“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Wednesday, January 20, 2016

4 Doktrin Sesat Takfiri Jihadis dan Bantahannya

Doktrin Sesat Takfiri
Ilustrasi para teroris
Bismillah, sekali lagi kita tegaskan bahwa teroris bukan dari ajaran agama manapun, namun hampir semua agama yang ada atau isme faham agama tertentu dipakai oleh para teroris untuk mencapai maksudnya, kususnya di negri kita yang mayoritas beragama Islam maka kasus-kasus yang ada telah kita lihat pada bab-bab di atas  kebanyakan yang mengatas namakan Islam.
Oleh sebab itu beberapa contoh perekrutan dari kelompok-kelompok ini memakai istilah-istilah yang ada dalam agama Islam antara lain:

  1. Hijrah
  2. Bai’at
  3. Jihad
  4. Daulah atau Khilafah.


1. Doktrin Tentang Hijrah

A. Pengertian hijrah yang benar menurut syaiat

Sebagaimana di dalam Risalah Tabukiyah, Imam Ibnul Qayyim membagi hijrah menjadi 2 macam: Pertama, hijrah dengan hati menuju Allah dan Rasul-Nya. Hijrah ini hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap orang di setiap waktu.
Macam yang kedua yaitu hijrah dengan badan dari negeri kafir menuju negeri Islam. Diantara kedua macam hijrah ini hijrah dengan hati kepada Allah dan Rasul-Nya adalah yang paling pokok.

Hijrah Dengan Hati Kepada Allah

Allah berfirman, “Maka segeralah (berlari) kembali mentaati Allah.” (Adz Dzariyaat: 50)

Inti hijrah kepada Allah ialah dengan meninggalkan apa yang dibenci Allah menuju apa yang dicintai-Nya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang muslim ialah orang yang kaum muslimin lainnya selamat dari gangguan lisan dan tangannya. Dan seorang muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hijrah ini meliputi ‘dari’ dan ‘menuju’: Dari kecintaan kepada selain Allah menuju kecintaan kepada-Nya, dari peribadahan kepada selain-Nya menuju peribadahan kepada-Nya, dari takut kepada selain Allah menuju takut kepada-Nya. Dari berharap kepada selain Allah menuju berharap kepada-Nya. Dari tawakal kepada selain Allah menuju tawakal kepada-Nya. Dari berdo’a kepada selain Allah menuju berdo’a kepada-Nya. Dari tunduk kepada selain Allah menuju tunduk kepada-Nya. Inilah makna Allah, “Maka segeralah kembali pada Allah.” (Adz Dzariyaat: 50). Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Laa ilaha illallah.

Hijrah Dengan Hati Kepada Rasulullah

Allah berfirman, “Maka demi Rabbmu (pada hakikatnya) mereka tidak beriman hingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan di dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa’: 65)

Hijrah ini sangat berat. Orang yang menitinya dianggap orang yang asing diantara manusia sendirian walaupun tetangganya banyak. Dia meninggalkan seluruh pendapat manusia dan menjadikan Rasululloh sebagai hakim di dalam segala perkara yang diperselisihkan dalam seluruh perkara agama. Hijrah ini merupakan tuntutan syahadat Muhammad Rasulullah.

Pilihan Allah dan Rasul-Nya itulah satu-satunya pilihan

Allah berfirman, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36)

Dengan demikian seorang muslim yang menginginkan kecintaan Allah dan Rasul-Nya tidak ragu-ragu bahkan merasa mantap meninggalkan segala perkara yang melalaikan dirinya dari mengingat Allah. Dia rela meninggalkan pendapat kebanyakan manusia yang menyelisihi ketetapan Allah dan Rasul-Nya walaupun harus dikucilkan manusia.

Seorang ulama’ salaf berkata, “Ikutilah jalan-jalan petunjuk dan janganlah sedih karena sedikitnya pengikutnya. Dan jauhilah jalan-jalan kesesatan dan janganlah gentar karena banyaknya orang-orang binasa (yang mengikuti mereka). (Disadur dari majalah As Sunnah edisi 11/VI/1423 H)

B. Hijrah Menurut Kefahaman Teroris

Para teroris mengkafirkan negara-negara yang ada, kemudian mereka menyatakan mempunyai Negara walaupun hanya khayalan. Diantara Negara yang dikafirkan adalah Saudi Arabiyah, sebagaimana tulisan salah satu tokoh mereka Abu Muhammad Al-Maqdisi di dalam bukunya yang berjudul Kawasyif Jaliyyah fi Kufri Daulah Su’udiyyah Edisi Indonesia: Saudi di Mata Seorang Al-Qaidah. 

Kalau Saudi Arabiyah kafir maka menurut mereka Indonesia dan negara-negara lainnya lebih kafir lagi, Oleh sebab itu makna hijrah bagi mereka adalah meninggalkan Negara Saudi dan hijrah ke al Qaedah, atau hijrah ke ISIS, meninggalkan NKRI dan hijrah ke NII, JI, atau ISIS.


2. Doktrin Tentang Bai’at

A. Baiat yang benar menurut Syariat

Ibnu Khaldun mengatakan dalam kitabnya, Al Muqadimah,”Bai’at ialah janji untuk taat. Seakan-akan orang yang berbai’at itu berjanji kepada pemimpinnya untuk menyerahkan kepadanya segala kebijaksanaan tentang urusan dirinya dan urusan kaum muslimin, sedikitpun tanpa menentangnya; serta taat kepada perintah pimpinan yang dibebankan kepadanya, suka maupun tidak.”

Masalah bai’at ini sudah dikenal sejak sebelum Islam. Dahulu, anggota-anggota setiap kabilah memberikan bai’atnya kepada pimpinan kabilah mereka, dan mereka mengikuti perintah dan larangan pimpinan.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus, orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Azza wa Jalla berbai’at kepada Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk senantiasa mendengar dan taat, dalam keadaan suka maupun tidak. Juga berbaiat untuk melindungi beliau. Kisah ini sangat terkenal dan tercatat dalam Al Qur’an, Sunnah dan sejarah perjalanan hidup Nabi umat ini.

Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat, bai’at untuk senantiasa mendengar dan taat diberikan kepada khalifah kaum muslimin berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah. Demikianlah semua khalifah, satu demi satu dibai’at oleh ahlul halli wal aqdi, sebagai wakil dari umat.

Islam benar-benar telah menjaga masalah bai’at ini dengan pagar kokoh yang dapat membentengi pembatalan atau main-main dengan persoalan bai’at. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengharamkan perbuatan membatalkan bai’at. Beliau bersabda:

مَنْ نَزَعَ يَدَهُ مِنْ طَاعَةٍ لَمْ يَكُنْ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُجَّةٌ

“Barangsiapa yang mencabut tangannya dari mentaati imam (tidak mau taat kepada imam-pent), maka dia tidak memiliki hujjah pada hari kiamat” [Hadits shahih, dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim].

Beliau juga bersabda:
مَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

“Barangsiapa yang mati, sedangkan di lehernya tidak ada ikatan bai’at, maka dia mati dalam keadaan jahiliyah”.

Karena keinginan untuk mempersatukan umat dan menyatukan hati, maka Islam mengharamkan berbai’at, kecuali kepada satu orang saja; yaitu penguasa, baik berkuasa karena dipilih oleh ahlul halli wal aqdi, atau karena menerima mandat dari penguasa sebelumnya, ataupun karena kudeta. Jika sudah berbai’at kepada satu penguasa, kemudian ada yang membangkang terhadap penguasa itu, maka Islam mewajibkan membela penguasa itu dan memerangi orang yang membangkang, siapapun adanya. Oleh karenanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ بَايَعَ إِمَامًا فَأَعْطَاهُ صَفْقَةَ يَدِهِ وَثَمَرَةَ قَلْبِهِ فَلْيُطِعْهُ إِنِ اسْتَطَاعَ فَإِنْ جَاءَ آخَرُ يُنَازِعُهُ فَاضْرِبُوا عُنُقَ الْآخَرِ

“Barangsiapa berbai’at kepada seorang imam (penguasa), ia memberikan telapak tangannya dan buah hatinya, maka hendaklan ia mentaatinya sesuai dengan kemampuannya, jika kemudian ada orang lain yang menentangnya, maka penggallah leher orang itu”. [HR Imam Muslim].

Rasulullah  juga bersabda,

إِذَا بُويِعَ لِخَلِيفَتَيْنِ فَاقْتُلُوا الْآخَرَ مِنْهُمَا

“Jika ada dua khalifah dibai’at, maka bunuhlah yang dibai’at terakhir”. [HR Muslim].

Permasalahan ini sudah diketahui oleh semua penuntut ilmu yang terbebas dari hawa nafsu. Sekalipun demikian, syetan telah berhasil menipu sebagian kelompok kaum muslimin yang aktif bekerja membela Islam dan berusaha menerapkan syari’at Allah di negeri kaum muslimin (menurut persepsi mereka). Akibatnya, mereka keliru dan terjerembab berkaitan dengan hukum bai’at ini. Mereka tundukkan nash-nash supaya sesuai dengan kemauan mereka. Syetan memasuki mereka melalui dua jalan, yaitu kebodohan dan hawa nafsu. Jika kedua hal ini berkumpul pada diri seseorang, maka dia akan terseret ke lembah kebinasaan.

Pemahaman tentang bai’at ini menjadi begitu rancu bagi kelompok-kelompok orang tersebut, yaitu bai’at yang (seharusnya, pent.) diberikan kepada penguasa yang berhak untuk ditaati dalam semua urusan, selama tidak memerintahkan kepada perbuatan maksiat, meskipun penguasa zhalim. Rasulullah  bersabda,

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

“Mendengar dan taat (kepada pimpinan) dalam masalah yang disenangi atau tidak, merupakan kewajiban seorang muslim, selama tidak disuruh melakukan perbuatan maksiat. Jika diperintah untuk berbuat maksiat, maka tidak boleh mendengar dan tidak boleh taat”. [Mutafaqun ‘alaih].

Itulah bai’at yang merupakan kewajiban agama, hanya boleh diberikan kepada satu orang imam (penguasa) saja.

B. Bai’at yang salah menurut faham Teroris

Orang-orang (dari kelompok-kelompok jama’ah) itu terjebak kerancuan dalam memahami antara bai’at dengan disiplin kerja sama, atau kesepakatan kerja, atau -dengan terpaksa kita istilahkan (secara bahasa, red.)- bai’at yang terjadi di kalangan beberapa individu manusia, kelompok, atau lembaga untuk kepentingan mengatur kegiatan dakwah, seperti: ceramah, pertemuan-pertemuan, amar ma’ruf nahi munkar, membangun masjid, sekolah atau kegiatan-kegiatan sosial lainnya. Maka ketaatan terhadap pemimpin organisasi atau lembaga ini, sebatas pada hal-hal yang menjadi tujuan diadakannya kegiatan tersebut. Tidak ada keharusan taat kepada pemimpin organisasi atau lembaga ini diluar kegiatan yang telah disepakati.

Bai’at (secara bahasa) semacam ini pun tidak memberikan hak taat dan mendengar secara mutlak kepada pemimpin, seperti yang diberikan kepada penguasa kaum muslimin. Dan juga tidak harus ditaati, ketika pemimpin itu berbuat fasiq atau zhalim.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa (28/16) berkata,“Tidak ada seorang pun diantara mereka yang berhak meminta seseorang supaya berjanji untuk menyepakati semua keinginannya, mencintai orang yang dicintainya dan membenci orang yang dibencinya. Siapapun yang melakukan perbuatan ini, maka ia sama dengan Jengis Khan dan sebangsanya, yang menganggap orang yang menyepakati mereka sebagai teman, dan menganggap orang yang berbeda dengan mereka sebagai musuh.”

Untuk melaksanakan kegiatan semacam ini, tidaklah harus ada orang tertentu yang dibai’at, karena tujuannya adalah mengatur kegiatan dan membagi tugas. Orang yang bergabung ke dalam organisasi ini tidak harus bergabung terus-menerus, dan ia tidak berhak mendapat hukuman, jika ia keluar. Juga keluarnya seseorang dari organisasi atau lembaga ini, tidak boleh dianggap keluar dari jama’ah kaum muslimin, sebagaimana anggapan sebagian orang yang bergabung dalam suatu jama’ah yang mewajibkan pengikutnya berbai’at. Dan Sehingga keluarnya dianggap keluar dari jama’ah kaum muslimin.

Para tokoh jama’ah ini menempatkan hadits-hadits tentang bai’at terhadap penguasa kaum muslimin atas jama’ah mereka. Padahal yang benar, bai’at-bai’at bid’ah ini tidak membuktikan kebenaran keinginan mereka, dan hadits-hadits tersebut tidak layak dijadikan sebagai dalil yang membolehkan bagi disyari’atkannya bai’at-bai’at bid’ah ini. Karena itu, wajib bagi orang-orang ini untuk melihat kembali tentang fiqhus sam’i wat tha’ah [1] dan fiqhus siyasah asy syar’iyah [2] secara menyeluruh, sesuai ketentuan-ketentuan Kitab dan Sunnah bukan dengan dugaan akal. Seperti anggapan, maslahat dakwah menuntut adanya bai’at atau anggapan lainnya yang menggiring mereka kepada perbuatan membesar-besarkan urusan kepemimpinan yang kecil. Sampai mereka membawakan dasar-dasar dan pemikiran-pemikiran, yang karenanya mereka menyelisihi para ahlul ilmi (ulama) yang berpegang teguh pada sunnah Rasulullah  dan para shahabatnya.

Bai’at-bai’at yang dilakukan oleh pengikut kelompok-kelompok ini telah memecah-belah kaum muslimin dan menjadikan mereka terkotak-kotak.

كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ

“Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. [Ar Rum:32].

Sehingga standar pemberlakuan wala’ dan bara’ (kapan memberikan kasih-sayang dan kapan melakukan permusuhan) tergantung pada para pengikut jama’ah. Padahal pada asalnya, kaum muslimin adalah umat yang satu, senasib sepenanggungan dan saling tolong menolong satu sama lain.( http://almanhaj.or.id/content/2906/slash/0/baiat-antara-yang-syari-dan-yang-bidah/ )

Sebagaimana yang berlaku pada bai’at-bai’at yang ada pada kelompok-kelompok radikal ekstrim seperti bai’at di NII, DI, JI, ISIS dll.


3. Doktrin Tentang Jihad

A. Pemahaman Jihad yang Benar


Secara umum, hakikat jihad mempunyai makna yang sangat luas. Yaitu, berjihad melawan hawa nafsu, berjihad melawan setan, dan berjihad melawan orang-orang fasik dari kalangan ahli bid’ah dan maksiat. Sedangkan menurut syara’ jihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang kafir.

Sehingga dapat disimpulkan, jihad itu meliputi empat bagian :
Pertama : Jihad melawan hawa nafsu
Kedua : Jihad melawan setan
Ketiga : Berjihad melawan orang-orang fasik, pelaku kezhaliman, pelaku bid’ah dan Pelaku kemungkaran.
Keempat : Jihad melawan orang-orang munafik dan kafir

Jihad melawan hawa nafsu, meliputi empat masalah :
Pertama : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mencari dan mempelajari kebenaran agama yang haq.
Kedua : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mengamalkan ilmu yang telah didapatkan.
Ketiga : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mendakwahkan ilmu dan agama yang haq.
Keempat : Berjihad melawan hawa nafsu dengan bersabar dalam mencari ilmu, beramal dan dalam berdakwah.

Adapun berjihad melawan setan dapat dilakukan dengan dua cara :
Pertama : Berjihad melawan setan dengan menolak setiap apa yang dilancarkan setan yang berupa syubhat dan keraguan yang dapat mencederai keimanan
Kedua : Berjihad melawan setan dengan menolak setiap apa yang dilancarkan setan dan keinginan-keinginan hawa nafsu yang merusak.

Sedangkan berjihad melawan orang-orang fasik, pelaku kezhaliman, pelaku bid’ah dan pelaku kemungkaran, meliputi tiga tahapan. Yaitu dengan tangan apabila mampu. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hati, yang setiap kaum muslimin wajib melakukannya. Yaitu dengan cara membenci mereka, tidak mencintai mereka, tidak duduk bersama mereka, tidak memberikan bantuan terhadap mereka, dan tidak memuji mereka. Rasulullah  bersabda.

“Tiga perkara ; barangsiapa yang pada dirinya terdapat tiga perkara ini, maka dia akan mendapatkan kelezatan iman ; Allah dan RasulNya lebih dicintai daripada yang lainnya, ia mencintai seseorang hanya karena Allah dan dia benci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah darinya, sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam neraka” [HR Bukhari dan Muslim]

“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka dia berarti telah sempurna imannya” [HR Abu Dawud]

“Barangsiapa membuat perkara yang baru atau mendukung pelaku bid’ah, maka dia terkena laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia” [HR Bukhari dan Muslim]

Berjihad melawan orang fasik dengan lisan merupakan hak orang-orang yang memiliki ilmu dan kalangan para ulama yaitu dengan cara menegakkan hujjah dan membantah hujjah mereka, serta menjelaskan kesesatan mereka, baik dengan tulisan ataupun dengan lisan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan : “Yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid”

Syaikhul Islam juga mengatakan : “Apabila seorang mubtadi menyeru kepada aqidah yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah, atau menempuh manhaj yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, dan dikhawatirkan akan menyesatkan manusia, maka wajib untuk menjelaskan kesesatannya, sehingga orang-orang terjaga dari kesesatannya dan mereka mengetahui keadaannya”

Oleh karena itu, membantah ahli bid’ah dengan hujjah dan argumentasi, menjelaskan yang haq, serta menjelaskan bahaya aqidah ahli bid’ah, merupakan sesuatu yang wajib, untuk membersihkan ajaran Allah, agamaNya, manhajNya, syari’atNya. Dan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, menolak kejahatan dan kedustaan ahli bid’ah merupakan fardu kifayah. Karena seandainya Allah tidak membangkitkan orang yang membantah mereka, tentulah agama itu akan rusak. Ketahuilah, kerusakan yang ditimbulkan dari perbuatan mereka, lebih berbahaya daripada berkuasanya orang kafir. Karena kerusakan orang kafir dapat diketahui oleh setiap orang, sedangkan kerusakan pelaku bid’ah hanya diketahui oleh orang-orang alim.

Adapun berjihad melawan orang fasik dengan tangan, maka ini menjadi hak bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan atau Amirul Mukminin, yaitu dengan cara menegakkan hudud (hukuman) terhadap setiap orang yang melanggar hukum-hukum Allah dan RasulNya. Sebagaimana pernah dilakukan Abu Bakar dengan memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, Ali bin Abi Thalib memerangi orang-orang Khawarij dan orang-orang Syi’ah Rafidhah.

Jihad melawan orang-orang Munafik dan Kafir
Bagaimana dengan berjihad melawan orang-orang munafik dan kafir ? Al-Imam Ibnu Qayyim menyatakan, jihad memerangi orang kafir adalah fardhu ‘ain ; dia berjihad dengan hatinya, atau lisannya, atau dengan hartanya, atau dengan tangnnya ; maka setiap muslim berjihad dengan salah satu di antara jenis jihad ini.

Akan tetapi, berjihad memerangi orang kafir dengan tangan hukumnya fardhu kifayah, dan tidak menjadi fardhu ‘ain, kecuali jika terpenuhi salah satu dari empat syarat berikut ini :

Pertama : Apabila dia berada di medan pertempuran.
Kedua : Apabila negerinya diserang musuh. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan ; “Apabila musuh telah masuk menyerang sebuah negara Islam, maka tidak diragukan lagi, wajib bagi kaum muslimin untuk mempertahankan negaranya dan setiap negara yang terdekat, kemudian yang dekat, karena negara-negara Islam adalah seperti satu negara” Jihad ini dinamakan Jihad Difa’.
Ketiga : Apabila diperintah oleh Imam (Amirul Mukminin) untuk berperang.
Keempat : Apabila dibutuhkan, maka jihad menjadi wajib.
Adapun disyariatkan jihad melawan orang kafir (dengan tangan), melalui tiga tahapan.

Pertama : Diizinkan bagi kaum muslimin untuk berperang dengan tanpa diwajibkan. Allah berfirman:

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” [Al-Hajj : 39]

Kedua : Perintah untuk memerangi setiap orang kafir yang memerangi kaum mulimin. Allah berfirman.

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [Al-Baqarah : 190]

Ketiga : Perintah untuk memerangi seluruh kaum musyrikin sehingga agama Allah tegak di muka bumi.

“Dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya; dan ketahuiilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa” [At-Taubah : 36]

Tahapan yang ketiga ini tidak dimansukh, sehingga menjadi ketetapan wajibnya jihad sampai hari kiamat. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata : “Marhalah (tahapan) yang ketiga ini tidak dimansukh, tetap wajib sesuai dengan kondisi kaum muslimin”

Demikian secara singkat hakikat jihad berserta tahapan-tahapan perintah tersebut. semua ini harus dipahami oleh kaum muslimin, sehingga dalam menetapkan jihad, sesuai dengan keadaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi.

Mudah-mudahan saudara-saudara kita dapat memahami bahwa jihad begitu luas dan perlu ilmu yang mendalam dan tidak boleh ijtihad seorang dalam melakukan peledakan-peledakan apalagi tempat-tempat ibadah, atau tempat-tempat umum, apalagi di negara yang mayoritas muslim dan bukan kancah peperangan. Dan keyakinan ahlu sunnah wal jamaah bahwa jihad tidak lepas dari fatwa ulama dan ulil amri dalam hal ini pemerintah dan para ulamanya Apabila diperintah oleh Imam (Amirul Mukminin / pemerintah ) untuk berperang. Apabila dibutuhkan, maka jihad menjadi wajib. (Menjawab Tuduhan Tabayun Meluruskan Pandang hal 57-61 karya Abdurrahman Ayyub)

B. Jihad Menurut Kefahaman Teroris.


Menempuh segala cara, dari angkat senjata, penculikan, pembunuhan, perampokan, pengeboman dengan sasaran militer maupun sipil, di daerah konflik atau daerah aman sebagaimana kita lihat dari peristiwa-peristiwa terror yang ada dalam bab-bab di atas. Bahkan membolehkan bom bunuh diri bahkan dilakukan atau diledakan dimana saja bahkan ada yang di masjid, gereja dan tempat-tempat ibadah lainnya.

Sebagiamana yang diserukan oleh juru bicara ISIS mendesak pengikutnya tidak “menunggu kita memberitahu anda (para pejuang ISIS) apa yang harus dilakukan. Mulai sekarang anda memiliki izin hanya menyerang di mana pun anda inginkan, membunuh orang-orang kafir di mana pun anda menemukan mereka, melakukan apa pun yang dalam kemampuan anda, dan hanya boleh bertindak.

Sementara ISIS telah mengaku bertanggung jawab langsung untuk hanya serangan Kuwait, salah seorang pejuang ISIS mengatakan kepada Reuters bahwa serangan di kedua Kuwait dan Tunisia memiliki koordinasi dan perintah dari kekhalifahan ISIS, ujarnya.

“Pidato dari salah seorang pemimpin ISIS, Abu Muhammad al-Adnani, ia memerintahkan para pejuangnya dan para Amir untuk membuat bulan Ramadhan, bulan penaklukan dan sehingga akan berlangsung penaklukan terhadap orang-orang kafir yang sudah membuat kerusakan di muka bumi. Dengan membunuh orang-orang kafir, maka akan menghentikan kerusakan.

Ditulis oleh Ustad Abdurrahman Ayyub (Mantan Petinggi Jamaah Islamiyah – Tangan Kanan Abu Bakr Ba’asyir)

Narasumber:

Semoga bermanfaat,
Ded Lee

No comments:

Post a Comment