“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Thursday, June 30, 2016

Zakat Fithri sesuai tuntunan Islam


PENDAHULUAN
Menjelang berakhirnya Ramadhan, kita sebagai umat Islam diwajibkan menunaikan Zakat Fithri. Seperti apakah pengertian zakat yang benar itu? berupa apakah zakat yang harus kita keluarkan? berapa banyak takaran yang harus dikeluarkan? kapan waktu pemberian zakat yang benar? dan kepada siapa orang-orang yang berhak menerima zakat? Penulis menjelaskan sesuai narasumber berdasarkan dalil-dalil Al Quran dan hadits-hadits shahih.


PENGERTIAN ZAKAT FITHRI
Zakat secara bahasa berarti “النّماء والرّيع والزّيادة” berarti bertambah atau tumbuh. Makna seperti dapat kita lihat dari perkataan ‘Ali bin Abi Tholib,
العلم يزكو بالإنفاق
“Ilmu itu semakin bertambah dengan diinfakkan.”

Secara bahasa, zakat juga berarti “تطهير” mensucikan. Sebagaimana firman Allah Ta’ala,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (QS. Asy Syams: 9)

Zakat mensucikan seseorang dari sikap bakhil dan pelit. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (QS. At Taubah: 103).

Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri (tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.[1] Ada pula ulama yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithroh”, yang berarti fitrah/ naluri. An Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai zakat fithri disebut dengan “fithroh”. Istilah ini digunakan oleh para pakar fikih. [Al Majmu’, 6/103]

Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan.[Mughnil Muhtaj, 1/592]

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827.] Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.


HUKUM ZAKAT FITHRI
Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Bahkan Ishaq bin Rohuyah menyatakan bahwa wajibnya zakat fithri seperti ada ijma’ (kesepakatan ulama) di dalamnya [Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58]. 

Bukti dalil dari wajibnya zakat fitrahadalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,

فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang keluar untuk melaksanakan shalat ‘ied.” [HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.]

Perlu dipehatikan bahwa shogir (anak kecil) dalam hadits ini tidak termasuk di dalamnya janin. Karena ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini kurang tepat karena janin tidaklah disebut shogir dalam bahasa Arab juga secara ‘urf (kebiasaan yangg ada). [Lihat Shifat Shaum Nabi, 102]


MANFAAT ZAKAT
Apa hikmah di akhir Ramadhan kita harus menunaikan zakat fitrah?
Ada hadits yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom, hadits no. 630 sebagai berikut.

وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ اَلْفِطْرِ; طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اَللَّغْوِ, وَالرَّفَثِ, وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ, فَمَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ, وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ اَلصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنَ اَلصَّدَقَاتِ. – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَابْنُ مَاجَهْ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِم
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkataan yang sia-sia dan kata-kata kotor, juga untuk memberi makan pada orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat (‘ied), zakat tersebut diterima. Barangsiapa menunaikannya sesudah shalat, itu hanyalah dicatat sebagai sedekah biasa.” Diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh Al Hakim. (HR. Ibnu Majah no. 1827, Abu Daud no. 1609. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).

Beberapa faedah dari hadits di atas:
1- Hadits tersebut menunjukkan hikmah penunaian zakat fithri. Ada dua hikmah besar yang telah disebutkan dalam hadits di atas:
(a) berkaitan dengan orang yang puasa, yaitu untuk menyucikan orang yang berpuasa dari kekurangan yang ia lakukan ketika puasa yaitu dari hal laghwu. Laghwu yang dimaksud adalah perkataan atau perbuatan yang sia-sia (tidak berfaedah), yang tidak ada manfaat bagi dunia dan akhirat, baik yang dilakukan adalah perbuatan yang makruh dan mubah seperti mengejek, bergurau dan berlebihan dalam melampiaskan syahwat.
(b) berkaitan dengan masyarakat, di mana zakat fitrah bermanfaat untuk memberi makan orang miskin. Dengan memberi makan ini maka ada timbul kasih sayang terhadap sesama dan saling membahagiakan lainnya.


BENTUK ZAKAT FITHRI YANG HARUS DIKELUARKAN
Ada beberapa hadits yang telah membicarakan mengenai ukuran dan bentuk zakat fitrah yang diserahkan ketika menjelang Idul Fithri. Ukurannya diperintahkan satu sho’, yaitu takaran antara 2,157-3,0 kg. Sedangkan bentuk zakat fitrah adalah dengan makanan pokok. Dalam hadits disebutkan dengan kurma, gandum, anggur atau keju, yaitu makanan pokok. Padahal nilai dari masing-masing makanan ini berbeda-beda. Kalau seandainya uang itu dibolehkan untuk zakat fitrah, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan perintahkan dengan makanan yang harganya sama jika diuangkan. Namun di sini tidak. Ini menunjukkan bahwa tidak tepat jika menunaikan zakat fitrah tersebut dengan uang. Sehingga yang tepat, zakat fitrah harus sampai ke tangan fakir miskin (mustahiq) dengan makanan pokok (beras untuk di tempat kita), bukan dengan uang.

Hadits-hadits yang membicarakan tentang zakat fithri disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Marom sebagai berikut:

Hadits no. 627
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: – فَرَضَ رَسُولُ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – زَكَاةَ اَلْفِطْرِ, صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ: عَلَى اَلْعَبْدِ وَالْحُرِّ, وَالذَّكَرِ, وَالْأُنْثَى, وَالصَّغِيرِ, وَالْكَبِيرِ, مِنَ اَلْمُسْلِمِينَ, وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ اَلنَّاسِ إِلَى اَلصَّلَاةِ – مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi hamba dan yang merdeka, bagi laki-laki dan perempuan, bagi anak-anak dan orang dewasa dari kaum muslimin. Beliau memerintahkan agar zakat tersebut ditunaikan sebelum manusia berangkat menuju shalat ‘ied.” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984).

Hadits no. 628
وَلِابْنِ عَدِيٍّ  مِنْ وَجْهٍ آخَرَ, وَاَلدَّارَقُطْنِيِّ بِإِسْنَادٍ ضَعِيفٍ: – اغْنُوهُمْ عَنِ اَلطَّوَافِ فِي هَذَا اَلْيَوْمِ –
Dikeluarkan oleh Ibnu ‘Adi dari jalur lainnya dan Daruquthni dengan sanad yang dho’if disebutkan, “Itu sudah mencukupi mereka dari keliling meminta-minta pada hari tersebut.”

Hadits no. 629
– وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ اَلْخُدْرِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: – كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَانِ اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – صَاعًا مِنْ طَعَامٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ, أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ. – مُتَّفَقٌ عَلَيْه
وَفِي رِوَايَةٍ: – أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ –
قَالَ أَبُو سَعِيدٍ: أَمَّا أَنَا فَلَا أَزَالُ أُخْرِجُهُ كَمَا كُنْتُ أُخْرِجُهُ فِي زَمَنِ رَسُولِ اَللَّهِ
وَلِأَبِي دَاوُدَ: – لَا أُخْرِجُ أَبَدًا إِلَّا صَاعًا –
Dari Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Kami menyerahkan zakat pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan satu sho’ makanan, satu sho’ kurma, satu sho’ gandum, atau satu sho’ anggur (kering).” Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 1508 dan Muslim no. 985).

Dalam riwayat lain disebutkan, “Atau dengan satu sho’ keju.” (HR. Bukhari no. 1506 dan Muslim no. 985).

Abu Sa’id berkata, “Adapun saya terus menerus mengeluarkan zakat fithri seperti itu sebagaimana aku keluarkan di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. Muslim).

Dalam riwayat Abu Daud disebutkan, “Aku tidak mengeluarkan kecuali dengan ukuran satu sho’.” (HR. Abu Daud no. 1618).


UKURAN ZAKAT FITHRI
Ukuran zakat fithrah setiap orang adalah satu sha’ kurma kering, atau anggur kering, atau gandum, atau keju, atau makanan pokok yang menggantikannya, seperti beras, jagung, atau lainnya.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ

“Dari Abu Sa’id Radhiyalahu ‘anhu, dia berkata : “Kami dahulu di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari fithri mengeluarkan satu sha’ makanan”. Abu Sa’id berkata,”Makanan kami dahulu adalah gandum, anggur kering, keju, dan kurma kering.” [HR Bukhari, no. 1510]

Para ulama berbeda pendapat tentang hinthah (Hinthah atau qumh, yaitu sejenis gandum yang berkwalitas bagus) apakah satu sha’ seperti lainnya, atau setengah sha’? Dan pendapat yang benar adalah yang kedua, yaitu setengah sha’.

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ ثَعْلَبَةَ بْنُ صُعَيْرٍ الْعُذْرِيُّ خَطَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّاسَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمَيْنِ فَقَالَ أَدُّوا صَاعًا مِنْ بُرٍّ أَوْ قَمْحٍ بَيْنَ اثْنَيْنِ أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى كُلِّ حُرٍّ وَعَبْدٍ وَصَغِيرٍ وَكَبِيرٍ

“Abdullah bin Tsa’labah bin Shu’air al ‘Udzri berkata : Dua hari sebelum (‘Idul) fithri, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada orang banyak, Beliau bersabda: “Tunaikan satu sha’ burr atau qumh (gandum jenis yang bagus) untuk dua orang, atau satu sha’ kurma kering, atau satu sha’ sya’ir (gandum jenis biasa), atas setiap satu orang merdeka, budak, anak kecil, dan orang tua“ HR Ahmad, 5/432. Semua perawinya terpercaya

Ukuran sha’ yang berlaku adalah sha’ penduduk Madinah zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Satu sha’ adalah empat mud. Satu mud adalah sepenuh dua telapak tangan biasa. Adapun untuk ukuran berat, maka ada perbedaan, karena memang asal sha’ adalah takaran untuk menakar ukuran, lalu dipindahkan kepada timbangan untuk menakar berat dengan perkiraan dan perhitungan. Ada beberapa keterangan mengenai masalah ini, sebagai berikut:

1. Satu sha’ = 2,157 kg (Shahih Fiqih Sunnah, 2/83).
2. Satu sha’ = 3 kg (Taisirul Fiqh, 74; Taudhihul Ahkam, 3/74).
3. Satu sha’ = 2,40 kg gandum yang bagus. (Syarhul Mumti’, 6/176).

Syaikh al ‘Utsaimin rahimahullah berkata,”Para ulama telah mencoba dengan gandum yang bagus. Mereka telah melakukan penelitian secara sempurna. Dan aku telah menelitinya, satu sha’ mencapai 2 kg 40 gr gandum yang bagus. Telah dimaklumi bahwa benda-benda itu berbeda-beda ringan dan beratnya. Jika benda itu berat, kita berhati-hati dan menambah timbangannya. Jika benda itu ringan, maka kita (boleh) menyedikitkan”. [Syarhul Mumti’, 6/176-177].

Dari penjelasan ini, maka keterangan Syaikh al ’Utsaimin ini selayaknya dijadikan acuan. Karena makanan pokok di negara kita -umumnya- adalah padi, maka kita mengeluarkan zakat fithri dengan beras sebanyak 2 ½ kg, wallahu a’lam.


WAKTU PEMBERIAN ZAKAT FITHRI
Waktu mengeluarkan zakat fithri, terbagi dalam beberapa macam:
1. Waktu wajib. Maksudnya, yaitu waktu jika seorang bayi dilahirkan, atau seseorang masuk Islam sesudahnya, maka tidak wajib membayar zakat fithri. Dan jika seseorang mati sebelumnya, maka tidak wajib membayar zakat fithri. Jumhur ulama berpendapat, waktu wajib membayarnya adalah, tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Namun Hanafiyah berpendapat, waktu wajib adalah terbit fajar ‘Idul Fithri.
[Taudhihul Ahkam Syarh Bulughul Maram, 3/76]

2. Waktu afdhal. Maksudnya adalah, waktu terbaik untuk membayar zakat fithri, yaitu fajar hari ‘Id, dengan kesepakatan empat madzhab.
[Ibid, 3/80]

3. Waktu boleh. Maksudnya, waktu yang seseorang dibolehkan bayi membayar zakat fithri. Tentang waktu terakhirnya, para ulama bersepakat, bahwa zakat fithri yang dibayarkan setelah shalat ‘Id, dianggap tidak berniali sebagai zakat fithri, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ

“Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah”. [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827, dan lain-lain].

Apakah boleh dibayar sebelum hari ‘Id? Dalam masalah ini, terdapat beberapa pendapat :
– Abu Hanifah rahimahullah berpendapat : “Boleh maju setahun atau dua tahun”.
– Malik rahimahullah berpendapat : “Tidak boleh maju”.
– Syafi’iyah berpendapat : “Boleh maju sejak awal bulan Ramadhan”.
– Hanabilah : “Boleh sehari atau dua hari sebelum ‘Id”.

Pendapat terakhir inilah yang pantas dipegangi, karena sesuai dengan perbuatan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, sedangkan beliau adalah termasuk sahabat yang meriwayatkan kewajiban zakat fithri dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallm.

Nabi’ berkata:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan Ibnu ‘Umar biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya, mereka itu diberi sehari atau dua hari sebelum fithri”. [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986].


YANG BERHAK MENERIMA ZAKAT FITHRI (MUSTAHIQ)
Zakat Fitrah berbeda dengan Zakat Mal, karena zakat fitrah di tunaikan setelah melaksanakan ibadah dibulan Ramadhan, sementara zakat mal ditunaikan untuk setiap harta yang kita miliki apabila sudah mencapai nishabnya kapanpun itu.

Zakat mal, biasa diberikan kepada orang yang berhak menerimanya (mustahiq) yaitu ada 8 golongan (8 masnab), sebagaimana telah ditegaskan dalam Al Qur’an Al Karim pada ayat berikut:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1] orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu’allaf yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60).

QS At Taubah ayat 60 diatas dimaksudkan untuk pemberian zakat mal (zakat harta) ditujukan kepada 8 golongan tersebut, karena dilihat dari rangkaian ayat sebelumnya dan sesudahnya.
[Lihat Fatawa Ramadhan, 918-928, Ibnu Baaz, Ibnu ‘Utsaimin, al Fauzan, ‘Abdullah al Jibrin.]

"Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir."(QS. At Taubah: 55).

"(keadaan kamu hai orang-orang munafik dan musyrikin) adalah seperti keadaan orang-orang sebelum kamu, mereka lebih kuat daripada kamu, dan lebih banyak harta dan anak-anaknya dari kamu. Maka mereka telah menikmati bagian mereka, dan kamu telah menikmati bagian kamu sebagaimana orang-orang yang sebelummu menikmati bagiannya, dan kamu mempercakapkan (hal yang batil) sebagaimana mereka mempercakapkannya. Mereka itu amalannya menjadi sia-sia di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah orang-orang yang merugi." (QS. At Taubah: 69).

Sementara untuk zakat fitrah lebih di tujukan hanya kepada orang fakir dan miskin, hal ini dijelaskan sesuai Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang zakat fithri:
وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin”.
[HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827; dan lain-lain].

Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya [HR Bukhari, no. 1511; Muslim, no. 986]. Mereka adalah para pegawai yang ditunjuk oleh imam atau pemimpin. Tetapi mereka tidak mendapatkan bagian zakat fithri dengan sebab mengurus ini, kecuali sebagai orang miskin, sebagaimana telah kami jelaskan di atas.


Demikianlah sekilas tentang pemahaman Zakat Fitrah yang sesuai tuntuan dalam Agama Islam, sesungguhnya kebenaran hanya dari Allah dan Rasulnya semata, apabila ada kesalahan itu adalah kekurangan penulis sebagai manusia biasa untuk itu penulis mohon maaf yang sebesarnya.


YANG BERHAK MEMBAYAR ZAKAT FITHRI (MUZAKKI)
Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh: 
(1) setiap muslim karena untuk menutupi kekurangan puasa yang diisi dengan perkara sia-sia dan kata-kata kotor, 
(2) yang mampu mengeluarkan zakat fithri.

Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang seperti ini berarti dia dikatakan mampu dan wajib mengeluarkan zakat fithri. Orang seperti ini yang disebut ghoni (berkecukupan) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ » فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ قَالَ « أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ
“Barangsiapa meminta-minta, padahal dia memiliki sesuatu yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia telah mengumpulkan bara api.” Mereka berkata, ”Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran mencukupi tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Seukuran makanan yang mengenyangkan untuk sehari-semalam". 
[HR. Abu Daud no. 1435 dan Ahmad 4/180]. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/80-81.

Dari syarat di atas menunjukkan bahwa kepala keluarga wajib membayar zakat fithri orang yang ia tanggung nafkahnya.[Mughnil Muhtaj, 1/595.] Menurut Imam Malik, ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, suami bertanggung jawab terhadap zakat fithri si istri karena istri menjadi tanggungan nafkah suami.[Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/59]


SUMBER

Semoga bermanfaat,
Ded Lee