Setelah diketahui bahwa Al-Fatihah adalah bagian dari rukun shalat, bagaimanakah hukum membaca Al-Fatihah bagi makmum saat imam mengeraskan bacaan Al-Fatihah dalam shalat jahriyah? Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum makmum membaca surat di belakang imam.
Ulama Malikiyah dan Hanabilah menyatakan bahwa makmum tidak wajib membaca Al-Fatihah baik dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya dan Shubuh) maupun sirriyah (Zhuhur dan Ashar) karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الإِمَامِ لَهُ قِرَاءَةٌ
“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, bacaan imam menjadi bacaan untuknya.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah no. 850. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)
Namun ada perkataan tegas dari ulama Malikiyah dan Hanabilah bahwa makmum disunnahkan membaca Al-Fatihah untuk shalat sirriyah. Adapun dalam madzhab Hanafiyah, makmum tidak membaca sama sekali di belakang imam dalam shalat sirriyah, bahkan dinyatakan makruh tahrim jika tetap membaca di belakang imam. Namun jika tetap dibaca, menurut pendapat terkuat, shalatnya tetap sah. Di antara alasannya adalah ayat:
وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ
“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A’raf: 204)
Sedangkan ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa wajib membaca Al-Fatihah bagi makmum baik dalam shalat sirriyah (Zhuhur dan Ashar), begitu pula dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya, dan Shubuh). Alasannya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ
“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al-Fatihah.” (HR. Bukhari, no. 756 dan Muslim, no. 394)
Ada pernyataan dari Syafi’iyah dan Hanabilah bahwa dimakruhkan bagi makmum membaca di saat imam menjaherkan (mengeraskan) bacaan. Namun ulama Syafi’iyah mengecualikan jika dikhawatirkan luput dari sebagian Al-Fatihah.
Kapan membaca Al-Fatihah bagi makmum jika meyakini wajibnya?
Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa siapa yang mengetahui bahwa imam tidak membaca surat setelah Al-Fatihah atau suratnya begitu pendek, maka ia membaca Al-Fatihah berbarengan dengan imam.
Namun disunnahkan makmum membaca Al-Fatihah tadi di antara diamnya imam sejenak setelah membaca Al-Fatihah (disebut: saktaat) atau Al-Fatihah dibaca ketika ia tidak mendengar imam karena ia jauh atau tuli.
Ulama Hambali menyatakan bahwa makmum membaca Al-Fatihah tersebut saat diamnya imam setelah membaca Al-Fatihah (saktaat). (Lihat bahasan Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 33: 52-54)
Kesimpulan Pendapat:
Ibnu Taimiyah menyatakan sebagai berikut:
Intinya membaca Al Fatihah di belakang imam, kami katakan bahwa jika imam menjahrkan bacaannya, maka cukup kita mendengar bacaan tersebut. Jika tidak mendengarnya karena jauh posisinya jauh dari imam, maka hendaklah membaca surat tersebut menurut pendapat yang lebih kuat dari pendapat-pendapat yang ada. Inilah pendapat Imam Ahmad dan selainnya. Namun jika tidak mendengar karena ia tuli, atau ia sudah berusaha mendengar namun tidak paham apa yang diucapkan, maka di sini ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad. Pendapat yang terkuat, tetap membaca Al Fatihah karena yang afdhol adalah mendengar bacaan atau membacanya. Dan saat itu kondisinya adalah tidak mendengar. Ketika itu tidak tercapai maksud mendengar, maka tentu membaca Al Fatihah saat itu lebih afdhol daripada diam. (Majmu’ah Al-Fatawa, 23: 268)
Dalil yang menunjukkan bahwa bacaan imam juga menjadi bacaan bagi makmum dapat dilihat pada hadits Abu Bakrah.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Al-Hasan, dari Abu Bakrah bahwasanya ia mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang ruku’. Lalu Abu Bakrah ruku’ sebelum sampai ke shaf.
Belum sampai shaf maksudnya Abu Bakrah berjalan menuju shaf sambil dalam posisi rukuk, tanpa takbiratul ikhram sebagai memulai shalat. Lalu ia menceritakan kejadian yang ia lakukan tadi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ
“Semoga Allah menambah semangat untukmu. Namun yang seperti tadi jangan diulangi.” (HR. Bukhari no. 783).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Abu Bakrah untuk masuk shaf dalam keadaan ruku’ karena seperti itu seperti tingkah laku hewan ternak, demikian kata Ibnu Hajar dalam Al-Fath (2: 268). Di sini dapat disimpulkan bahwa mendapatkan ruku’ berarti mendapatkan satu raka’at, itulah yang dikejar oleh Abu Bakrah. Kalau mendapatkan ruku’ berarti mendapatkan satu raka’at, berarti tidak membaca Al-Fatihah sama sekali. Artinya, bacaan Al-Fatihah tersebut sudah ditanggung oleh imam.
Semoga bermanfaat. Hanya Allah yang memberi taufik dan hidayah.
Wassalam,
DK
Disusun di Halim Perdana Kusuma, 25 Safar 1437 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Penjelasan lain melalui video oleh Ustadz Dr. Khalid Basalamah, MA
Sumber :