“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Sunday, February 28, 2016

Hamzah Fansuri Seorang Ulama Tasawuf dan Sastrawan di masa Kesultanan Aceh


Pada abad ke XVII, kerajaan Aceh mencapai zaman kejayaannya. Kerajaan Aceh pada masa ini banyak dikunjungi oleh ulama dan orang-orang Muslim yang ingin menuntut ilmu Islam, baik dari mancanegara maupun dalam negeri. Hal ini disebabkan karena Aceh pada waktu itu merupakan tempat studi agama Islam yang terkenal di kepulauan Nusantara dan sekitarnya. 

Selama di Aceh, orang-orang yang menuntut ilmu agama Islam ini bekerja sebagai pengajar ilmu agama dan ada juga yang menjadi pengarang kitab dari berbagai cabang ilmu pengetahuan. Salah satu cendikiawan yang turut menuntut ilmu di Aceh ialah Hamzah Fansuri yang terkenal dengan ajaran tasawuf wujudiyah-nya. 

Kehidupan Hamzah Fansuri tidak terlepas dari sejarah perjalanan penyebaran agama Islam di Nusantara. Hamzah Fansuri merupakan orang pertama yang mempelopori pengembangan sastra Melayu di Nusantara dengan aliran tasawuf wujudiyah yang diaplikasikan dalam kehidupan dan dipaparkan dengan lirik sastra Melayu. 

Hamzah Fansuri adalah seorang cendikiawan, ulama tasawuf, sastrawan, dan budayawan terkemuka. Ia diperkirakan telah menjadi penulis pada masa Kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Alauddin Riayat Syah Sayid al-Mukammal (1588-1604) dan dapat ditarik benang merah jika Hamzah Fanshuri hidup antara pertengahan abad ke-16 hingga awal abad ke-17. 

Ia berasal dari Fansur yakni sebuah kota pantai di barat Sumatera bagian utara, arah ke selatan daerah Aceh (sekarang sebagian masuk dalam wilayah Sumatera Utara). Ciri khas negeri Fansur itu adalah penghasil kapur barus yang sangat terkenal di dunia pada saat itu. Ia sering melakukan perjalanan untuk menuntut ilmu, antara lain ke Kudus, Banten, Johor, Siam, India, Persia, Irak, Mekah, Madinah, dan lain-lain. 

Setelah pengembaraannya selesai, ia kembali ke Aceh dan mengajarkan ilmunya. Pada mulanya ia berdiam di Barus lalu ke Banda Aceh, kemudian ia mendirikan dayah di Oboh, Singkil. Hamzah Fansuri termasuk orang yang sangat gemar dan mementingkan dalam mencari ilmu, terutama ilmu agama, khususnya tasawuf. Untuk itu, ia tidak segan-segan berpergian jauh dalam waktu lama untuk tujuan itu. Namun, perjalanannya tidak hanya untuk mencari ilmu pengetahuan tetapi juga untuk kepentingan amalan agama, terutama berkaitan dengan ajaran tasawuf yang dianutnya. 

Hamzah Fansuri dapat dikatakan tokoh tasawuf dari Aceh yang membawa faham wahdatul wujud. Ajaran Hamzah Fansuri ini banyak bersumber dari pemikiran Ibnu Arabi. Ajaran wahdatul wujud adalah ajaran yang meyakini bahwa Tuhan dapat bersatu dengan makhluknya atau serupa dengan pengertian pantheisme. 

Jasanya yang paling menonjol dalam bidang pendidikan adalah usahanya memperkaya bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang tidak kalah dengan bahasa-bahasa ilmu pengetahuan dunia lain. Oleh karena itu, Hamzah Fansuri dianggap sebagai perintis penggunaan bahasa Melayu menjadi bahasa ilmu pengetahuan yang hingga kini semakin berkembang pesat.

Pada mulanya Hamzah Fansuri mempelajari ilmu tasawuf setelah menjadi anggota tarekat Qadiriyah yang didirikan oleh Abdul Qadir Jailani. Pengaruh Hamzah Fansuri cepat tersebar di seluruh Nusantara terutama melalui pengajaran-pengajaran yang beliau berikan selama perantauan ke berbagai tempat dan melalui karya-karyanya yang tersebar di seluruh Asia Tenggara. Murid-muridnya pun tersebar pula di mana-mana.

Hamzah Fansuri tidak saja dikenal sebagai ulama tasawuf dan sastrawan terkemuka tetapi juga seorang perintis dan pelopor pembaharuan yang sangat besar bagi perkembangan kebudayaan Islam di Nusantara. Khususnya di bidang kerohanian, keilmuan, filsafat, bahasa, dan sastra. Di bidang keilmuan, Hamzah Fansuri telah mempelopori penulisan risalah tasawuf atau keagamaan yang demikian sistematis dan bersifat ilmiah. 

Sebelum karya-karya Hamzah Fansuri muncul, masyarakat Melayu mempelajari masalah-masalah agama, tasawuf, dan sastra melalui kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab dan Persia. 

Hamzah Fansuri juga telah berhasil meletakkan dasar-dasar puitika dan estetika Melayu. Dasar-dasar puitika ini terekam dalam syair-syair Hamzah Fansuri yang diketahui tidak kurang 32 untaian. Syair ini dianggap sebagai syair Melayu pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris dengan pola bunyi akhir a-a-a-a pada setiap barisnya. 


Karya Sastra Hamzah Fansuri

Ciri-ciri sajaknya yang menonjol akhirnya dijadikan semacam konvensi sastra atau puisi Melayu klasik, diantaranya:
Pertama, pemakaian penanda kepengarangan.
Kedua, banyak petikan ayat Al Qur’an, Hadits, Pepatah, dan kata-kata Arab. Itu menunjukkan derasnya proses Islamisasi untuk pertamakalinya melanda bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu abad ke-16. 
Ketiga, dalam setiap bait terakhir syairnya selalu mencantumkan takhallus (nama diri), yaitu nama julukan yang biasanya didasarkan pada nama tempat kelahiran penyair atau tempat ia dibesarkan. 
Keempat, terdapat pula tamsil dan citraan-citraan simbolik atau konseptual yang biasa digunakan oleh penyair-penyair Arab dan Persia dalam melukiskan pengalaman dan gagasannya. 
Kelima, karena paduan yang seimbang antara diksi atau pilihan kata, rima dan unsur-unsur puitik lainnya. 


Contoh Puisi hasil karya Hamzah Fansuri:

Hamzah nin asalnya Fansury
Mendapat wujud di tanah Shahrnawi
Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali
Dari abad ‘Abd al-Qadir Jilani

Hamzah di negeri Melayu
Tempatnya kapur di dalam kayu
Asalnya manikam tiadakan layu
Dengan ilmu dunia di manakan payu

Hamzah Fansury di dalam Mekkah
Mencapai Tuhan di Baitul Ka’bah
Dari Barus terlayu payah
Akhirnya dijumpa di dalam rumah

Hamzah miskin orang uryani
Seperti Ismail menjadi Qurbani
Bukan Ajami lagi Arabi
Senantiasa wasil dengan yang baqi

Sumbangan pemikiran selanjutnya mengenai kebahasaan dapat dibaca dalam syair-syair dan risalah-risalah tasawuf Hamzah Fansuri. Hamzah Fansuri mempelopori pula penulisan puisi-puisi filosofis dan mistis bercorak Islam. Sangat besar jasanya dalam proses Islamisasi bahasa Melayu. Islamisasi bahasa sama saja dengan Islamisasi pemikiran dan kebudayaan. Syair-syairnya bukan saja memperkaya perbendaharaan kata bahasa Melayu tetapi juga mengintegrasikan konsep-konsep Islam dalam berbagai bidang kehidupan dalam sistem bahasa dan budaya Melayu. Kedalaman kandungan puisi-puisinya sukar ditandingi oleh penyair lain yang sezaman bahkan sesudahnya. 

Bidang kebahasaan, Hamzah Fansuri telah memberikan sumbangan pemikirannya. Pertama, sebagai penulis pertama kitab keilmuan dalam bahasa Melayu. Ia telah berhasil mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa intelektual dan ekspresi keilmuan yang hebat. Dengan demikian, kedudukan bahasa Melayu di bidang penyebaran ilmu dan persuratan menjadi sangat penting dan mengungguli bahasa-bahasa Nusantara lainnya pada waktu itu. 

Oleh karena itu, pada abad ke-17 bahasa Melayu menjadi bahasa pengantar pada berbagai lembaga pendidikan Islam. Bahkan digunakan pula oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai bahasa administrasi dan bahasa pengantar di sekolah-sekolah pemerintah. Hal ini memberikan peluang besar terhadap bahasa Melayu untuk berkembang maju dan dipilih serta ditetapkan menjadi bahasa persatuan dan kebangsaan Indonesia pada dewasa ini. 

Dalam bidang filsafat, ilmu tafsir dan telaah sastra, Hamzah Fansuri telah mempelapori penerapan metode takwil atau hermeneutika keruhanian. Sebagai contoh, dalam tulisannya Rahasia Ahli Makrifat, Hamzah Fansuri menyampaikan analisisnya dengan tajam dan dengan landasan pengetahuan yang luas mencakup metafisika, teologi, logika, epistemologi, dan estetika. 

Murid Hamzah Fansuri yang terkenal ialah Syekh Syamsuddin bin Abdullah as Samathrani. Ia sangat berpengaruh dalam kehidupan keagamaan di Kesultanan Aceh Darussalam, terutama pada masa pemerintahan Sayid al Mukammal dan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Pendirian Syekh Syamsuddin itu merupakan cerminan dari pendirian Hamzah Fansuri. Hal itu dapat dilihat dari seluruh karya Syamsuddin, bahkan karyanya tersebut dapat dianggap memperjelas pendirian Hamzah Fansuri. 

Salah satu pandangan dan uraian Syamsuddin atas karya Hamzah Fansuri berjudul Ruba-i Hamzah Fansuri. Namun, setelah Sultan Iskandar Muda meninggal, ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin mendapat serangan hebat dari ulama besar lainnya yaitu Nuruddin Ar-Raniri dan Abdurrauf Al Singkili. 


Aliran Ilmu Tasawuf yang diajarkan Hamzah Fansuri:

Bentuk dan sifat pertentangan ini berpangkal pada adanya dua aliran dalam ilmu tasawuf yang memang sulit untuk dikompromikan. 
Aliran pertama seperti sudah disebutkan yaitu wujudiyah, teori ini merupakan monisma (serba esa). Menurut ahli tasawuf dari aliran itu, dunia hanyalah emanasi atau pancaran dari inti sari yang tidak tercipta. 
Aliran yang kedua wihdatussyuhud yakni kesatuan persaksian. Pada zaman pemerintahan Sultan Iskandar Muda sebenarnya telah ada benih-benih pertentangan kedua aliran tasawuf tersebut tetapi dengan kebijaksanaan Sultan Iskandar Muda pertentangan itu tidak sampai menimbulkan kekacauan dikehidupan keagamaan. 

Sesudah Sultan Iskandar Muda mati maka Syekh Nuruddin Ar Raniri berhasil mempengaruhi Sultan Iskandar Sani untuk meberantas ajaran-ajaran Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As Samathrani yang dianggap olehnya sebagai ajaran sesat. Buku-buku karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin as Samathrani dibakar dan dimusnahkan. Serta rakyat Aceh dilarang menganut faham kedua tokoh tersebut. 

Karya-karya Hamzah Fansuri didalam kesusasteraan Melayu/Indonesia antaranya adalah: 
  1. Syair Burung Pinggai, bercerita tentang burung pinggai yang melambangkan jiwa manusia dan Tuhan. Dalam syair itu, Hamzah Fansuri mengangkat satu masalah yang banyak dibahas dalam tasawuf, yaitu hubungan satu dan banyak. Yang esa adalah Tuhan dengan alamnya yang beraneka ragam. 
  2. Syair Burung Pungguk, bercerita tentang hubungan manusia denga Tuhan. 
  3. Syair Perahu, melambangkan tubuh manusia sebagai perahu layar di laut. Pelayaran itu penuh marabahaya. Apabila manusia kuat memegang keyakinan akan Tuhan maka dapat dicapai suatu tahap yang menunjukkan tidak adanya perbedaan antara Tuhan dengan Hambanya. 
  4. Syair Dagang, bercerita tentang kesengsaraan seorang anak dagang yang hidup di rantau. 
  5. Asrar al Arifin fi Bayan Ilmi as Suluk wa at Tauhid (keterangan mengenai perjalanan ilmu suluk dan keesaan Tuhan), berisi pandangan Hamzah Fansuri tentang makrifat Tuhan, sifat Tuhan, dan nama Tuhan. Dalam karya ini ia mengatakan bahwa pada dasarnya syariat, hakikat, dan makrifat adalah sama. Syarah al Asyiqin (minuman orang-orang yang cinta kepada Tuhan). Berisi antara lain tentang perbuatan syariat, perbuatan tarikat, perbuatan hakikat, perbuatan makrifat, kenyataan zat Tuhan, dan sifat-sifat Tuhan. Di sini Hamzah Fansuri memandang Tuhan sebagai yang maha sempurna dan yang maha mutlak. 
  6. Dalam kesempurnaan itu, Tuhan mencakup segala-galanya. Apabila tidak mencakup segala-galanya, Tuhan dapat disebut maha sempurna dan maha mutlak, karena mencakup segala-galanya maka manusia juga termasuk dalam Tuhan. 
  7. Syair sidang faqir 
  8. Syair ikan tongkol
  9. Al-Muhtadi
  10. Ruba’i Hamzah al-Fansuri

Sumber:

Semoga bermanfaat,
Ded Lee