“ittaqunnar walau bisyiqqo tamrotin: Jagalah diri kalian dari api neraka, meski hanya dengan bersedekah sepotong kurma”(Hadits Shahih, Riwayat Bukhari dan Muslim. Lihat Shahiihul jaami’ no. 114)

Wednesday, March 8, 2017

Hukum Shalat Sendiri Dibelakang Shaf Berjamaah


Assalamualaikum warrohmatullahi wabarokatuhu,
Buat ikhwan dan akhwat yang belum mengetahui hukum sholat sendirian dibelakang shaf berjamaah, ada baiknya kita memahami hadits yang berhubungan dengan cara seorang masbuk apabila mendapatkan posisi shaft penuh dan dia dalam posisi sendiri dibelakang shaf jamaah lainnya.

Maksud dari shalat sendiri dibelakang shaft berjamaan disini adalah, apabila kita ingin berjamaah di masjid akan tetapi kita temukan barisan terakhir shaf sudah penuh (meskipun hanya 1 shaf). Dalam kondisi ini Rasulullah meminta kita tidak boleh sholat sendirian dibelakang shaf berjamaah walaupun saat itu kita berada di masjid yang sedang berjamaah. Dalam arti minimal kita shalat berdua di shaf tersebut, dalam arti kita harus menunggu jamaah lain supaya bisa berdua (ada temannya), walaupun harus tertinggal 1 rakaat.

Permasalahannya, yaitu apabila sudah tidak ada lagi jamaah, apa yang harus kita lakukan apabila kita dalam posisi tersebut?


Beberapa Pendapat tentang shalat sendirian di belakang shaf berjamaah:

1. Shalatnya sah tetapi menyalahi sunnah, baik shaf yang ada di depannya penuh atau tidak. Inilah yang terkenal dari ketiga imam madzhab ; Malik, Abu Hanifah, dan Al-Syafi’i, dari riwayat Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka menafsirkan hadits kepada ketidaksempurnaan, bukan ketidaksahan :

لاَ صَلاَةَ لِمُنْفَرِدٍ خَلْفَ الصَّفِّ
“Tidak ada shalat bagi orang yang shalat sendirian di belakang shaf.” (HR. Ahmad)

Hadits ini dan hadits yang Anda sebutkan di atas adalah shahih. Oleh karena itu, orang yang shalat sendirian di belakang shaf wajib mengulang shalatnya.

2. Shalatnya batal, baik shaf yang di depannya penuh atau tidak. Dasar hukumnya adalah hadits : “Artinya : Tidak sah shalat bagi yang sendirian di belakang imam”. Juga hadits yang menerangkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melihat seorang lelaki shalat sendirian di belakang shaf, lalu ia disuruh agar mengulanginya kembali.

وَعَنْ وَابِصَةَ بْنِ مَعْبَدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى رَجُلًا يُصَلِّي خَلْفَ الصَّفِّ وَحْدَهُ ، فَأَمَرَهُ أَنْ يُعِيدَ الصَّلَاةَ رَوَاهُ أَحْمَدُ ، وَأَبُو دَاوُد وَالتِّرْمِذِيُّ ، وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ

Dari Washibah bin Ma’bad ra berkata bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam melihat seseorang shalat di belakang shaf sendirian. Maka beliau memerintahkannya untuk mengulangi shalatnya. (HR Ahmad, Abu Daud, At-Tirmizy dan Ibnu Hibban menshahihkannya)

Ibrahim an-Nakha’i dan imam Ahmad bin Hambal mengatakan bahwa dengan adanya hadits ini, maka hukum shalat orang yang sendirian dalam shafnya tidak sah dan harus diulangi lagi.

Juga ada hadits lainnya yang mendukung larangan shalat sendirian dalam satu shaf:

عَنْ طَلْقِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ { لَا صَلَاةَ لِمُنْفَرِدٍ خَلْفَ الصَّفِّ } ، وَزَادَ الطَّبَرَانِيُّ فِي حَدِيثِ وَابِصَةَ " أَلَا دَخَلْت مَعَهُمْ أَوْ اجْتَرَرْت رَجُلًا ؟

Dari Thalq bin Ali ra. berkata, "Tidak ada shalat bagi orang yang sendirian di belakang shaf." (HR Ibnu Hibban)

3. Shalatnya boleh dan sah, pendapat moderat: jika barisan shalat penuh, maka shalat munfarid di belakang imam boleh dan sah. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Yakni jika saudara masuk mesjid dan ternyata barisan shalat telah penuh kanan kirinya, maka tidak ada halangan saudara shalat sendirian berdasarkan firman Allah berikut: “Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan” [At-Taghaabun : 16]
Namun Imam Asy-Syafi’i tidak mendukung hal ini, maksudnya beliau tidak memandang bahwa shalat sendirian di belakang shaf sebagai sebuah larangan. Baginya, hal itu boleh terjadi dan shalatnya tetap sah. Lalu apa hujjah beliau dalam hal ini?

Hujjah beliau adalah hadits Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam yang masyhur dari riwayat Abu Bakar berikut ini.

وَعَنْ أَبِي بَكْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ انْتَهَى إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَهُوَ رَاكِعٌ ، فَرَكَعَ قَبْلَ أَنْ يَصِلَ إلَى الصَّفِّ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: زَادَك اللَّهُ حِرْصًا ، وَلَا تَعُدْ } رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ ، وَزَادَ أَبُو دَاوُد فِيهِ: فَرَكَعَ دُونَ الصَّفِّ ، ثُمَّ مَشَى إلَى الصَّفِّ

Dari Abu Bakar ra. bahwa dirinya datang kepada Nabi Shalallahu 'Alaihi Wassalam ketika dalam keadaan ruku’. Lalu beliau ruku’ sebelum mencapai shaf. Beliau Shalallahu 'Alaihi Wassalam lalu bersabda, "Semoga Allah SWT menambah keutamaanmu dan jangan mengulanginya. (HR Bukhari).

Abu Daud menambahkan: Abu Bakar ruku’ di belakang shaf lalu berjalan menuju shaf.

Dari segi perawi, hadits ini memang lebih tinggi derajatnya di bandingkan hadits sebelumnya. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari. Esensi yang bisa ditangkap adalah bahwa Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam membolehkan Abu Bakar ra. shalat sendirian di belakang shaf dan tidak melarangnya.

Adapun komentar imam Asf-Syafi’i terhadap hadits Washibah bin Ma’bad ra pada pendapat No. 2 diatas yang melarang seorang shalat sendirian di belakang shaf, bahwa hadits itu Dhaif (lemah). Sedangkan perintah untuk mengulangi shalat itu hukumnya hanya sunnah saja.


Yang Harus Dilakukan:

1. Tidak boleh menarik seseorang jamaah dari barisan didepannya
(untuk menemani dia shalat), karena hadits tentang ini derajatnya Dhaif (lemah). 

Cara ini dapat menimbulkan langkah tiga atau terputus dari shaf bahkan bisa memindahkan seseorang dari tempat yang utama ke tempat sebaliknya, mengacaukan dan dapat menggerakkan seluruh shaf karena di sana ada tempat yang kosong yang kemudian diisi oleh masing-masing dengan cara merapatkan hingga timbul gerakan-gerakan yang tanpa sebab syara’.

Attabrani menambahkan dari hadits HR Ahmad diatas yang tidak memperbolehkan seseorang shalat di belakang shaf sendirian:
أَلَا دَخَلْت مَعَهُمْ أَوْ اجْتَرَرْت رَجُلًا ؟
"Janganlah kami masuk kepada mereka (shalat berjamaah) atau kamu menarik seseorang (untuk berdiri di sampingmu").

2. Maju ke depan untuk shalat bersama imam. 
Cara ini menimbulkan beberapa kekhawatiran. Jika saudara maju dan berdiri sejajar dengan imam maka cara ini menyalahi sunnah, sebab imam harus sendirian di tempatnya agar diikuti oleh yang dibelakang dan jangan sampai terjadi dua imam. 

Dalam hal ini tidak bisa diberi alasan dengan hadits yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memasuki mesjid dan dijumpainya Abu Bakar tengah shalat berjama’ah lalu beliau ikut shalat di sebelah kirinya dan menyempurnakan shalatnya, karena hal seperti itu dalam keadaan darurat, dimana Abu Bakar ketika itu tak punya tempat di shaf belakang. 

Akibat lainnya, bila saudara maju ke depan imam, maka dikhawatirkan akan banyak melangkahi pundak orang, sesuai dengan banyaknya shaf. Cara ini jelas akan mengganggu orang shalat yang tidak menyenangkan. Di samping itu, jika setiap yang datang kemudian disuruh ke depan jajaran imam, maka tempat imam akan menjadi shaf penuh dan hal ini menyalahi sunnah.

3. Tetap Sholat berjamaah pada posisi sendiri di shaft belakang 
Perlu diketahui bahwa shalat berjama’ah walau sendirian shafnya adalah lebih baik ketimbang sendirian tanpa berjama’ah. Karna apabila kita sholat sendiri tanpa berjamaah, berarti kita kehilangan nilai berjama’ah dan nilai barisan shalat. Padahal Hal ini telah dikuatkan oleh berbagai atsar (keterangan shahabat) dan pandangan yang sehat. Allah sendiri tak akan membebani seseorang kecuali menurut kesanggupannya.

“Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupan” [At-Taghaabun : 16]


Posisi untuk Memulai Shaf Baru

Posisi yang tepat untuk memulai shaf baru adalah di tengah-tengah. Dengan syarat bahwa shaf baru itu bukan hanya terdiri dari satu orang, melainkan minimal dua orang jika memungkinkan.

Imam hendaklah berada di tengah shaf di depan makmum. Untuk itu, membuat shaf dalam shalat dimulai dari belakang imam dengan posisi imam berada di tengah. Baru kemudian mengisi sebelah kanan dan kirinya dengan seimbang hingga shaf tersebut penuh. Selanjutnya membuat shaf dibelakangnya dengan cara yang sama seperti tersebut di atas. Hadits Nabi :

حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُسَافِرٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي فُدَيْكٍ عَنْ يَحْيَى بْنِ بَشِيرِ بْنِ خَلَّادٍ عَنْ أُمِّهِ أَنَّهَا دَخَلَتْ عَلَى مُحَمَّدِ بْنِ كَعْبٍ الْقُرَظِيِّ فَسَمِعَتْهُ يَقُولُ حَدَّثَنِي أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : وَسِّطُوا الْإِمَامَ وَسُدُّوا الْخَلَلَ. (رواه ابو داود : 583 – سنن ابو داود – المكتبة الشاملة ––بَاب مَقَامِ الْإِمَامِ مِنْ الصَّفِّ- الجزء : 2– صفحة : 327) 
Telah menceritakan kepada kami [Ja’far bin Musafir], telah menceritakan kepada kami [Ibnu Abi Fudaik] dari [Yahya bin Basyir bin Khallad] dari ibunya, bahwa ia datang kepada [Muhammad bin Ka’ab Al-Qurthuby], ia mendengar sebuah hadits darinya, lalu ia berkata: Telah menceritakan kepadaku [Abu Hurairah] ia berkata : Rasulullah Shalallahu 'Alaihi Wassalam bersabda : "Jadikanlah imam berada di tengah-tengah kalian dan tutuplah celah-celah shaf." (HR.Abu Daud : 583, Sunan Abu Daud, Al-Maktabah Asy-Syamilah, Babu maqamil imam minash shaffi, juz : 2, hal.327)

Pertama di tengah-tengah, lalu bila ada makmum baru, dia berdiri di sebelah kanannya. Kalau ada lagi makmum baru, dia berdiri di sebelah kirinya. Bila ada yang datang lagi, dia berdiri di sebelah kanan mereka dan bila datang lagi dia berdiri di sebelah kiri mereka.

Dan demikianlah konfigurasi pembentukan shaf baru hingga penuh ke kanan dan ke kiri.


Catatan:
Dalam masalah yang diperselisihkan ini, para ahli ilmu wajib mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan tidak boleh bertaklid dalam masalah ini. Hal ini berdasarkan firman Allah,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ

“Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul serta ulil amri (penguasa) di antara kalian. Jika kalian berbeda pendapat dalam suatu masalah, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir.” (QS. An-Nisa`: 59)

Juga berdasarkan firman Allah,

وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِن شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ

“Apa pun yang kalian perselisihkan, maka hukumnya dikembalikan kepada Allah.” (QS. Asy-Syura`: 10)
Dan Allah Maha Penolong dalam kebaikan.

Semoga bermanfaat,
Ded Lee


Sumber:
Fatawa Syaikh Bin Baaz, Jilid 2, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz.
Disalin dari buku Fatawa Syaikh Muhammad Al-Shaleh Al-Utsaimin, edisi Indonesia 257 Tanya Jawab, Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, terbitan Gema Risalah Press hal. 96-97 alih bahasa Prof.Drs.KH.Masdar Helmy