرْضُ بِمَا رَحُبَتْ ثُمَّ وَلَّيْتُمْ مُدْبِرِينَ (25) ثُمَّ أَنْزَلَ اللَّهُ سَكِينَتَهُ عَلَى رَسُولِهِ وَعَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَأَنْزَلَ جُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَعَذَّبَ الَّذِينَ كَفَرُوا وَذَلِكَ جَزَاءُ الْكَافِرِينَ (26) ثُمَّ يَتُوبُ اللَّهُ مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ عَلَى مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ (27)

“Sesungguhnya Allah telah menolong kamu (hai para mukminin) di medan peperangan yang banyak, dan (ingatlah) peperangan Hunain, yaitu diwaktu kamu menjadi congkak karena banyaknya jumlah (mu), maka jumlah yang banyak itu tidak memberi manfaat kepadamu sedikitpun, dan bumi yang luas itu telah terasa sempit olehmu, kemudian kamu lari kebelakang dengan bercerai-berai. (25) Kemudian Allah menurunkan ketenangan kepada RasulNya dan kepada orang-orang yang beriman, dan Allah menurunkan bala tentara yang kamu tiada melihatnya, dan Allah menimpakan bencana kepada orang- orang yang kafir, dan demikianlah pembalasan kepada orang-orang yang kafir. (26) Sesudah itu Allah menerima taubat dari orang-orang yang dikehendakiNya. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (27).” (Q.S. at-Taubah [09] : 25-27)

Ketika pasukan terdepan muslimin sampai ke lembah Hunain, mereka disergap oleh pasukan musuh yang bersembunyi di celah-celah lembah dan tempat-tempat yang sempit. Pasukan muslimin mendapatkan serangan anak panah yang sangat banyak bagaikan belalang yang bertebaran. Mereka kemudian membelokkan tali kendali kuda untuk segera mundur. Ketika berjumpa dengan barisan belakangnya, mereka juga ikut melarikan diri karena serangan musuh tersebut sangat mengejutkan.

Sementara Rasulullah bergeming, beliau tetap berada di medan perang di atas keledai kelabunya yang bernama Duldul. Beliau hanya ditemani sedikit sahabat Muhajirin dan Anshar. Di antaranya adalah Abu Bakar, Umar, Ali, Abbas dan putranya yang bernama Fadhal, Abu Sufyan bin Harits dan putranya yang bernama Ja’far juga saudaranya yang bernama Rabi’ah bin Harits, Mu’attib bin Abu Lahab, Usamah bin Zaid, dan Aiman bin Ummu Aiman.

Abbas pada saat itu yang memegangi tali kendali keledai, dan Abu Sufyan yang memegangi rikab (sanggurdi). Rasulullah memanggil para sahabat yang telah kocar-kacir itu, “Kemarilah wahai para sahabat.” Namun tidak ada satu pun yang memperhatikan seruan tersebut. Bumi terasa sempit bagi mereka yang melarikan diri, padahal bumi itu sangat luas.

Sedangkan beberapa orang Makkah yang baru saja memeluk Islam, dan beberapa orang yang belum terlepas dari belenggu kemusyrikan, memiliki tanggapan yang berbeda ketika melihat pasukan muslimin banyak yang melarikan diri. Abu Sufyan bin Harb menyindir dengan mengatakan, “Pelarian mereka tidak akan tiba ke pantai, anak panah akan terus mereka bawa dalam tabungnya”.

Begitu juga dengan Kaldah, saudara Shafwan bin Umayyah, “Sekarang tidak berlaku lagi sihir”. Mendengar itu, Shafwan yang masih musyrik mengatakan, “Diamlah, semoga Allah memecahkan mulutmu! Demi Allah jika aku dikuasai seorang Quraisy, itu lebih baik daripada aku dikuasai seorang Hawazin”.

Rasulullah kemudian memerintahkan Abbas yang memiliki suara lantang, “Wahai Abbas, panggillah sahabat Anshar”. Abbas segera memanggil, “Wahai golongan Anshar! Wahai para sahabat yang turut dalam Baiat Ridhwan”. Abbas berteriak keras agar terdengar oleh orang-orang yang ada di lembah.

Mendengar panggilan itu, sahabat Anshar segera menjawab, “Labbaik, labbaik (aku sambut panggilanmu dan dengan setia siap menerima perintahmu)”.  Mereka ingin membelokkan arah kendali untanya, akan tetapi terhalang oleh banyaknya Baduwi yang sedang menguasai pertempuran.

Mereka segera mengambil baju zirah, pedang dan tameng, kemudian turun dari unta dan melepaskan unta-unta tersebut, lalu bertempur sambil merapat ke arah Rasulullah. Pada akhirnya, sekitar seratus sahabat berada di dekat Rasulullah, kemudian mereka bertempur menghadapi Hawazin.

Allah kemudian menurunkan sakinah (ketenangan) pada Rasululah dan kaum muslimin, juga menurunkan pasukan Malaikat yang tidak terlihat. Selain itu, Allah juga menurunkan rasa gentar kepada pasukan Hawazin ketika berhadapan dengan Rasulullah. Pada saat berhadapan, Rasulullah berteriak dan melemparkan kerikil pada Hawazin sambil membaca firman Allah: “wa maa ramaita idz ramaita walakinnallaha rama” (…dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar…” (Q.S. Al-Anhfal [08] : 17).

Lemparan kerikil Rasulullah membuat mereka tidak berdaya. Kaum muslimin akhirnya berhasil mengalahkan pasukan musyrik dan memecah kekuatan mereka sehingga mereka tidak lagi menghiraukan harta, wanita dan anak-anak, dan pada akhirnya semua menjadi ghanimah perang. Musuh yang melarikan diri berhasil dikejar, ada yang dibunuh dan ada juga yang ditawan.

Dampak dari kemenangan perang Hunain adalah, banyak musyrikin Makkah yang memeluk Islam setelah melihat perlindungan Allah terhadap kaum muslimin.

Begitulah cerita perang Hunain yang mengajarkan kepada kita janganlah sombong dengan banyaknya pasukan kita disaat menghadapi musuh, terbukti dengan sebagian pasukan muslim lari tunggang langgang ketika menghadapi serbuan anak panah yang dilesatkan dari busurnya oleh pasukan Hawazin di celah lembah Hunain.

Semoga kita bisa ambil pelajaran dari kisah perang Hunain tersebut, dan bisa kita ajarkan kepada anak cucu kita bagaimanakah sikap kita tatkala berada di posisi atas, atau tatkala kita berkuasa hendaklah jangan berlaku sombong.

Semoga bermanfaat,
Wassalam,
DK

Sumber:
Ad-Durar fi Ikhtisharil Maghazi wa as-Siyar, al-Qashash al-Haq, Nur al-Yaqin fi Siirati Sayyidil Mursalin, Uyun al-Atsar.

No comments:

Post a Comment