“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Sunday, January 17, 2016

Khutbah Jum'at - Kisah Umar bin Khattab


Maasyirol Muslimin Rakhimakumullah,
Didalam kehidupan ini, kita senantiasa mengambil i’tibar (contoh dan teladan dari orang-orang sebelum kita). Itu sebabnya pada baginda kita Rasulullah Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam, Allah Subhanallahu Wata'ala menjelaskan cerita para nabi sebelum beliau. Dalam QS Tahaa ayat 99 Allah menjelaskan:

Kadzalika naqussu ‘alaika min anbaa ‘imaa qodsabaqa, waqod ‘aatainaka minladunna dzikran.
Artinya: Demikianlah, kami ceritakan kepadamu wahai Muhammad, sebagian dari kisah para rasul sebelum kamu, yang dengan itu akan memperkuat hatimu, meneguhkan keyakinanmu, dan menetapkan pendirianmu.

Inilah manfaatnya belajar dari sejarah. Jadi jangankan kita, baginda Nabi Muhammad pun oleh Allah Subhanallahu Wata'ala diceritakan para nabi sebelum beliau, yang dimusuhi oleh umatnya, yang dicaci maki oleh kaumnya, yang terusir dari kampung halamannya, bahkan sampai ada yang terbunuh oleh umatnya. Itu seluruhnya merupakan i’tibar untuk memantapkan langkahmu, meneguhkan keyakinanmu, dan menguatkan pendirianmu menghadapi perjuangan ini.

Sehubungan dengan itu memasuki Bulan Jumadil Akhir ini, ada satu peristiwa penting yang bisa kita ambil i’tibar atau contoh dan teladannya. Yaitu dengan diangkatnya Umar bin Khattab sebagai khalifah kedua setelah wafatnya Khalifah Abu Bakar as Shiddiq. Tepatnya tanggal 23 Jumadil Akhir tahun 13 H silam.

Khatib ingin menyampaikan satu cuplikan kecil dari kehidupan seorang sahabat utama baginda Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassalam yaitu Saydina Umar ibnu Khattab radiallahu 'anhu, beliau adalah Umar bin Khattab bin Nuf’ain bin Abdul Uzza dari suku Quraisy golongan Bani Adl. Perawakannya tinggi, kekar dan gagah melambangkan sifatnya yang pemberani, tegas dan tidak pernah kenal takut pada siapapun. 

Sebelum mendapat hidayah Umar bin Khattab termasuk orang yang berdiri dibarisan orang-orang yang memusuhi umat Islam. Ia terperangkap dalam tradisi jahiliyah. Dimana gemar berperang dan bermabuk-mabukan juga merupakan hal-hal yang pernah dilaksanakan dalam kehidupannya, sebelum beliau masuk ke dalam Agama Islam. Oleh karena itu dalam kehidupan beragama, hidayah merupakan sesuatu yang penting, bagaimanapun banyaknya dosa dan kesalahan yang telah dilakukan oleh seseorang tidak seharusnya menyebabkan ia putus asa dari rahmat Allah. Sebaliknya bagaimanapun banyaknya kebajikan dan kebaikan yang sudah dikerjakannya, tidak perlu membuatnya berbesar hati, puas, bangga apalagi menjadi lalai karenanya, sebab kita belum tau akan bagaimana ujung perjalanan dari kehidupan kita ini.

Maasyirol Muslimin Rakhimakumullah,
Kisah Umar bin khattab masuk Islam merupakan peristiwa yang menarik. Dikisahkan dari riwayat Anas yang dikeluarkan oleh Al-Hakim dan Al-Baihaqi, menyebutkan: Pada suatu hari dengan pedang terhunus, Umar bin Khattab menuju Darul Arqom tempat dimana baginda Nabi biasa berkumpul dengan para sahabat. Melihat mukanya yang beringas, matanya yang nanar, orang sudah menyangka dan mengerti, ini tentu akan terjadi pembunuhan. Dalam perjalanan menuju Darul Arqom, Umar bertemu dengan Nu’aim bin Abdullah. Nu’aim bertanya “Ya Umar, mau kemana engkau?” Umar bilang: “Mau membunuh itu, si murtad itu” “ si murtad yang mana?” “yang mana lagi? Itu. Yang memecah belah kita. Yang menghina berhala-berhala kita. Yang menjelek-jelekkan nenek moyang dan keturunan kita. Siapa lagi kalau bukan Muhammad.” Kata Nu’aim “Umar, tidak salah engkau?” “Tidak salah lagi” “Salah Umar” “Salah kenapa?” “Apa kamu tidak malu? Kamu mau pergi membunuh Muhammad, sementara adikmu sendiri Fatimah, dia sudah termasuk salah seorang pengikut Muhammad.” 

Mendengar ini, muka yang memang tadinya sudah marah dan merah, tambah jadi kelam. Bukan main mangkelnya Umar bin Khattab. Orang lain dia musuhi, orang lain dia kejar-kejar, ini malah adiknya sendiri menjadi pengikut dari Baginda Nabi. Tidak jadi menuju Darul Arqom, dia berangkat kerumah adiknya Fatimah.

Adapun di rumah Fatimah sedang berkumpul, Fatimah, suaminya Sa’id bin Zaid dan seorang sahabat Habab ibnul Arots. Mereka sedang membaca Quran. Waktu itu Quran belum lagi dijilid seperti zaman sekarang, jadi masih merupakan suhuf atau lembaran-lembaran saja. Diketuk pintu oleh Umar, dan dijawab dari dalam’ “Siapa diluar?” “Umar!” mendengar suaranya saja, ini sahabat yang namanya Habab Ibnul Arots sudah lari kebelakang pintu. Adapun Fatimah yang sedang memegang suhuf, lembaran tulisan Al-Quran itu, menyembunyikan suhuf itu dibelakang bajunya.
Umar masuk langsung bertanya: “Fatimah!” “Saya Umar” “Apa benar berita yang saya dengar?” “Berita apa itu?” “Bahwa kau sudah masuk Islam?” 
Fatimah berkata “Umar? Andai kata Muhammad memang benar, bagaimana?”
Umarpun bersikeras “Sudahlah jangan berbelit-belit, jawab saja kau masuk Islam, benar atau tidak?”
“Iya!” jawab Fatimah. Begitu dikatakan ‘iya’ tangannya langsung melayang, menampar muka adiknya ini, sehingga mengalir darah dari hidungnya Fatimah. Suaminya Sa’id bin Zaid yang mencoba melindungi istrinya dipegang lehernya dibanting, diduduki dadanya. Namun pada saat sedemikian, suara kebenaran terpantul dari mulut Fatimah, adik dari Umar bin Khattab ini. 
Umar! Apakah engkau memukul orang yang bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad Rasulullah? Apakah engkau menganiaya seseorang yang terpanggil untuk mengikuti kebenaran? Manusia macam apa engkau Umar!

Maasyirol Muslimin Rakhimakumullah,
Memang Umar orangnya keras, tapi hatinya mudah menerima kebenaran, sehingga mendengar kalimat adiknya ini tercenung dia sejenak, melongok dan bengong. Ini kalau tidak dengan keyakinan yang mantap, tidak mungkin Fatimah berbicara seperti ini. Umar? Mengapa engkau memukul orang yang bersaksi bahwa tidak ada tuhan melainkan Allah dan Muhammad Rasulullah?  Mengapa engkau pukul orang yang mengikuti kebenaran menerima hidayah dari Allah?
Di saat adiknya berkata begitu, tidak sengaja suhuf lembaran yang tersembunyi dibelakang bajunya tersembul, umarpun bertanya “Apa yang kau sembunyikan dibalik baju mu itu?” Fatimah berkata “Suhuf” “Apa suhuf itu?” “Lembaran Al-quran” “Coba saya lihat?” “Tidak boleh” “Kenapa?” “Kamu kotor, orang kotor tidak boleh memegang Al-quran” “Saya mau lihat?” “Tidak boleh. Kalau kamu mau lihat, mandi dulu” Diturutinya permintaan adiknya itu. Lalu diambilnya suhuf tadi, dan dia baca.
Kebetulan ayat yang dibacanya, ayat pertama dari surah Thaha yang berlanjut hingga pada ayat empat belas pada surah yang sama. Dia baca:
“Bismillahirahmanirahim. Thaha, maa anzalna ‘alaikal qur’ana litasqo, illa tadzkirotal limay yakhsya.
Thaha, Tidaklah Aku turunkan Al-quran ini untuk bikin sukar manusia. Melainkan merupakan pengingat bagi orang-orang yang takut kepada Allah.” 

Lalu pada ayat ke empat belas 
“innani ‘anallahula illahailla ‘ana fa’budni “Sesungguhnya Aku lah Allah. Tidak ada tuhan melainkan Aku. Maka hendaknya hanya kepada Ku lah kamu menyembah.
wa’aqimisholata lidzikri.
Dirikanlah shalat untuk mengingat Aku. 
Innassa ’ata aatiyatun ‘akaadu ukhfiy khaa lituj zaa kullu nafsi bima tas’aa
Sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang, yang sengaja waktunya tidak Kami beritahukan kepada kamu semua, untuk Kami balas segala setiap orang, tentang apa saja yang telah mereka lakukan dalam kehidupan dunia ini”.

Maasyirol Muslimin Rakhimakumullah,
Setelah membaca ayat ini gemetar tangannya. Dalam hati Umar ini tidak main-main. Belum pernah saya baca ajaran yang semacam ini. Tidak patut orang yang mempunyai kitab suci semacam ini dimusuhi. Ini sesuatu yang benar. Tergetar jiwanya. “Hai, Fatimah beritahu aku dimana keberadaan Muhammad?” “Saya tidak akan memberitahu kamu” “Dimana? kata Umar lagi” “Saya tidak akan memberi tahu kata Fatimah. Lebih baik kamu bunuh saya kalau memang maksud mu mau mencelakakan Muhammad” “Sama sekali saya tidak akan mencelakakan dia, Fatimah. Kasih tau saja dimana dia?” “Darul Arqom” kata Fatimah. Bergegas umar menuju Darul Arkom.

Saat di dalam Darul Arqom nabi memang sedang kumpul dengan para sahabat. Termasuk ada Sayyidina Hamzah yang juga terkenal sebagai jawarah juga. Diketuklah pintu. “Siapa diluar?” “Umar”. Didalam Darul Arqom ini geger sebagian sahabat, umar datang ini pasti sebagai bencana. Tapi baginda Nabi menenangkan mereka, “Tenang, mudah-mudahan ada hikmahnya.” Saydina Hamzah tampil “Bukakan dia pintu. Kalau niatnya baik kita terima, kalau niatnya tidak baik, saya paling depan”. 

Di bukakan pintu. Begitu dibukakan pintu, Umar masuk merangkul baginda nabi kemudian dengan tersendat “Asyhadu’alla illaha illallah wa ashhaduanaka ya muhammad rasulullah”. Saya bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan saya bersaksi engkau wahai Muhammad adalah utusan Allah. Sahabat takbir semua. ALLAHU AKBAR. ALLAHU AKBAR. Kegembiraan meliputi suasana ketika itu, kenapa? karena sebelumnya dikala Umar belum masuk Islam, dia merupakan ganjalan yang paling dikhawatirkan oleh umat Islam. Setelah dia masuk Islam, jelas merupakan suatu keuntungan yang sangat besar dan dia tertarik kepada Islam bukan karena bujuk rayu orang, tidak karena diberikan harta, tidak karena diiming-imingi oleh kedudukan tinggi tapi karena kebenaran, hidayah menembus hatinya melalui wasillah ayat dalam surah Thaha yang dibacanya melalui suhuf yang dipegang oleh adiknya tadi. Inilah yang harus kita ambil i’tibar atau contoh dan tauladannya. Apabila kita membaca Alqur’an, mohon sempatkan membaca artinya agar tersentuh hati kita dengan makna yang terkandung didalam Al Qur’an tersebut.

Sejak saat itu berubah 180 derajat Umar bin Khattab ra, tetapi tetap dengan sifatnya: keras, tegas dan tidak pernah kenal takut kepada siapapun. Cuma pada sebelum Islam, dia kerasnya kepada Islam, setelah dia masuk Islam putar arah kepada siapapun yang memusuhi Islam dia bersikap keras, tegas dan tidak pernah kenal takut.

Maasyirol Muslimin Rakhimakumullah,
Setelah Sayyidina Umar masuk Islam, suatu hari ketika di Darul Arqom kumpul-kumpul, waktu itu nabi belum berdakwah secara terbuka karena pengikut masih sedikit. Saydiana Umar usul “ Ya rasul, bukankah kita ini berdiri diatas sesuatu yang benar? Bukankah hidup kita, mati kita untuk melaksanakan sesuatu yang benar? Betul ya Umar. Demi Allah Umar kata nabi, sesungguhnya kamu dan kita semua berdiri diatas kebenaran. Hidup ataupun mati ”. Setelah mendapat jawaban ini Umar masuk kepada tujuan pembicaraannya. “Kalau memang begitu ya rasul, kalau memang kita yakin kita berdiri diatas kebenaran, kita hidup karna kebenaran, kita matipun karena memperjuangkan kebenaran, kenapa harus bersembunyi-sembunyi?”

“Demi Allah ya Rasul, tuan harus keluar menyampaikan Islam ini secara terbuka dan kami akan mendampingi tuan dengan segenap jiwa dan raga”. Sekali masuk Islam tidak tanggung-tanggung. Yang seperti Umar ini yang kita perlukan sekarang ini. Begitu masuk Islam tidak tanggung, seluruhnya jiwa dan raganya masuk Islam. Beliau yang pertama kali mengajukan ide kenapa harus dakwah sembunyi ya rasul? Sementara kita berdiri diatas kebenaran, memperjuangkan segala sesuatu yang haq, kalau pun kita mati, kita mati dalam membela kebenaran, kenapa mesti harus sembunyi-sembunyi? Mulai sekarang mari keluar ya rasul, saya akan dampingi tuan, nyawa saya taruhannya.

Ilustrasi Sayyidina Umar bin Khattab di medan perang

Maasyirol Muslimin Rakhimakumullah,
Cintanya Sayidina Umar kepada baginda nabi sangat luar biasa, dimedan tempur beliau selalu di barisan pertama bahkan demikian cintanya, sampai dimana ketika hari dimana baginda Nabi wafat, begitu disampaikan berita wafat Nabi kepada Umar ini, Sayidina Umar  bukan sedih melainkan cabut pedang sambil melotot matanya berkata “Siapa yang bilang Muhammad mati saya tebas batang lehernya”. Begitu cintanya beliau kepada baginda nabi, sampai-sampai tidak menerima kalau nabi wafat.
Sampai bertemu dengan Sayidina Abu Bakar ra, di tempat orang banyak, Sayyidina Abu Bakar yang bijaksana ini pidato:
“Ayyuhannas, mankaana ya’budu Muhammadan, fainna Muhammadan qodmaata, waman kaana ya’budullaha fainnallaha hayyun layamuth.
 “Wahai manusia, barang siapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad sudah mati. Tetapi barang siapa yang menyembah Allah. Allah akan hidup selamanya dan tidak akan pernah mati”.
Mendengar pidato Abu Bakar ini Sayydina Umar sadar, bahwa sebenarnya yang tidak bisa mati itu cuma Allah. Bagaimanapun agungnya baginda Nabi, besarnya budi pekerti baginda Nabi, dan tinggi akhlaknya Nabi, Cintanya beliau kepada nabi toh nabi adalah manusia, dan manusia harus mati.
Kemudian dibacakan surah Ali Imran ayat 144
“Wama Muhammadun illa rasul qodkholat min qoblihirrusul, ‘afa immata ‘awkutilan qolabtum ‘ala a’qoobikum”
 “Muhammad tidak lain daripada manusia, telah datang kepadanya rasul, apakah jika ia mati engkau kembali menjadi murtad atau mundur kebelakang?”.
Mendengar ayat ini dibacakan, saydina Umar semakin berurai air matanya, menangis dalam kesedihannya. Ini cintanya yang demikian tinggi kepada baginda Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam.

Maasyirol Muslimin Rakhimakumullah,
Setelah jadi khalifah sebagai satu i’tibar, khatib akan mengungkapkan beberapa sifatnya yang menonjol untuk pelajaran pada kita semua.

Pertama sikapnya terhadap keluarga setelah beliau menjadi khalifah. Kedudukan keluarga Umar bin Khattab bukan kedudukan keluarga istimewa, itu ditanamkan betul kepada keluarganya. Jangan karena bapak mu khalifah, lalu mentang-mentang anak khalifah kau merasa dapat fasilitas, merasa bisa berbuat semau-mau mu, kau harus punya tanggung jawab dan beban moril, memberikan contoh yang lebih baik kepada rakyat, ini yang ditekankan kepada keluarganya.

Kalau beliau mau mengeluarkan undang-undang, undang-undang itu terlebih dahulu dibicarakan kepada keluarganya, beliau kumpulkan anak-anaknya, sambil berkata: ini akan ada undang-undang begini, siapa diantara kalian yang mau mentaati persilahkan, yang tidak pun persilahkan. Tapi saya ingatkan, kalau ada dari keluarga Umar yang melanggar peratuaran yang saya keluarkan ini, saya akan menghukumnya dua kali lipat karena dia keluarga saya. Jadi jangan mentang-mentang anak seorang khalifah lantas kebal hukum.

Maasyirol Muslimin Rakhimakumullah,
Yang kedua yaitu sifat-sifat yang menonjol dari kepemimpinannya. Apa saja sifat yang menonjol dari kepemimpinan Sayyidina Umar? Pertama kesederhanaannya. Beliaulah satu-satunya khalifah, amirul mukminin, setingkat presiden kalau sekarang, yang punya jubah cuma dua buah dan yang satunyapun punya anaknya, tambelan lagi. Pernah saat shalat jum’at beliau terlambat, beliau naik mimbar untuk khutbah sebelumnya minta maaf dulu “Saudara-saudara mohon maaf saya terlambat nungguin baju kering”. Bayangkan Seorang khalifah nungguin baju kering, sederhana dalam kehidupannya.

Mari kita ambil satu cerita lagi. Pada saat beliau jadi khalifah, yang diangkat menjadi gubernur di Mesir adalah Amr bin Ash. Amr bin Ash, hidupnya lebih mirip kaisar, istananya besar, pakaiannya bagus-bagus. Pikiran yang paling menggangu Amr bin Ash saat itu adalah disebelah istananya ini ada sebuah gubuk, reot, kepunyaan orang yahudii. Amr bin Ash berencana akan membangun sebuat masjid besar di tempat gubuk tersebut dan otomatis harus menggusur gubuk reot Yahudi tersebut. Lalu dipanggil lah si Yahudi itu untuk diajak diskusi agar gubuk tersebut dibeli dan dibayar 2x lipat. Akan tetapi si Yahudi tersebut bersikeras tidak mau pindah karena dia tidak punya tempat lain selain disitu. Karena sama-sama bersikeras, akhirnya turun perintah dari Gubernur Amr bin Ash untuk tetap menggusur gubuk tersebut.

Si Yahudi merasa dilakukan tidak adil, menangis berurai airmatanya, kemudian dia melapor kepada khalifah, karna diatasnya gubernur masih ada yang lebih tinggi. Dia berangkat dari Mesir ke Madina untuk bertemu dengan Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab.

Sepanjang jalan si yahudi ini berharap-harap cemas dengan membanding bandingkan kalau gubernurnya saja istananya begitu mewah, bagaimana lagi istanya khalifahnya? Kalau gubernunya saja galak main gusur apalagi khalifahnya dan saya bukan orang Islam apa ditanggapi jika mengadu?”

Maasyirol Muslimin Rakhimakumullah,
Sesampai di Madina dia bertemu dengan seorang yang sedang tidur-tiduran dibawah pohon Kurma, dia hampiri dan bertanya, bapak tau dimana khalifah Umar bin Khattab? Dijawab orang tersebut, ya saya tau, Dimana Istananya?  Istananya di atas lumpur, pengawalnya yatim piatu, janda-janda tua, orang miskin dan orang tidak mampu. Pakaian kebesarannya malu dan taqwa. Si Yahudi tadi malah bingung dan lalu bertanya sekarang orangnya dimana pak? Ya dihadapan tuan sekarang. Gemetar yahudi ini keringat bercucuran, dia tidak menyangka bahwa didepannya adalah seorang khalifah yang sangat jauh berbeda dengan gubernurnya di Mesir.

Sayiddina umar bertanya, kamu dari mana dan apa keperluanmu? Yahudi itu cerita panjang lebar tentang kelakuan Gubernur Amr bin Ash yang akan menggusur gubuk reotnya di Mesir sana. Setelah mendengar ceritanya panjang lebar, Sayyidina Umar menyuruh yahudi tersebut mengambil sepotong tulang unta dari tempat sampah didekat situ. Lalu diambil pedangnya  kemudian di gariskan tulang tersebut lurus dengan ujung pedangnya, dan disuruhnya yahudi itu untuk memberikannya kepada Gubernur Amr bin Ash. Makin bingung si yahudi ini dan dia menuruti perintah Khalifah Sayyidina Umar tersebut.

Sesampai di Mesir, yahudi inipun langsung menyampaikan pesan sayyidina umar dengan memberikan sepotong tulang tadi kepada Gubernur Amr bin Ash. Begitu dikasih tulang, Amr bin Ash melihat ada garis lurus dengan ujung pedang, gemeter dan badannya keluar keringat dingin lalu dia langsung menyuruh kepala proyek untuk membatalkan penggusuran gubuk yahudi tadi. 

Amr bin Ash berkata pada yahudi itu, ini nasehat pahit buat saya dari amirul mukminin Umar bin Khattab, seolah-olah beliau bilang ‘hai Amr bin Ash, jangan mentang-mentang lagi berkuasa, pada suatu saat kamu akan jadi tulang-tulang seperti ini. Maka mumpung kamu masih hidup dan berkuasa, berlaku lurus dan adillah kamu seperti lurusnya garis diatas tulang ini. Lurus, adil, jangan bengkok, sebab kalau kamu bengkok maka nanti aku yang akan luruskan dengan pedang ku.
Singkat cerita, setelah melihat keadilan yang dicontohkan Sayyidina Umar tersebut, akhirnya yahudi itu menghibahkan gubuknya tadi buat kepentingan pembangunan masjid, dan diapun masuk Islam oleh karena keadilan dari Umar bin Khattab. 
Itu saja sebahagian contoh dari kepribadian seorang Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab yang dapat kita ambil i’tibar atau contoh dan teladannya. Sebenarnya masih banyak lagi contoh-contoh kepribadian Sayyidina Umar bin Khattab lainnya, akan tetapi dikarnakan waktu yang terbatas maka khatib cukupkan dulu sampai disini. 


Khutbah Kedua:
Maasyirol Muslimin Rakhimakumullah,
Selain kepribadian seorang Sayyidina Umar bin Khattab diatas yang dapat kita ambil i’tibar atau contoh dan teladannya, beliau juga sangat besar sekali jasa-jasanya bagi dunia Islam selepas dari kepergian Rasulullah. Dimana dimasa Sayyidina Umar bin Khattab, satu-satunya kerajaan yang bisa mengalahkan kerajaan Adikuasa di dunia saat itu yaitu Romawi dan Persia yaitu Cuma Kerajaan Islam dimasa Khalifah Sayyidina Umar bin Khattab. Ibukota kedua Romawi yaitu konstantinopel di Turki berhasil dia taklukan. Begitupun Kerajaan Persia berhasil di taklukan saat pertempuran ditepi sungai Eufrat Irak.
Semoga kita bisa menerapkan apa yang sudah dicontohkan oleh Sayyidina Umar bin Khattab tersebut didalam kehidupan kita sehari-hari. Aamieen Ya Robbal 'Alamin.

DK

Sumber: