“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Sunday, March 27, 2016

Kisah Uang Seribu dan Seratus Ribu


Mata uang kertas yang diterbitkan Bank Indonesia ada beberapa pecahan. Nilai pecahan terkecil adalah Seribu sementara pecahan terbesar adalah Seratus Ribu. Keduanya dan juga pecahan mata uang kertas lainnya dicetak dari tempat yang sama, yakni Peruri dan diedarkan oleh institusi yang sama yakni Bank Indonesia.

Tersebutlah kisah saat dua pecahan mata uang terkecil dan terbesar, dipertemukan dalam sebuah domper milik seorang anak muda. Terjadilah percakapan antara dua pecahan mata uang yang nilainya berbeda 100 kali lipat tersebut.

Rp. 100.000 : “Hey Seribu, kenapa kamu tampak begitu kotor, kucel dan bau mu juga bukan main menyengat!?”

Rp.1000 : “Hai Seratus Ribu, keadaan aku begini aku begitu aku di edarkan ke masyarakat, aku langsung berada di tangan para tukang penjual sayur dan penjual ikan pinggir jalan, tukang parkir, tukang ojek dan sempat mampir juga ke tangan pengemis. Kamu sendiri kenapa masih terlihat begitu bersih dan rapi?”

Rp. 100.000 : “Nilaiku seratus kali dari nilaimu, aku selalu berada ditangan orang yang berkecukupan, aku beredar dari satu mal ke mal lainnya, dari satu restoran mahal ke restoran elit lainnya dan aku seringkali menginap di hotel berbintang. Aku hampir selalu ditangan orang yang pandai menjaga uang.”

Uang Seribu terdiam sejenak dalam percakapan tersebut. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu. Tak lama kemudian Ia kembali bertanya kepada Seratus Ribu.

Rp.1000 :“Pernahkah kamu mampir di tempat ibadah?”.

Rp.100.000 : “Seingatku belum pernah, kenapa kau tanyakan hal itu?”

Rp.1000 : “Ketahuilah, dalam kondisi aku yang lusuh dan kucel ini, dan terkadang bau, tapi setiap hari aku dibawa ke masjid-masjid dan karena aku, banyak anak-anak yatim tersenyum bahagia. Di tangan para penderma dan anak yatim itu, aku tidak dipandang rendah karena nilaiku yang 100 kali lebih rendah darimu. Aku dipandang sebagai pemberi manfaat dan harapan.”

Mendengar penuturan tanpa kesombongan itu, Seratus Ribu inipun bersedih hati. Ia justru merasa tidak bernilai karena hanya digunakan sebagai alat tukar, bukan sebagai pemberi harapan dan manfaat bagi yang memegangnya.

Kisah ini fiktif adanya, namun semoga pembaca bisa mengambil hikmah dan pelajaran berharga agar kita menjadi manusia terbaik, yakni yang paling banyak manfaatnya untuk orang lain. Aamiin Yaa Rabbal ‘Aalamiin.

Sumber:

Semoga bermanfaat,
DK