Posisi Jari Telunjuk saat Tasyahud |
Pertanyaan:
Melihat dalam praktek sholat, ada sebagaian orang yang menggerak-gerakkan jari telunjuknya ketika tasyahud dan ada yang tidak menggerak-gerakkan. mana yang paling rojih (kuat) dalam masalah ini dengan uraian dengan dalilnya?
Jawab:
Permasalahan-permasalahan seperti ini, yang berkembang ditengah masyarakat merupakan salah satu permasalahan yang perlu dibahas secara ilmiah. Dalam kondisi mayoritas masyarakat yang jauh dari tuntunan agamanya, ketika mereka menyaksikan masalah-masalah sepertinya sering terjadi debat mulut dan mengolok-olok yang lainnya yang kadang berakhir dengan permusuhan atau perpecahan. Hal ini merupakan fenomena yang sangat menyedihkan tatkala akibat yang terjadi hanya disebabkan oleh perselisihan pendapat dalam masalah furu’, padahal kalau mereka memperhatikan karya-karya para ulama seperti kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Imam An-Nawawy. Kitab Al-Mughny karya Imam Ibnu Qudamah, kitab Al-Ausath karya Ibnu Mundzir, Ikhtilaful Ulama karya Muhammad bin Nashr Al-Marwazy dan lain-lainnya, niscaya mereka akan menemukan para ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ibadah, muamalah dan lain-lainnya, akan tetapi hal tersebut tidak menimbulkan perpecahan maupun permusuhan dikalangan para ulama. Maka kewajiban setiap muslim dan muslimah mengambil segala perkara dengan dalilnya. Wallahul Musta’an.
Adapun masalah menggerak-gerakkan jari telunjuk ketika tasyahud atau tidak mengerak-gerakkannya, rincian masalah ini sebagai berikut:
Hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk ketika tasyahud ada tiga jenis :
- Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali.
- Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan
- Ada yang menjelaskan bahwa jari telunjuk hanya sekedar diisyaratkan (menelunjuk) dan tidak dijelaskan apakah digerak-gerakkan atau tidak.
Perlu diketahui bahwa hadits-hadits yang menjelaskan tentang keadaan jari telunjuk kebanyakan menjelaskan jenis yang ketiga dan tidak ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan tidak diragukan lagi akan shohihnya hadits-hadits yang menjelaskan jenis yang ketiga. Karena hadits-hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhary, Imam Muslim dan lain-lainnya, dari beberapa orang sahabat seperti ‘Abdullah bin Zubair, ‘Abdullah bin ‘Umar, Abu Muhamsmad As-Sa’idy, Wail Bin Hujur, Sa’ad bin Abi Waqqash dan lain-lainnya. Maka yang perlu dibahas disini hanyalah derajat hadits-hadits jenis pertama yang tidak digerak-gerakkan dan kedua yang digerak-gerakkan.
Hadits-hadits yang menyatakan jari telunjuk tidak digerakkan sama sekali, sepanjang pemeriksaan kami ada dua hadits yang menjelaskan hal tersebut, diantaranya:
TIPE HADITS PERTAMA (TIDAK MENGGERAKKAN)
أن النبي صلى الله عليه وآله وسلم كان يشير بأصبعه إذا دعا ولا يحركها
“Sesungguhnya Nabi Shalallahu alaihi wassalam, beliau berisyarat dengan telunjuknya bila beliau berdoa dan beliau tidak mengerak-gerakkannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunan-nya no.989, An-Nasai dalam Al-Mujtaba 3/37 no.127, Ath-Thobarany dalam kitab Ad-Du’a no.638, Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/177-178 no.676. Semua meriwayatkan dari jalan Hajjaj bin Muhammad dari Ibnu Juraij dari Muhammad bin ‘Ajlan dari ‘Amir bin ‘Abdillah bin Zubair dari ayahnya ‘Abdullah bin Zubair… kemudian beliau menyebut hadits di atas.
Derajat Rawi-Rawi Hadits Ini Sebagai Berikut :
- Hajjaj bin Muhammad. Beliau rawi tsiqoh (terpercaya) yang tsabt (kuat) akan tetapi mukhtalit (bercampur) hafalannya diakhir umurnya, akan tetapi hal tersebut tidak membahayakan riwayatnya karena tidak ada yang mengambil hadits dari beliau setelah hafalan beliau bercampur. Baca : Al-Kawakib An-Nayyirot, Tarikh Baghdad dan lain-lainnya.
- Ibnu Juraij. Nama beliau ‘Abdul Malik bin ‘Abdul ‘Aziz bin Juraij Al-Makky seorang rawi tsiqoh tapi mudallis akan tetapi riwayatnya disini tidak berbahaya karena beliau sudah memakai kata أخبرني (memberitakan kepadaku).
- Muhammad bin ‘Ajlan. Seorang rawi shoduq (jujur).
- Amir bin ‘Abdillah bin Zubair. Kata Al-Hafidz dalam Taqrib beliau adalah tsiqoh ‘abid (terpercaya, ahli ibadah).
- Abdullah bin Zubair. Sahabat.
Derajat Hadits:
Rawi-rawi hadits ini adalah rawi yang dapat dipakai berhujjah akan tetapi hal tersebut belumlah cukup menyatakan bahwa hadits ini adalah hadits yang shohih atau hasan sebelum dipastikan bahwa hadits ini bebas dari ‘Illat (cacat) dan tidak syadz (ganjil). Dan setelah pemeriksaan ternyata lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) ini adalah lafadz yang syadz (ganjil).
Syadz (ganjil) adalah riwayat seorang Rawi Tsiqoh, dari seorang Guru, yang menyelisihi temannya yang meriwayatkan dari guru yang sama, tetapi yang menyelisihinya lebih kuat keadaannya, bisa jadi karena lebih banyak jumlahnya, misal 1 orang menyelisihi 11 orang, atau lebih Tsiqoh (terpercaya) dari dia.
Syadz (ganjil) adalah riwayat seorang Rawi Tsiqoh, dari seorang Guru, yang menyelisihi temannya yang meriwayatkan dari guru yang sama, tetapi yang menyelisihinya lebih kuat keadaannya, bisa jadi karena lebih banyak jumlahnya, misal 1 orang menyelisihi 11 orang, atau lebih Tsiqoh (terpercaya) dari dia.
Sebelum kami jelaskan dari mana sisi syadznya (keganjilan) lafadz ini, mungkin perlu kami jelaskan apa makna syadz menurut istilah para Ahlul Hadits. Syadz menurut pendapat yang paling kuat dikalangan Ahli Hadits ada dua bentuk:
1. Syadz karena seorang rawi yang tidak mampu bersendirian dalam periwayatan.
2. Syadz karena menyelisihi.
Dan yang kami maksudkan disini adalah yang kedua. Dan pengertian syadz dalam bentuk kedua adalah
رواية المقبول مخالفا لمن هو أولى منه
“Riwayat seorang maqbul (yang diterima haditsnya) menyelisihi rawi yang lebih utama darinya”.
Maksud “rawi maqbul” adalah rawi derajat shohih atau hasan. Dan maksud “rawi yang lebih utama” adalah utama dari sisi kekuatan hafalan, riwayat atau dari sisi jumlah. Dan perlu diketahui bahwa syadz merupakan salah satu jenis hadits dho’if (lemah) dikalangan para ulama Ahli Hadits.
Maka kami melihat bahwa lafadz ‘laa yuharrikuha’ (tidak digerak-gerakkan) adalah lafadz yang syadz tidak boleh diterima sebab ia merupakan kekeliruan dan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan kami menetapkan bahwa ini merupakan kesalahan dari Muhammad bin ‘Ajlan karena beberapa perkara:
1. Muhammad bin ‘Ajlan walaupun ia seorang rawi hasanul hadits (hasan hadits) akan tetapi ia dikritik oleh para ulama dari sisi hafalannya.
2. Riwayat Muhammad bin ‘Ajlan juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
3. Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
2. Riwayat Muhammad bin ‘Ajlan juga dikeluarkan oleh Imam Muslim dan dalam riwayat tersebut tidak ada penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
3. Empat orang tsiqoh (terpercaya) meriwayatkan dari Muhammad bin ‘Ajlan dan mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
Empat rawi tsiqoh tersebut adalah :
- Al-Laits bin Sa’ad, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133 dan Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/131.
- Abu Khalid Al-Ahmar, riwayat dikeluarkan oleh Muslim no.133, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Abu Ahmad Al-Hakim dalam Syi’ar Ashabul Hadits hal.62, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/370 no.1943, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194, Ad-Daraquthny dalam Sunannya 1/349, dan Al-Baihaqy 2/131, ‘Abd bin Humaid no.99.
- Yahya bin Sa’id Al-Qoththon, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud no.990, An-Nasai 3/39 no.1275 dan Al-Kubro 1/377 no.1198, Ahmad 4/3, Ibnu Khuzaimah 1/350 no.718, Ibnu Hibban no.1935, Abu ‘Awanah 2/247 dan Al-Baihaqy 2/132.
- Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ad-Darimy no.1338 dan Al-Humaidy dalam Musnadnya 2/386 no.879.
Demikianlah riwayat empat rawi tsiqoh tersebut menetapkan bahwa riwayat sebenarnya dari Muhammad bin ‘Ajlan tanpa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) akan tetapi Muhammad bin ‘Ajlan dalam riwayat Ziyad bin Sa’ad keliru lalu menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
4. Ada tiga orang rawi yang juga meriwayatkan dari ‘Amir bin ‘Abdullah bin Zubair sebagaimana Muhammad bin ‘Ajlan juga meriwayatkan dari ‘Amir ini akan tetapi tiga orang rawi tersebut tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan), maka ini menunjukkan bahwa Muhammad bin ‘Ajlan yang menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) telah menyelisihi tiga rawi tsiqoh tersebut, maka riwayat mereka yang didahulukan dan riwayat Muhammad bin ‘Ajlan dianggap syadz karena menyelisihi tiga orang tersebut.
Tiga orang ini adalah :
- ‘Utsman bin Hakim, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim no.112, Abu Daud no.988, Ibnu Khuzaimah 1/245 no.696, Ibnu Abdil Bar dalam At-Tamhid 13/194-195 dan Abu ‘Awanah 2/241 dan 246.
- Ziyad bin Sa’ad, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/386 no.879.
- Makhromah bin Bukair, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/237 no.1161 dan Al-Baihaqy 2/132.
Kesimpulan Hadits Pertama:
Maka tersimpul dari sini bahwa penyebutan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dalam hadits ‘Abdullah bin Zubair adalah syadz (ganjil) dan yang menyebabkan syadznya adalah Muhammad bin ‘Ajlan. Walaupun sebenarnya kesalahan ini bisa berasal dari Ziyad bin Sa’ad atau Ibnu Juraij akan tetapi qorinah (indikasi) yang sangat kuat yang tersebut diatas menunjukkan bahwa kesalahan tersebut berasal dari Muhammad bin ‘Ajlan. Wallahu A’lam.
Hadit lainnya yang tidak menggerakkan
عن بن عمر أنه كان يضع يده اليمنى على ركبته اليمنى ويده اليسرى على ركبته اليسرى ويشير بإصبعه ولا يحركها ويقول إنها مذبة الشيطان ويقول كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يفعله
“Dari Ibnu ‘Umar -radhiyallahu ‘anhu- adalah beliau meletakkan tangan kanannya di atas lutut kanannya dan (meletakkan) tangan kirinya diatas lutut kirinya dan beliau berisyarat dengan jarinya dan tidak menggerakkannya dan beliau berkata : “Sesungguhnya itu adalah penjaga dari Syaitan”. Dan beliau berkata : “adalah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam mengerjakannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqot 7/448 dari jalan Katsir bin Zaid dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu Hibban.
Derajat Hadits:
Seluruh perawi sanad Ibnu Hibban tsiqoh (terpercaya) kecuali Katsir bin Zaid. Para ulama ahli jarh dan ta’dil berbeda pendapat tentangnya. Dan kesimpulan yang disebutkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar sudah sangat tepat menjelaskan keadaannya. Ibnu Hajar berkata: shoduq yukhtiu katsiran (jujur tapi sangat banyak bersalah), makna kalimat ini Katsir adalah dho’if tapi bisa dijadikan sebagai pendukung atau penguat. Ini ‘illat (cacat) yang pertama.
‘Illat yang kedua ternyata Katsir bin Zaid telah melakukan dua kesalahan dalam hadits ini:
Pertama: Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar. Dan ini merupakan kesalahan yang nyata, sebab tujuh perawi tsiqoh juga meriwayatkan dari Muslim bin Abi Maryam tapi bukan dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar, akan tetapi dari ‘Ali bin ‘Abdurrahman Al-Mu’awy dari Ibnu ‘Umar.
Tujuh rawi tsiqoh tersebut adalah :
Tujuh rawi tsiqoh tersebut adalah :
1. Imam Malik, riwayat beliau dalam Al-Muwaththo’ 1/88, Shohih Muslim 1/408, Sunan Abi Daud no.987, Sunan An-Nasai 3/36 no.1287, Shohih Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan no.193, Musnad Abu ‘Awanah 2/243, Sunan Al-Baihaqy 2/130 dan Syarh As-Sunnah Al-Baghawy 3/175-176 no.675.
2. Isma’il bin Ja’far bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1160, Ibnu Khuzaimah 1/359 no.719, Ibnu Hibban no.1938, Abu ‘Awanah 2/243 dan 246 dan Al-Baihaqy 2/132.
3. Sufyan bin ‘Uyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh Muslim 1/408, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712, Al-Humaidy 2/287 no. 648, Ibnu Abdil Bar 131/26.
4. Yahya bin Sa’id Al-Anshory, riwayatnya dikeluarkan oleh Imam An-Nasai 3/36 no.1266 dan Al-Kubro 1/375 no.1189, Ibnu Khuzaimah 1/352 no.712.
5. Wuhaib bin Khalid, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 273 dan Abu ‘Awanah 2/243.
6. Abdul ‘Aziz bin Muhammad Ad-Darawardy, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Humaidy 2/287 no.648.
7. Syu’bah bin Hajjaj, baca riwayatnya dalam ‘Ilal Ibnu Abi Hatim 1/108 no.292.
Kedua: Dalam riwayatnya Katsir bin Zaid menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan) dan ini merupakan kesalahan karena dua sebab :
1. Enam rawi yang tersebut di atas dalam riwayat mereka tidak menyebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan).
2. Dalam riwayat Ayyub As-Sikhtiany ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-‘Umary dari Nafi’ dari Ibnu ‘Umar juga tidak disebutkan lafadz laa yuharrikuha (tidak digerak-gerakkan). Baca riwayat mereka dalam Shohih Muslim no.580, At-Tirmidzy no.294, An-Nasai 3/37 no.1269, Ibnu Majah 1/295 no.913, Ibnu Khuzaimah 1/355 no.717, Abu ‘Awanah 2/245 no.245, Al-Baihaqy 2/130 dan Al-Baghawy dalam Syarh As-Sunnah 3/174-175 no.673-674 dan Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.635.
Nampaklah dari penjelasan di atas bahwa hadits ini adalah hadits Mungkar. Dimana Seluruh hadits yang menyatakan jari telunjuk tidak digerak-gerakkan adalah hadits yang lemah tidak bisa dipakai berhujjah. Wallahu A’lam.
TIPE HADITS KEDUA (MENGGERAKAN)
Hadits lain yang menyatakan bahwa jari telunjuk digerak-gerakkan yang diriwayatkan oleh Zaidah bin Qudamah:
ثم قبض بين أصابعه فحلق حلقة ثم رفع إصبعه فرأيته يحركها يدعو بها
“Kemudian beliau menggenggam dua jari dari jari-jari beliau dan membuat lingkaran, kemudian beliau mengangkat jarinya (telunjuk-pent), maka saya melihat beliau mengerak-gerakkannya berdoa dengannya”.
Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad 4/318, Ad-Darimy 1/362 no.1357, An-Nasai 2/126 no.889 dan 3/37 no.1268 dan dalam Al-Kubro 1/310 no.963 dan 1/376 no.1191, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa’ no.208, Ibnu Hibban sebagaimana dalam Al-Ihsan 5/170 no.1860 dan Al-Mawarid no.485, Ibnu Khuzaimah 1/354 no.714, Ath-Thobarany 22/35 no.82, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib Al-Baghdady dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/425-427. Semuanya meriwayatkan dari jalan Zaidah bin Qudamah dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wail bin Hujur.
Derajat Hadits:
Zhohir sanad hadits ini adalah hasan, tapi sebagaimana yang telah kami jelaskan bahwa sanad hadits yang hasan belum tentu selamat dari ‘illat (cacat) dan tidak syadz (ganjil).
Berangkat dari sini perlu diketahui oleh pembaca bahwa hadits ini juga syadz dan penjelasan hal tersebut sebagai berikut : Zaidah bin Qudamah seorang rawi tsiqoh (terpercaya) dan muthqin (yang kuat hafalannya) akan tetapi beliau telah menyelisihi dua puluh dua orang rawi yang mana kedua puluh dua orang perawi ini semua meriwayatkan dari ‘Ashim bin Kulaib bin Syihab dari ayahnya dari Wail bin Hujur.
Dan dua puluh dua rawi tersebut tidak ada yang menyebutkan lafadz yuharrikuha (digerak-gerakkan).
Dua puluh dua perawi tersebut adalah :
- Bisyr bin Al-Mufadhdhal, riwayatnya dikeluarkan oleh Abu Daud 1/465 no.726 dan 1/578 no.957 dan An-Nasai 3/35 no.1265 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1188 dan Ath-Thobarany 22/37 no.86.
- Syu’bah bin Hajjaj, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316 dan 319, Ibnu Khuzaimah dalam Shohihnya 1/345 no.697 dan 1/346 no.689, Ath-Thobarany 22/35 no.83 dan dalam Ad-Du’a n0.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/430-431.
- Sufyan Ats-Tsaury, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, An-Nasai 3/35 no.1264 dan Al-Kubro 1/374 no.1187 dan Ath-Thobarany 22/23 no.78.
- Sufyan bin ‘Uyyainah, riwayatnya dikeluarkan oleh An-Nasai 2/236 no.1195 dan 3/34 no.1263 dan dalam Al-Kubro 1/374 no.1186, Al-Humaidy 2/392 no.885 dan Ad-Daraquthny 1/290, Ath-Thobarany 22/36 no.85 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/427.
- Abdullah bin Idris, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Majah 1/295 no.912, Ibnu Abi Syaibah 2/485, Ibnu Khuzaimah 1/353 dan Ibnu Hibban no.1936.
- Abdul Wahid bin Ziyad, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/316, Al-Baihaqy dalam Sunannya 2/72 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/434.
- Zuhair bin Mu’awiyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ahmad 4/318, Ath-Thobarany 22/26 no.84 dan dalam Ad-Du’a no.637 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/437.
- Khalid bin ‘Abdillah Ath-Thahhan, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Al-Baihaqy 2/131 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432-433.
- Muhammad bin Fudhail, riwayatnya dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/353 no.713.
- Sallam bin Sulaim, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thoyalisi dalam Musnadnya no.1020, Ath-Thohawy dalam Syarah Ma’any Al-Atsar 1/259, Ath-Thobarany 22/34 no.80 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/431-432.
- Abu ‘Awanah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/38 no.90 dan Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/432.
- Ghailan bin Jami’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.88.
- Qois bin Rabi’, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/33 no.79.
- Musa bin Abi Katsir, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.89.
- Ambasah bin Sa’id Al-Asady, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany 22/37 no.87.
- Musa bin Abi ‘Aisyah, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no.637.
- Khallad Ash-Shaffar, riwayatnya dikeluarkan oleh Ath-Thobarany dalam Ad-Du’a no. 637.
- Jarir bin ‘Abdul Hamid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435.
- Abidah bin Humaid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/435-436.
- Sholeh bin ‘Umar, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/433.
- Abdul ‘Aziz bin Muslim, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/436-437.
- Abu Badr Syuja’ bin Al-Walid, riwayatnya dikeluarkan oleh Al-Khatib dalam Al-Fashl Li Washil Mudraj 1/438-439.
Dari ke 22 orang perawi diatas menjelaskan bahwa riwayat Zaidah bin Qudamah yang menyebutkan lafadz Yuharikuha (digerak-gerakkan) adalah syadz (ganjil).
Kesimpulan Hadits Kedua:
Hadits Zaidah bin Qudamah ini di shahihkan oleh Syeikh Al-Albany rahumakhumullah dan Zaidah bin Qudamah ini terkenal tsiqoh (terpercaya) dan muthqin (yang kuat hafalannya). Jadi meskipun hadits ini menyelisih 22 perawi diatas, akan tetapi hadits ini lebih rojih dibandingkan 2 hadits yang tidak menggerakkan diatas, karena hadits Zaidah bin Qudamah ini shahih sementara kedua hadits yang tidak menggerakan diatas statusnya dhaif (lemah) dan terdapat syadz (keganjilan)
PENDAPAT ULAMA
Pendapat Imam Mahzab:
1. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat mengangkat jari telunjuk pada kata nafï (peniadaan) saat dua kalimat syahadat, yaitu saat mengucapkan “Laa” dan meletakkannya (jari telunjuk) itu kembali ke semula pada kata itsbat (peneguhan), yaitu pada kata “Illa”
2. Para ulama Syafi’i berpendapat mengangkat jari telunjuk saat mengucapkan “Illallah”
3. Para ulama Maliki berpendapat menggerakkan jari telunjuk ke kanan dan kiri hingga selesai shalat.
4. Para ulama Hambali berpendapat memberikan isyarat dengan telunjuknya setiap kali menyebutkan nama Allah dan tidak menggerakkannya.
2. Para ulama Syafi’i berpendapat mengangkat jari telunjuk saat mengucapkan “Illallah”
3. Para ulama Maliki berpendapat menggerakkan jari telunjuk ke kanan dan kiri hingga selesai shalat.
4. Para ulama Hambali berpendapat memberikan isyarat dengan telunjuknya setiap kali menyebutkan nama Allah dan tidak menggerakkannya.
KAPAN MENGGERAKKAN
Menggerakkan saat berdoa
Syeikh Ibnu Utsaimin dan Syeikh Ibnu bin Baz rahimahullah telah menjelaskan beberapa doa di dalam tasyahhud dengan berkata:
"Setiap kali anda berdoa maka gerakkanlah (telunjuk anda) sebagai isyarat akan ke-Maha Tinggian Dzat yang menjadi tumpuan doa subhanahu wa ta’ala"
Berkata Syeikh Abdul Muhsin Al-Abbad:
“Saya tidak tahu dalil yang menunjukkan bahwa seseorang menggerakkan jari telunjuk secara terus menerus, akan tetapi menggerakannya dan berdoa dengannya, yaitu: ketika melewati doa (Allahumma…Allahumma) menggerakkannya”
(Jawaban dari pertanyaan yang diajukan kepada beliau ketika mensyarh Sunan Abi Dawud, setelah Bab fil Hadab dari Kitab Al-Libas)
Menggerakkan saat berdoa
Syeikh Ibnu Utsaimin dan Syeikh Ibnu bin Baz rahimahullah telah menjelaskan beberapa doa di dalam tasyahhud dengan berkata:
"Setiap kali anda berdoa maka gerakkanlah (telunjuk anda) sebagai isyarat akan ke-Maha Tinggian Dzat yang menjadi tumpuan doa subhanahu wa ta’ala"
Berkata Syeikh Abdul Muhsin Al-Abbad:
لا أعلم شيئاً يدل على أن الإنسان يحركها باستمرار، وإنما يحركها ويدعو بها، أي: عندما يأتي الدعاء: اللهم.. اللهم.. يحركها.
“Saya tidak tahu dalil yang menunjukkan bahwa seseorang menggerakkan jari telunjuk secara terus menerus, akan tetapi menggerakannya dan berdoa dengannya, yaitu: ketika melewati doa (Allahumma…Allahumma) menggerakkannya”
(Jawaban dari pertanyaan yang diajukan kepada beliau ketika mensyarh Sunan Abi Dawud, setelah Bab fil Hadab dari Kitab Al-Libas)
Menggerakan dari awal
Pendapat Syeikh Al-Albani rahumakhumullah dalam kitab Sifat Shalat Nabi halaman 140. Beliau cenderung mengambil pendapat bahwa menggerakkan jari dilakukan sepanjang membaca lafadz tasyahhud. Karena menurut beliau kata-kata berdoa tersebut ada 2 macam diantaranya doa untuk ibadah dan doa untuk meminta. Sementara tasyahud itu adalah doa untuk ibadah yang sifatnya terus menerus.
Diantara hadist yang menunjukkan disyari’atkannya isyarat dari awal tasyahhud adalah hadist Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma:
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan tangan kanan di atas paha kanan, dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. Muslim 1308)
Berkata Al-Mubarakfury:
“Dhahir hadist-hadist menunjukkan bahwa isyarat dilakukan semenjak awal duduk” (Tuhfatul Ahwadzy 2/185, Darul Fikr).
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma memberitakan bahwa "apabila duduk untuk tasyahud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan telapak tangan kirinya dengan terbentang di atas lutut kirinya, sedangkan telapak tangan kanan yang berada di atas lutut kanan menggenggam jari-jemarinya seluruhnya dan memberi isyarat ke kiblat dengan jari telunjuknya dalam keadaan pandangan beliau diarahkan ke telunjuk tersebut". (HR. Malik 1/111—112, Muslim no. 1311)
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan (2/119) dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Jari telunjuk itu lebih keras bagi setan daripada besi.”
Al-Imam al-Albani rahimahullah menerangkan hadits ini, sanadnya hasan atau mendekati hasan, karena semua rawinya tsiqah, rijal kutubus sittah, selain Katsir ibnu Zaid, dia shaduq yukhthi’, seperti dalam at-Taqrib.” (al- Ashl, 3/839) Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Berisyarat dengan jari telunjuk dalam tasyahud ini diamalkan oleh sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tabi’in. Ini juga pendapat yang dipegangi oleh teman-teman kami (ahlul hadits).” (Sunan at-Tirmidzi, “Kitab ash-Shalah”, bab “Ma Ja’a fil Isyarah fit Tasyahud”)
Pendapat Syeikh Al-Albani rahumakhumullah dalam kitab Sifat Shalat Nabi halaman 140. Beliau cenderung mengambil pendapat bahwa menggerakkan jari dilakukan sepanjang membaca lafadz tasyahhud. Karena menurut beliau kata-kata berdoa tersebut ada 2 macam diantaranya doa untuk ibadah dan doa untuk meminta. Sementara tasyahud itu adalah doa untuk ibadah yang sifatnya terus menerus.
Diantara hadist yang menunjukkan disyari’atkannya isyarat dari awal tasyahhud adalah hadist Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu ‘anhuma:
… وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ
“Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan tangan kanan di atas paha kanan, dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. Muslim 1308)
Berkata Al-Mubarakfury:
ظَاهِرُ الْأَحَادِيثِ يَدُلُّ عَلَى الْإِشَارَةِ مِنْ اِبْتِدَاءِ الْجُلُوسِ
“Dhahir hadist-hadist menunjukkan bahwa isyarat dilakukan semenjak awal duduk” (Tuhfatul Ahwadzy 2/185, Darul Fikr).
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma memberitakan bahwa "apabila duduk untuk tasyahud, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan telapak tangan kirinya dengan terbentang di atas lutut kirinya, sedangkan telapak tangan kanan yang berada di atas lutut kanan menggenggam jari-jemarinya seluruhnya dan memberi isyarat ke kiblat dengan jari telunjuknya dalam keadaan pandangan beliau diarahkan ke telunjuk tersebut". (HR. Malik 1/111—112, Muslim no. 1311)
Al-Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan (2/119) dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لَهِيَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيْدِ
“Jari telunjuk itu lebih keras bagi setan daripada besi.”
Al-Imam al-Albani rahimahullah menerangkan hadits ini, sanadnya hasan atau mendekati hasan, karena semua rawinya tsiqah, rijal kutubus sittah, selain Katsir ibnu Zaid, dia shaduq yukhthi’, seperti dalam at-Taqrib.” (al- Ashl, 3/839) Al-Imam at-Tirmidzi rahimahullah berkata, “Berisyarat dengan jari telunjuk dalam tasyahud ini diamalkan oleh sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan tabi’in. Ini juga pendapat yang dipegangi oleh teman-teman kami (ahlul hadits).” (Sunan at-Tirmidzi, “Kitab ash-Shalah”, bab “Ma Ja’a fil Isyarah fit Tasyahud”)
KESIMPULAN:
Pembahasan disini adalah masalah khilafiyah, jadi kami pun menghargai pendapat lainnya. Namun demikianlah pendapat yang bisa kami sampaikan dengan dalil dari sumber yang shahih.
Catatan yang perlu diperhatikan, tidaklah usah merasa aneh jika ada yang tidak menggerak-gerakkan jari ketika tasyahud. Sebagaimana tidak perlu merasa aneh jika ada yang menggerak-gerakkan jari karena sebagian ulama berpendapat seperti ini. Namun sebaik-baik pendapat yang diikuti adalah yang berpegang pada pendapat yang kuat.
Tersimpul dari pembahasan di atas bahwa pendapat yang shahih dan rojih (kuat) tentang masalah posisi jari telunjuk dalam tasyahud adalah dengan menggerakkan/menggetarkan jari telunjuknya sejak dari awal tasyahud secara berulang. Namun ingat, hal ini sifatnya sunah dan tetaplah tolelir dengan pendapat lainnya karena masalah ini masih dalam tataran khilafiyah (silang pendapat antara para ulama).
Cara menggerakkan telunjuknya pun bukan dengan naik turun dengan sudut yang lebar, dan bukan juga dengan kearah kanan atau kiri, akan tetapi dengan menggetarkannya ke atas dan bawah dengan sudut yang kecil secara berulang-ulang. Wallahu a'lam.
Cara menggerakkan telunjuknya pun bukan dengan naik turun dengan sudut yang lebar, dan bukan juga dengan kearah kanan atau kiri, akan tetapi dengan menggetarkannya ke atas dan bawah dengan sudut yang kecil secara berulang-ulang. Wallahu a'lam.
Wallahu A’lam.
Semoga bermanfaat,
Semoga bermanfaat,
Ded Lee
Lihat pembahasan di atas dalam :
- Kitab Al-Bisyarah Fi Syudzudz Tahrik Al-Usbu’ Fi Tasyahud Wa Tsubutil Isyarah, Al-Muhalla karya Ibnu Hazm 4/151, Subulus Salam 1/189, Nailul Authar, ‘Aunul Ma’bud 3/196, Tuhfah Al-Ahwadzy 2/160.
- Madzhab Hanafiyah lihat dalam : Kifayah Ath-Tholib 1/357.
- Madzhab Malikiyah : Ats-Tsamar Ad Dany 1/127, Hasyiah Al-Adawy 1/356, Al-Fawakih Ad-Dawany 1/192.
- Madzhab Syafiiyyah dalam : Hilyah Al-Ulama 2/105, Raudhah Ath-Tholibin 1/262, Al-Majmu’ 3/416-417, Al-Iqna’ 1/145, Hasyiah Al-Bujairamy 1/218, Mughny Al-Muhtaj 1/173.
- Madzhab Hambaliyah lihat dalam : Al-Mubdi’ 1/162, Al-Furu’ 1/386, Al-Inshaf 2/76, Kasyful Qona 1/356-357.
Sumber: