Mengerjakan shalat berjamaah adalah suatu keharusan bagi Umat Muslim. Selain berlipat ganda dalam pahala, juga silaturahmi antar sesama Muslim akan terjalin dengan baik. Sebagai seorang imam dalam shalat, membaca surah al-Fatihah sudah menjadi keharusan. Lalu bagaimana dengan makmum?
Tentang bacaan al-Fatihah oleh makmum ada beberapa pendapat ulama:
1. Imam Syafi’I mengharuskan makmum membaca al-Fatihah.
Imam harus berhenti sejenak, agar makmum berkesempatan untuk membaca al-Fatihah (untuk shalat jahriah-suara iamam dikeraskan).
Alasan Imam Syafi’i yaitu berlandaskan pada sabda Rasulullah:
لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بفاتحةِ الكتابِ
“tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Faatihatul Kitaab” (HR. Al Bukhari 756, Muslim 394)
didukung juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
كلُّ صلاةٍ لا يُقرَأُ فيها بأمِّ الكتابِ ، فَهيَ خِداجٌ ، فَهيَ خِداجٌ
“setiap shalat yang di dalamnya tidak dibaca Faatihatul Kitaab, maka ia cacat, maka ia cacat” (HR. Ibnu Majah 693, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah).
Pendapat Imam Syafi’i itu ditentang oleh sebagian ulama. Alasannya, alasan Imam Syafi’i itu bertentangan. Imam Syafi’i membolehkan apabila seorang makmum datang terlambat, yaitu saat imam akan melakukan rukuk lalu dia bertakbir dan mengikuti rukuknya, sah bagi si makmum mendapat rakaat itu. Padahal ia tidak mendengar bacaan al-Fatihah oleh imam, apabila membacanya sendiri. Yang demikian itu, berarti bacaan al-Fatihah oleh makmum dibebankan kepada imam.
2. Imam Abu Hanifah mengatakan, “Bacaan imam berarti juga bacaan makmum.
Oleh sebab itu, makmum tidak perlu membaca surah apa pun, baik dalam shalat jahriah (maghrib, isya da shubuh), maupun dalam shalat sirriyah-suara dipelankan (dzuhur dan ashar).
Abu Hanifah, beliau berpendapat bahwa membaca Al Fatihah itu bukan rukun shalat, tidak wajib membacanya. Beliau berdalil dengan ayat:
فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ
“maka bacalah ayat-ayat yang mudah dari Al Qur’an” (QS. Al Muzammil: 20)
Dan juga dengan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam kepada seseorang: ‘bacalah apa yang mudah bagimu dari Al Qur’an” (HR. Al Bukhari 757, Muslim 397).
3. Imam Ahmad mengomentari apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan diamlah agar kamu mendapat rahmat. Karena sesuai firman Allah Ta’ala:
وَإِذَا قُرِىءَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan diamlah agar kamu mendapat rahmat” (QS. Al A’raf: 204).
Juga sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, dari sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:
إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا
“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. An Nasa-i 981, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Sunan An Nasa-i, ashl hadits ini terdapat dalam Shahihain)
4. Imam Malik berpendapat bahwa dalam shalat jahriah makmum cukup dengan tekun mendengar bacaan imam.
Itu sudah cukup. Berarti makmum sudah ikut membaca. Sedangkan dalam shalat sirriyah makmum harus membaca surah al-Fatihah, sebab dia tidak bisa mendengar bacaan imam.
Jabir radhiallahu’anhu berkata:
كنا نقرأ في الظهر والعصر خلف الإمام في الركعتين الأوليين بفاتحة الكتاب وسورة وفي الأخريين بفاتحة الكتاب
“kami biasa membaca ayat Al Qur’an dalam shalat zhuhur dan ashar di belakang imam di dua rakaat pertama bersama dengan Al Fatihah, dan di dua ayat terakhir biasa membaca Al Fatihah (saja)” (HR. Ibnu Maajah dengan sanad shahih dan terdapat dalam Al Irwa’ (506))” (Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 120).
Tarjih Pendapat
Syaikh Al Albani memaparkan masalah ini dengan penjelasan yang bagus. Beliau mengatakan, “awalnya, Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam membolehkan makmum untuk membaca Al Fatihah di belakang imam dalam shalat jahriyyah. Suatu ketika saat mereka shalat subuh, para sahabat membaca ayat Al Qur’an dalam shalat hingga mereka merasa kesulitan. Ketika selesai shalat subuh Nabi bersabda:
لعلَّكم تقرؤُون خلفَ إمامِكم ، قلنا: نعم يا رسولَ اللهِ ، قال : فلا تفعلوا إلَّا بفاتحةِ الكتابِ فإنَّه لا صلاةَ لمن لم يقرأْ بها
“mungkin diantara kalian ada yang membaca Al Qu’ran dibelakangku? Ubadah bin Shamit menjawab: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: jangan kau lakukan hal itu, kecuali Al Fatihah. Karena tidak ada shalat bagi orang yang tidak membacanya“ (HR. Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dihasankan oleh At Tirmidzi dan Ad Daruquthni)
Namun kemudian Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melarang mereka membaca semua ayat Al Qur’an dalam shalat jahriyyah. Hal ini sebagaimana suatu ketika mereka selesai mengerjakan shalat jahriyyah (dalam suatu riwayat disebutkan itu adalah shalat shubuh), Nabi bersabda:
هل قرأَ معي منكم أحد آنفًا ؟ فقالَ رجلٌ : نعم أَنَا يا رسولَ اللَّه . قالَ : إنِّي أقولُ : ما لي أنازعُ ؟ قالَ أبو هريرة : فانتهى النَّاسُ عنِ القراءةِ مَعَ رسولِ اللهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ فيما جهرَ فيهِ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللهُ عليهِ وسلَّمَ بالقراءةِ حينَ سمعوا ذلكَ مِن رسولِ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ ، وقرَؤوا فِي أنفسِهمْ سرًّا فيما لم يجهَرْ فيهِ الإمامُ
“apakah diantara kalian ada yang membaca Al Qur’an bersamaku dalam shalat barusan? Seorang sahabat berkata: iya, saya wahai Rasulullah. Nabi bersabda: saya bertanya kepadamu, mengapa bacaanku diselingi?”
Lalu Abu Hurairah mengatakan: “semenjak itu orang-orang berhenti membaca Al Qur’an bersama Nabi Shallallahu’alahi Wasallam dalam shalat yang beliau Shallallahu’alaihi Wasallam mengeraskan bacaannya, yaitu ketika para makmum mendengarkan bacaan dari Nabi tersebut. Dan mereka juga membaca secara sirr (samar) pada shalat yang imam tidak mengeraskan bacaannya” (HR Malik, Al Humaidi, Al Bukhari dalam Juz-nya, Abu Daud, Ahmad, dan Al Mahamili, dihasankan oleh At Tirmidzi dan dishahihkan oleh Abu Hatim Ar Razi dan Ibnu Hibban dan Ibnul Qayyim)
Beliau Shallallahu’alahi Wasallam menjadikan sikap diam mendengarkan bacaan imam sebagai bentuk i’timam yang sempurna terhadap imam. Beliau Shallallahu’alahi Wasallam bersabda:
إنما جُعل الإمامُ ليؤتمَّ به ، فلا تَختلفوا عليه ، فإذا كبَّر فكبِّروا ، وإذا قرَأ فأنصِتوا
“sesungguhnya dijadikan seorang imam dalam shalat adalah untuk diikuti, maka jangan menyelisihinya. Jika ia bertakbir, maka bertakbirlah, jika ia membaca ayat, maka diamlah” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Daud, Muslim, Abu ‘Awanah, Ar Ruyani dalam Musnad-nya)
Sebagaimana Nabi Shallallahu’alahi Wasallam juga menganggap istima‘ (mendengarkan bacaan imam) itu sudah mencukupi tanpa perlu membaca. Sebagaimana sabdanya:
مَن كان له إمامٌ فقراءةُ الإمامِ له قراءةٌ
“barangsiapa yang memiliki imam, maka bacaan imam itu adalah bacaan baginya” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Ad Daruquthni, Ibnu Majah, Ath Thahawi, Ahmad, dari jalan yang banyak secara musnad maupun mursal. Ibnu Taimiyah menganggap hadits ini kuat dalam kitab Al Furu‘ karya Ibnu ‘Abdil Hadi, dan hadits ini dishahihkan sebagian jalannya oleh Al Bushiri)”
(selesai nukilan perkataan Al Albani, dinukil dari Ikhtiyarat Fiqhiyyah Imam Al Albani, 119-120).
Maka, pendapat ke empat adalah yang nampaknya lebih kuat. Membaca Al Fatihah adalah rukun bagi imam dan munfarid dalam shalat sirriyyah dan jahriyyah, namun rukun bagi makmum dalam shalat sirriyyah saja, jahriyyah tidak. Dalam shalat jahriyyah, makmum cukup diam mendengarkan bacaan imam.
Itulah ketentuan dalam membaca Al-Fatihah oleh makmum. Selebihnya kembali kepada keyakinan Anda masing-masing. Pilihlah yang menurut Anda mendekati benar. Jangan Anda memilih yang masih bersifat ragu bagi diri Anda. Tapi, pilihlah sesuai pengetahuan dan keyakinan Anda. Wallahu ‘alam.
Sumber:
Anda Bertanya Islam Menjawab/Karya: Prof. Dr. M. Mutawalli asy-Sya’rawi/Penerbit: Gema Insani
Semoga bermanfaat,
Ded Lee