Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuhu,
Pada pertemuan kali ini penulis ingin menyampaikan sepuluh sahabat terakhir yang di jamin Rasulullah ﷺ masuk surga, yaitu Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Seperti apa keistimewaan dari seorang Abu Ubaidah bin Al-Jarrah dalam kegiatan ibadahnya sehari-hari yang bisa kita contoh, ikuti penjelasan dibawah ini.
Beliau mempunyai sanad dengan nama lengkap Abu Ubaidah (Amir) bin ‘Abdullah bin Jarrah bin Hilal, Al-Fihri Al-Qurasyi Al-Makki.
Abu Ubaidah lahir 13 tahun setelah peristiwa Gajah atau 40 tahun sebelum Hijriah/583M di kota Makkah. Ia lebih muda 13 tahun dari Rasulullah ﷺ. Dan beliau wafat di Jordania pada usia 58 tahunbertepatan 18 Hijriyah/639M. Ia adalah laki-laki yang berperawakan kurus berwajah cekung. Janggutnya tipis. Posturnya tinggi bungkuk, dan patah gigi serinya. (Thabaqat Ibnu Saad).
Ibunya adalah Umamah binti Ghanm bin Jabir bin ‘Abdul ‘Uzza bin Amirah bin Umairah, ia sempat menjumpai Islam dan masuk Islam. Ayahnya adalah Abdullah bin Jarrah bin Hilal Al-Fihri, ia tetap dengan kemusyrikannya dan tidak beriman kepada Rasulullah ﷺ, hingga wafat sebagai orang musyrik setelah dibunuh oleh putranya sendiri saat perang Badar.
Abu Ubaidah hanya menikah dengan satu istri sepanjang hidupnya yaitu Hindun binti Jabir bin Wahab bin Dhibab bin Hujair bin Abd bin Ma’ish bin Amir bin Lu’ai. Ia memiliki dua anak yaitu Yazid dan Umair. Kedua anaknya meninggal dunia, sehingga Abu Ubaidah tidak memiliki keturunan.
Dia masuk Islam melalui Abu Bakar ash-Shiddiq, dan juga termasuk dalam golongan Assabiqunal Awwalun atau orang-orang yang pertama kali masuk Islam.
Abu Ubaidah bin Jarrah wafat karena penyakit menular (Wabah Amwas) yang kala itu menjadi pandemi di daerah Amwas, Syam (Jordania). Kabar ini tersebar sampai ke telinga Amirul Mukminin. Begitu sedihnya beliau mendengar sahabatnya yang sangat ia cintai dan ia percayai telah meninggalkan dunia ini. Abu Ubaidah sempat berwasiat kepada pasukanya.
Beliau berkata “Aku berwasiat kepada kalian. Jika wasiat ini kalian terima dan laksanakan, kalian tidak akan sesat dari jalan yang baik, dan senantiasa dalam keadaan bahagia. Tetaplah kalian menegakkan shalat, berpuasa Ramadhan, membayar zakat, dan menunaikan haji dan umrah. Hendaklah kalian saling menasihati sesama kalian, nasihati pemerintah kalian, dan jangan biarkan mereka tersesat. Dan janganlah kalian tergoda oleh dunia. Walaupun seseorang berusia panjang hingga seribu tahun, dia pasti akan menjumpai kematian seperti yang kalian saksikan ini. Kemudian dia menoleh kepada Mu’adz bin Jabal, “Wahai Muadz, sekarang kau yang menjadi imam (panglima)!”
Yang menjadi keistimewaan seorang Abu Ubaidah sehingga dia di jamin surga oleh Rasulullah ﷺ adalah:
1. Amanah dan terpercaya
Rasulullah memberikan kepercayaan yang sangat tinggi kepada Abu Ubaidah. Suatu saat Rasulullah memegang tangan kanan Abu Ubaidah seraya berkata
إِنَّ لَكُمْ أُمَّةً أَمِيْنًا، وَإِنَّ أَمِيْنَ هذِهِ اْلأُمَّةِ أَبُوْ عُبَيْدَةَ بْنُ اْلجَرَّاحِ
Setiap umat mempunyai orang terpercaya, dan orang yang terpercaya di kalangan umatku adalah Abu Ubaidah bin Al-Jarrah.” (HR.Ahmad dalam Musnad-nya 3:184).
Dan dari sinilah beliau mulai disebut sebagai pemimpin para pemimpin. Tidak hanya Rasulullah saja yang begitu sangat mempercayai beliau. Namun Amirul Mukminin, Umar ibnu Khattab juga sangat menaruh kepercayaan yang tinggi terhadap beliau.
Umar ibnu Khattab pernah berkata di saat akhir nafasnya bahwa ”Seandainya jika Abu Ubaidah bin Jarrah masih hidup, maka aku akan menunjuknya sebagai penggantiku”.
Abu Ubaidah juga tak pernah luput dalam mengikuti perang bersama Rasulullah (Ghozwah). Beliau sempat ikut berhijrah ke Habasyah yang kedua. Namun ketika perang dikumandangkan, beliau datang. Pada saat itu Perang Badar (Muhammad bin Hasan Syurrob, Abu Ubaidah bin Jarrah).
Kesetiaan beliau juga dapat dilihat di perang-perang selanjutnya. Seperti Perang Uhud. Kondisi dimana kaum muslimin terobrak abrik oleh pasukan kaum musyrikin. Sikap yang ia ambil dalam perang Uhud benar-benar menggambarkan kepada kita bahwa ia adalah kepercayaan umat ini.
Dia berperang selalu di dekat Rasulullah dan terus menebaskan pedangnya kepada musuh-musuh islam. Hingga wafatnya Rasulullah, Abu Ubaidah selalu mentaati pemimpinya. Di saat pemerintahan Khalifah Umar, Abu Ubaidah memimpin tentara-tentara kaum muslimin dalam penaklukan Syam. Dan alhasil atas pertolongan Allah, beliau berhasil menuntaskan tugasnya dan memperoleh kemenangan.
Saat berusia 41 tahun, Abu Ubaidah terlibat dalam perang Badar. Ia juga mengikuti perang Uhud. Ketika perang Uhud, dua gigi depannya copot, malah tampilan dirinya menjadi bagus. Giginya ompong dikarenakan ia mencabut dua rantai yang masuk melalui lubang kancing topi besi di wajah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena terkena tebasan.
2. Loyalitas tinggi
Salah satu penancapan yang menghujam hasil didikan Rasulullah ﷺ pada Abu Ubaidah adalah dalam permasalahan al-wala’ (loyal) dan al-bara’ (tidak loyal), yaitu pada Perang Badar.
Di perang tersebut, Abu Ubaidah bertemu dengan ayahnya di pihak musuh. Dikisahkan, Abu Ubaidah menyusup ke barisan musuh tanpa takut mati. Tentara berkuda kaum musyrikin menghadang dan mengejarnya ke mana ia lari. Ada seorang prajurit yang terus mengincar dan mengejar Abu Ubaidah dengan sangat beringas.
Abu Ubaidah berusaha menghindar dan menjauhkan diri agar tidak bertarung dengan orang itu. Namun, prajurit itu tidak mau berhenti mengejarnya, yang ternyata ayah Abu Ubaidah.
Abdullah bin Syaudzb menceritakan, “Ayah Abu Ubaidah menantang sang anak di Perang Badar. Saat duel itu Abu Ubaidah berhasil membuat ayahnya terpojok. Saat sang ayah sudah banyak terluka, Abu Ubaidah pun membunuhnya.
Allah menurunkan wahyu-Nya berkaitan dengan kejadian ini,
﴿لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ، وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ، أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ، وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا، رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ، أُولَئِكَ حِزْبُ اللهِ، أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah rida terhadap mereka, dan merekapun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” [QS al-Mujadilah: 22] (Diriwayatkan oleh ath-Thabrani, al-Hakim, dan al-Baihaqi).
Tentu kisah ini mungkin akan sulit diterima dan dibayangkan, terlebih dengan kacamata orang-orang toleran yang tidak mengenal al-wala’ dan al-bara’. Mungkin mereka kecewa dengan agama ini dan orang-orang yang dijadikan teladan dalam agama. Hanya saja cara pandang al-wala’ dan al-bara’ berbeda. Abu Ubaidah adalah seorang yang berakhlak mulia, yang disebut sebagai kepercayaan umat ini. Spirit saat berhadapan dengan sang ayah adalah spirit dari Allah. Ia tidak menimbang dengan pandangan dunia yang fana, sehingga berhasil keluar dari sekat dan ikatan duniawi.
5. Rendah hati dan berakhlak baik
Abu Ubaidah adalah seorang yang berakhlak mulia, sangat tenang, zuhud, dan rendah hati.
Umar pernah berkata dengan orang-orang yang duduk bersamanya, “Buatlah harapan!” Orang-orang pun menyampaikan harapan-harapan mereka. Lalu Umar berkata, “Adapun aku, aku berharap sebuah rumah yang dipenuhi orang-orang semisal Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”
Saat terjadi perbedaan pendapat antara Muhajirin dan Anshar tentang siapa yang memimpin setelah Rasulullah ﷺ, Abu Ubaidah mengucapkan satu kalimat yang menyatukan. Ia berkata, “Wahai orang-orang Anshar, kalian adalah yang pertama menolong dan membantu. Karena itu, jangan sampai kalian menjadi yang pertama berubah.”
Ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, keputusan pertama yang ia buat adalah menunjuk Abu Ubaidah sebagai panglima perang menggantikan Khalid bin al-Walid. Umar berkata, “Kuwasiatkan padamu untuk bertakwa kepada Allah Yang Maha Abadi sementara selain-Nya fana. Dialah yang memberi petunjuk kepada kita. Mengeluarkan kita dari kegelapan menuju cahaya. Aku telah menunjukmu menjadi panglima perang menggantikan Khalid bin al-Walid. Atur mereka sesuai dengan wewenangmu. Jangan kau biarkan kaum muslimin terjerumus dalam kebinasaan dengan semata-mata hanya berharap rampasan perang. Jangan kau posisikan mereka di satu posisi sebelum kau periksa kondisi mereka. Dan mengetahui tempat yang akan mereka datangi. Jangan kau kirim pasukan kecuali dengan jumlah yang besar. Jangan sampai kau hadapkan kaum muslimin pada kebinasaan. Kalau kau lakukan itu, kau telah menimpakan musibah untukmu demikian juga untukku. Tundukkan pandangamu dari dunia. Dan palingkan hatimu darinya. Waspadalah! Jangan sampai engkau binasa seperti binasanya umat-umat sebelummu. Padahal engkau telah tahu kekalahan mereka.” (Tarikh ath-Thabari, 3/434).
Umar pun pernah berkata, “Aku tidak akan mengubah suatu perkara yang telah diputuskan oleh Abu Ubaidah.” (Tarikh ath-Thabari, 3/434).
Saat Abu Ubaidah dimakamkan, Muadz bin Jabal berkhotbah di tengah masyarakat yang hadir. Ia menyebutkan banyak keutamaan Abu Ubaidah dalam khotbahnya.
Abu Said al-Maqbari berkata, “Saat Abu Ubaidah terfinfeksi wabah thaun, ia berkata, ‘Muadz, imamilah orang salat’. Muadz pun mengimami masyarakat. Lalu Abu Ubaidah bin al-Jarrah wafat.
Muadz berdiri dan menyampaikan khotbah, "Masyarakat sekalian bertobatlah kepada Allah dari dosa-dosa yang kalian kerjakan. Karena tidaklah seorang hamba Allah menghadap-Nya dalam kondisi ia sudah bertaubat kecuali Allah mewajibkan diri-Nya sendiri untuk mengampun orang tersebut.”
Muadz melanjutkan, “Kalian dikejutkan dengan wafatnya seseorang. Yang aku tak pernah melihat seorang yang paling sedikit kesalahannya, paling baik hatinya, paling jauh dari kejahatan, paling cinta dengan akhirat, dan paling menginginkan kebaikan untuk masyarakat melebihi dirinya. Doakan dia rahmat. Dan mari kita ke tanah lapang untuk menyalatkannya. Demi Allah, kalian tidak akan mendapatkan orang semisalnya lagi.”
Muadz maju ke depan mengimami salat jenazahnya. Muadz bin Jabal, Amr bin al-Ash, adh-Dhahak bin Qays adalah orang-orang yang masuk ke liang kuburnya dan meletakkan jenazah Abu Ubaidah di lahat.
Saat tanah sudah menimbun jasad Abu Ubaidah, Muadz berkata, “Abu Ubaidah, sungguh aku akan memujimu dan yang kukatakan ini bukanlah dusta yang aku khawatir Allah akan menghukumku. Demi Allah, sungguh engkau adalah orang yang banyak berzikir mengingat Allah. Orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian. Orang yang tunduk dan patuh kepada Allah. Seorang yang rendah hati. Yang menyayangi anak-anak yatim, orang-orang miskin. Dan tidak suka dengan orang-orang yang berkhianat dan sombong." (al-Mustadrak, 3/295).
Dari penjelasan kitab al-Mustadrak diatas menunjukkan bahwa Abu Ubaidah adalah seorang yang berakhlak baik diantaranya:
1. Banyak berzikir mengingat Allah
2. Rendah hati
3. Membalas orang yang menjahili dengan ucapan keselamatan
4. Tidak membelanjakan harta dengan berlebih
5. Tidak kikir
6. Tunduk dan patuh perintah Allah
7. Menyayangi anak yatim dan fakir miskin
8. Tidak berkhianat dan sombong
Demikianlah di antara keistimewaan Abu Ubaidah bin Al-Jarrah yang secara langsung diucapkan dan dilegitimasi oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi salah seorang yang dijamin masuk surga. Semoga Allah meridhai Abu Ubaidah bin Al-Jarrah. Aamieen.
Wassalam,
DK
Sumber
No comments:
Post a Comment